Kamis, 19 Maret 2015

5 Buku Yang Pantas Dihadihkan Pada Mantan

Mempunyai mantan bagi sebagian orang tentu adalah musibah, karena semua orang menginginkan cinta sejati. Tapi untuk sebagian orang mungkin membahagiakan, entah apa yang menjadi alasan mereka. Mantan bak sebuah legenda yang turun temurun akan ada, karena hampir setiap orang pernah patah hati. Tapi patah hati tentu tak perlu semenye-menye sinetron, putus cinta seharusnya menjadikan kita lebih kuat dalam melangkah dan menjalani hidup walaupun kata Vierra perih harus dirasakan sendiri.
Sebagai makhluk sosial, manusia tentu membutuhkan manusia yang lainnya. Walaupun Sartre pernah bilang bahwa orang lain adalah neraka. Tentu kita juga buruh mantan, entah untuk mengajaknya balikan atau hanya sekedar berteman. Nah, kali ini saya mau memberikan ulasan beberapa buku yang cocok untuk diberikan pada mantan. Ada dua hal yang bisa didapatkan jika menghadiahkan buku pada mantan; mendukung berkembangnya budaya literasi dan kemungkinan untuk diajak balikan.
1.    Le mythe de Sisyphe (Mite Sisifus: Pergulatan Dengan Absurditas)

Buku karangan Albert Camus ini cocok sekali kamu berikan pada mantan yang masih kamu harapkan kembali. Legenda Sisifus adalah sebuah perjuangan, usaha dan kerja keras. Sisifus mengingatkan bahwa hidup adalah sebuah kegagalan yang diulang-ulang. Sisifus adalah adalah putra raja Aelos dari Thessaly. Di dalam legenda Yunani, Sisifus adalah si pembuat masalah dan sangat dimusuhi oleh para dewa, salah satunya adalah Dewa Pluto. Dewa Pluto murka dan akhirnya Sisifus mendapatkan hukuman abadi. Sisifus dihukum untuk mendorong batu ke atas gunung. Tapi ketika hampir sampai di puncak batu itu menggelinding ke bawah jurang dan Sisifus kembali mendorongnya. Dan selalu berurang seterusnya.

Camus dalam bukunya ini menunjukkan bahwa pengulangan dan absurditas adalah kebebasan mutlak yang dimiliki oleh manusia. Seperti juga usaha dalam mengajak mantan balikan, berulang-ulang dan kadang absurd. Jika buku ini kita hadiahkan pada mantan maka dia mungkin akan sadar bahwa kita sedang berusaha berulang-ulang untuk mengajaknya balikan. Tapi kalau mantan tetap tidak mau balikan, berarti dia sudah bahagia dengan pacar barunya. Kamu kudu sabar.

 2.    Hujan Bulan Juni

Tak bisa di bantah, siapa perempuan yang tidak kagum pada buku puisi karya Sapardi ini. Pada puisi ‘Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana’, pada lirih frasa-frasa yang dituliskan dengan mendayu. Saya rasa perempuan yang tidak klepek-klepek oleh puisi Sapardi ini adalah perempuan yang mati rasa. Seorang sapardi menitipkan rindu yang besar pada setiap bait puisinya dalam Hujan Bilan Juni

tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

Aduh, ketika kita menghadiahkan buku ini pada mantan, saya yakin mantan kita akan sadar bahwa ada rindu dan rasa ingin balikan yang dalam. Apalagi ketika memberikan, kita sambil membacakan beberapa bait puisi yang ada dalam buku ini. Yakin pacarmu akan segera mendengar curahan hatimu yang terdalam. Tentang ketabahan menunggu mantan kembali pada kita.

 3.    Aku Ingin Jadi Peluru

Yang satu ini adalah buku yang revolusioner, seperti kita yang harus memperjuangkan kenangan dengan mantan secara revolusioner. Kumpulan puisi karya penyair cadel Widji Thukul ini banyak mengambil cerita perjuangan kelas bawah dalam memperoleh haknya. Salah satu sajak yang sering dikutip oleh para kakak aktipis ada dalam kumpulan puisi ini, berjudul ‘Peringatan’.

 “apabila usul ditolak tanpa ditimbang 
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan 
maka hanya ada satu kata: lawan!

Buku ini cocok buat mantan yang juga seorang aktipis. Perjuangan kelas layaknya perjuangan mengingatkan mantan pada kenangan. Usaha Widji Thukul tidak boleh dianggap remeh. Begitu juga usaha dalam mendapatkan kembali mantan. Sebelum suara dibungkam dan dianggap subversif, maka berikan buku ini pada mantan, agar mereka tau bahwa berjuang melawan kenangan bukan hal yang mudah.

 4.    Dunia Shopie

Ini buku favorit saya, walaupun sampai sekarang saya belum juga selesai membacanya. Novel filsafat karya Jostein Gaarder ini menceritakan tentang kehidupan seorang gadis 14 tahun bernama Shopie Amundsen yang menerima surat-surat misterius. Dari surat-surat itulah dia belajar tentang filsafat.

Surat pertama yang diterima Shopie adalah surat yang bertuliskan ‘siapakah dirimu? Darimana asaldunia?’. Akhirnya Shopie pun menjadi seorang gadis pemikir. Ketika buku ini dihadiahkan pada mantan, kemungkinan besar mantanmu juga akan belajar filsafat. Kemudian dia akan datang kembali pada kita untuk menanyakan siapa dirinya. Tinggal dijawan gini

kamu adalah seorang perempuan yang diciptakan untukku, maka kembalilah padaku sayang.” Selesai kan.

 5.    Kepulangan Kelima

pada resepsi pernikahan sahabat kita itu 
kuingat ciuman pertama kita, Aria
perutmu sudah buncit lima bulan
kelak, kau akan menamai anakmu berbeda
melupakan nama-nama
yang pernah kita rencanakan di masa muda
kau menggandeng suamimu 
lalu aku pulang menggandeng tangan bayanganmu

Buku yang kelima ini adalah salah satu buku puisi yang layak untuk kamu baca. Karya salah satu penyair muda asal Lombok bernama Irwan Bajang, seorang lelaki tampan dan mapan dengan perut sedikit berlebihan.
Sengaja saya kutipkan puisi ‘Pada Resepsi Pernikahan Itu’ dari kumpulan puisi milik Bajang. Buku terakhir ini cocok untuk mantan dan cocok untuk diri sendiri. karena buku puisi ini mengingatkan: “Wes ojo usaha terus, mantanmu wes duwe pacar anyar sing luwih kece lan luwih segalanya daripada awakmu. Kowe njuk piye jal?”
  
Tabique!

*) tulisan ini pertama kali dimuat di website siksakampus.com.
 

Mantan dan Hal-Hal yang [Sengaja] Belum Selesai

Akhir-akhir ini saya sering dibuat kebingungan dengan klaim ‘generasi gagal move one’ yang disematkan pada teman-teman saya, karena tingkah laku mereka yang setiap hari membicarakan –meminjam istilah om Goen, Mantan dan Hal-Hal yang Belum Selesai. Anehnya saya harus tersedot terhadap obrolan teman-teman saya itu, entah di media sosial, di warung kopi bahkan di kelas sekalipun. Apalagi semenjak mini drama Ada Apa Dengan Cinta (AADC) besutan LINE muncul. Obrolan itu semakin mengakar rumput di tataran grassroots.

Tapi saya tak mau membahas AADC versi LINE, sudah banyak yang menulisnya layaknya satu percakapan dalam filmya “Basi! Madingnya udah siap terbit!”. Mereka yang masih dicengkram obrolan tentang mantan barangkali terlalu melankolis di tengah zaman yang mbalelo ini. Atau asumsi saya salah, bisa jadi mereka adalah generasi penerus bangsa yang di idam-idamkan muncul karena tidak pernah melupakan sejarah atau membuat sejarah mereka sendiri seperti Soeharto.

Di tempat saya numpang hidup sekarang, yang juga difungsikan sebagai sebuah café cum perpustakaan melek literasi, banyak juga teman yang rawan gelisah dan bunuh diri karena sejarah percintaannya. Tentang pegejaran pada mantan layaknya James Bond, tentang usaha melupakan dengan mengalihkan perhatian pada skripsi yang tak kunjung usai, bahkan ada juga yang bersikukuh sudah melupakan mantannya tapi masih ada satu folder berisi foto mantan di laptop laptopnya. Apakah ini sebuah dekadensi moral? Pertanyaan ini terlalu genit nan binal, tapi lebih pantas ditanyakan daripada harus merubah warna rambut layaknya Ariel Noah.

Saya rasa obrolan tentang mantan ini bukanlah dekadensi moral, karena teori ndakik-ndakik bisa diterapkan dalam hal per-mantan-an. Jauh sebelum istilah mantan semakin booming, seorang filsuf yang digadang-gadang sebagai filsuf paling berbahaya yaitu Zizek sudah merumuskan pemahaman tentang The Real atau ketidakmungkinan yang dia amini dari Jacues Lacan. The Real adalah negasi dari semua simbol ataupun imaji yang mengelilingi rutinitas manusia, begitulah mantan sebagai ketidakmungkinan.

Negasi ini menurut Zizek bisa berupa penolakan atau anti tesis dari peristiwa yang bersifat menyentuh ketidakmungkinan, sehingga dengan pasti mengguncang orang yang mengalaminya. Mantan adalah negasi dari peristiwa putus cinta dan segala kemenye-menyeannya. Seseorang yang merasakan putus cinta tentu akan mengalami keterguncangan pribadi, yang bisa dibagi atau disimpan rapat-rapat sendiri. Saya contohkan seorang teman saya, sebut saja Budi (nama samaran). Budi adalah pemuda yang mengamini jarak sebagai sebuah hal yang sakral, karena cintanya dilahirkan dari centi demi centi jarak Jember-Kalimantan. Terlalu naif memang menjalani hubungan jarak jauh tanpa menaruh kecurigaan. Tapi begitulah Budi, pemuda yang (sok) kuat dengan segala siksaan atas nama cinta.

Setelah empat tahun dia bertahan dengan cinta jarak jauh, akhirnya dia mengalami apa yang kita sebut sebagai putus cinta. Sebuah peristiwa yang bagi kebanyakan remaja adalah akhir dari dunia, kiamat sugra. Tapi Budi tak remuk redam dikoyak sepi, dia memunculkan negasi lain. Lewat media surat yang dikirim menggunakan surat elektronik dan media sosial, dia menyentuh ketidakmungkinan yang dihasilkan oleh peristiwa putus cinta itu. Aspek ketidakmungkinan sepenuhnya diresapi oleh Budi dengan saling berbalas surat sembari menangis tersedu ketika membaca atau menuliskan surat yang penuh derai-derai kenangan itu. Ini seperti konsep benda pada diri sendiri dalam filsafat Kantian; “Kita tahu tapi kita tidak pernah sungguh memahaminya.”

Budi seperti mengaini mantan sebagai The Real, sebagai sebuah keajaiban sekaligus ketidakmungkinan yang tidak bisa digambarkan atau disimbolisasikan. Mantan muncul karena peristiwa putus cinta yang mengguncang, seperti adegan cipokan Rangga dan Cinta di bandara. Tapi Budi hanyalah alegori yang bersifat delusional. Obrolan atau ingatan dan guncangan dari negasi berbentuk mantan dialami oleh banyak remaja bahkan orang tua sekalipun. Apalagi kata mantan semakin kesini semakin terkenal layaknya Nicholas Saputra yang terpaksa kembali pada ingatan remaja tahun 90-an karena AADC besutan LINE.

Mantan layaknya Veronica dalam novel karya Paulho Coelho yang berjudul Veronica Decide To Die. Veronica yang setia menunggu ajalnya karena bentuk kebosanan atas ritme kehidupannya di rumah sakit jiwa. Veronica memandang bahwa tak ada yang gila dalam rumah sakit itu, abnormalitas dianggapnya semu. Seperti mantan yang selalu dianggap sebagai bayang-bayang, padahal mereka adalah setapak jalan yang harus dilalui agar kita tidak tersesat. Maka Foucault muncul dengan relasi kuasanya di sini.

Seperti yang pernah Foucault tuliskan tentang penjara Panopticon bahwa kegilaan ingin menunjukkan normalisasi dan regulasi yang memenangkan rasio. Seseorang yang masih membicarakan mantan mereka di ruang publik hanya ingin menunjukkan apa yang disebut Foucault sebagai normalisasi yang memenangkan rasio, karena seseorang itu –seperti halnya Budi ingin menunjukkan bagaimana rasionalitas menormalisasikan sesuatu yang dianggap menyimpang sebagai upaya mendisiplinkan diri dari kenangan masa lalu. Bukan sebagai pengikat seseorang itu dengan mantannya yang sering disebut sebagai gagal move one.

Upaya inilah yang dilakukan oleh teman-teman saya dan membuat saya kebingungan kenapa stereotipe gagal move one ditempelkan pada mereka yang selalu membicarakan hal-hal tentang mantan. Saya rasa teman-teman saya bukanlah ‘generasi gagal move on’, tapi mereka adalah generasi yang menciptakan ruang dialektis melalui hal-hal tentang mantan.

Budi dan teman-teman saya yang lain adalah paradoks di zaman kemerosotan jiwa khilafah ini. Mereka adalah pemuda-pemuda yang mengamini apa yang dikatakan oleh Zizek “Revolusi itu mirip wanita, kita tidak mungkin hidup bersamanya, tetapi lebih tidak mungkin lagi hidup tanpanya. Oh… lupakan saja.”[]

*) tulisan ini pertama kali dimuat di website siksakampus.com.

Senin, 11 Agustus 2014

Ramadhan Telah Usai

Ramadhan baru saja usai. aku ingin sekali keliling kampung yang sudah lama kutinggalkan.
Menemui orang-orang agar mereka memaafkanku. Di dalam rumah, aku melihat kedua orang tuaku menjelma sungai. Yang hilirnya tak bisa kutemukan. Bagaimana aku bisa memeluk dan meminta maaf jika kedua orang tuaku telah menjadi arus? Bagaimana aku bisa memegang dan mencium tangan mereka yg telah menjadi air?

Aku berpikir harus terjun ke sungai itu, lalu menerjang arusnya. Tapi aku bukan salmon. Dan salmon tak pernah mau menjadi diriku. Salmon tak pernah merayakan lebaran. Tak pernah saling memaafkan. Orang tuaku tetap menjelma sungai, arusnya semakin deras. Seperti sedang menggoncang pikiranku. Aku kembali berpikir tak mungkin aku melompat dan menerjang arus itu.

Aku bukan seorang yang pandai berenang. Aku sangat yakin. Aku tak mungkin mampu melawan arus seperti salmon. Tapi sungai itu adalah orang tuaku. Yang menjelma saat lebaran. Aku tetap harus memeluk mereka. Dan akhirnya aku tetap memeluk mereka. Lalu aku tenggelam. Biarkan aku tenggelam dalam-dalam. Biarkan aku hanyut di arus sungai yang serupa suara tangisan.

28/07/2014
;di hari raya yang senyap