Sabtu, 04 Juni 2011

Tembakau: Penguat Gigi dalam Budaya Nginang

“Sek, mbah durung nginang le, ben untune mbah kuat kanggo mangan (sebentar, nenek belum nginang nak, biar giginya nenek kuat buat makan)”

Itulah kata-kata yang terlontar dari nenek saya ketika saya mengajaknya makan, saya salut dengan nenek saya itu karena diusianya yang tidak muda lagi alias sudah 74 tahun masih kuat makan makanan yang keras seperti kerupuk dan yang lainnya. Budaya nginang, itu yang membuat gigi nenek saya tetap utuh dan kuat memakan makanan yang keras. Nenek saya mengaku bahwa dia sudah melakakukan budaya nginang sejak dia kecil, karena budaya nginang diwariskan turun temurun dari neneknya yang notabebne petani tembakau. Nginang adalah mengunyah sirih dan berbagai campuran antara lain kapur sirih, buah pinang yang masih muda, daun gambir dan yang terakhir adalah tembakau sebagai alat pembersih setelah mengunyah sirih sudah ada sejak dulu dan dipercaya sebagai kegiatan yang menyehatkan menurut orang-orang yang melakukannya, disamping itu juga menambah kecantikan dengan memberi warna merah di bibir, karena di jaman dahulu ada asumsi yang menyatakan bahwa wanita yang mempunyai bibir merah itu cantik. Tapi itu dibantah beberapa pihak kesehatan, karena sepertihalnya kretek, nginang juga menggunakan tembakau sebagai campurannya. Seperti dilansir dari ncbi.nlm.nih.gov, sebuah penelitian pernah dilakukan oleh National Board of Health and Welfare (1997) untuk melihat hal itu. Ternyata pada smokeless tobacco (produk tembakau non-rokok) termasuk nginang, dijumpai risiko kesehatan yang sama dengan merokok meski sedikit lebih kecil. Indonesia jelas sulit sekali menerima asumsi pihak kesehatan itu, walaupun di sisi lain Indonesia mendukung hari anti tembakau yang jatuh pada tanggal 31 Mei, tapi di Indonesia masih banyak masyarakatnya yang berbudaya nginang seperti yang dilakukan Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu menggelar tradisi nginang untuk menyambut datangnya Maulid Nabi Muhammad SAW.

 image from google

Yang menjadi permasalahan sebenarnya bukan budaya nginang, tetapi nginang campuran tembaku pada kegiatan nginang yang menjadi polemik pihak kesehatan. Sepertihalnya bahaya tembakau pada rokok. Tembakau pada kegiatan nginang juga mempunyai akibat pada kesehatan, tapi itu belum terbukti, karena beberapa orang yang melakukan kegiatan nginang bahkan mengaku kalau nginang itu menambah kesehatan mereka. Salah satu contohnya adalah Ibu Siami, (99). Nenek yang berumur hampir satu abad itu rela mengikuti sidang tentang bahaya tembakau sambil nginang, menurutnya dengan nginang dia tetap sehat sejak dia muda dulu sampai sekarang. Bambang Giatno Rahardjo, Kepala Badan SDM Kemenkes lah yang mengajukan Ibu Siami dalam rangka pembuktian pasal 113 ayat 1,2 dan 3 tantang bahaya tembakau itu salah, karena buktinya Ibu Siami masih kuat melakukan kegiatan sehari-hari seperti masyarakat yang lain walaupun dia menggunakan tembakau dalam kegiatan nginang.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah dampak negative nginang, walaupun pihak kesehatan sudah mengeluarkan aumsinya tentang dampak negative nginang, tapi asumsi itu masih dapat dibantah oleh para pegiat nginang dengan keadaan mereka yang sehat wal afiat bahkan gigi mereka tetap kuat seperti nenek saya. Tapi  pihak kesehatan tidak sepenuhnya salah, karena nginang masih mempunyai dampak negative, tapi tidak pada klesehatan tapi pada lingkungan, karena sering dijumpai para pegiat nginang membuang ludahnya yang berwarna merah itu sembarangan, tapi masalah itu sudah dapat diatasi dengan munculnya tempolong sebagai wadah air ludah bekas nginang.

 image from google

Nenek saya dan Ibu Siami adalah dua bukti wanita yang melakukan budaya nginang tetapi masih sehat dan kuat, lalu apakah pemerintah tega mengebiri hak mereka sebagai warga Negara Indonesia dikarenakan tembakau yang mereka gunakan sebagai campuran budaya nginang. Apa mereka harus meninggalkan budaya yang sudah diwariskan turun temurun dari nenek mereka gara-gara tembakau. Sepertihalnya kretek yang menggunakan tembakau, nginang juga perlu dilestarikan, karena nginang  sekarang sudah mulai ditinggalkan. Pelestarian budaya mengkretek atau nginang ini tidak merugikan siapa-siapa melainkan kita malah membantu para buruh tembakau dan buruh pabrik rokok, maka dari itu mari kita lestarikan budaya  asli Indonesia bukan hanya nginang dan kretek saja tapi kebudayaan yang lain agar kita tidak lagi kehilangan kebudayaan asli Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar