“Yang fana adalah waktu. Kita abadi:memungut detik demi detik, merangkainya seperti bungasampai pada suatu harikita lupa untuk apa.”(Yang Fana Adalah Waktu - Sapardi Djoko Damono)
Dingin
mewaktu pada malam ini, juga rasa gundah yang datang tanpa permisi seperti anak
kecil yang belum mengetahui adat mengetuk pintu. Entah mengapa malam ini saya
ingin menulis tentang ketidak-jelas-an hidup. Seperti kutipan puisi Sapardi di
atas, kita memungut detik demi detik lantas menyimpannya, tapi pada akhirnya
kita lupa mau menggunakannya untuk apa. Begitu pula hidup, kita selalu berusaha
mengumpulkan semua yang ada di sekitar kita juga yang bisa kita raih, tapi kita
tak tahu apakah nantinya semua yang kita kumpulkan itu berguna atau tidak, atau
bahkan kita hanya mengumpulkan sesuatu yang kosong, yang tak pernah berisi
apa-apa.
Manusia
pada hakikatnya adalah makhluk yang tak pernah puas. Kepuasan tentu juga tak
pernah berujung. Ada yang kosong. Yang tidak berguna. Manusia mungkin tidak
punya titik kepuasan karena tak ada yang sempat diselesaikannya pada hidup yang
hampa ini, hidup yang juga kita tak tau kapan akan berakhir dengan kematian
yang sunyi . Wiji Thukul mungkin menjadi seorang penyair yang mengalami itu,
pada kesunyian dia menghilang, dia tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada
kedua anaknya; Fajar Merah dan Fitri Nganti Wani. Wiji juga mungkin belum
sempat menyelesaikan beberapa puisinya.
Dan
apapun tentang surga dan neraka yang selalu dibayangkan oleh kebanyakan
manusia, itu juga sebuah bentuk ketidak-selesaian dalam hidup.
Ketidak-sempatan. Mungkin juga ketidak-puasan. Phytagoras belum menyelesaikan
khotbah pada murid-murid hewannya, dia juga mungkin belum sempat menyampaikan
khotbahnya pada para manusia yang benar-benar apatis pada saat itu. Dan pada
akhirnya dia dipaksa mengakhiri hidupnya dengan ketidak-puasan. Dia diberi dua
pilihan yang sama-sama akan mengentas nyawanya; digantung atau meminum racun.
Phytagoras lebih memilih meminum racun sebagai bukti ada yang belum selesai
sebelum dia merentas ke dunia yang lain –mungkin surga, mungkin juga neraka.
Tapi
di jaman yang serba instan ini, hidup tak lagi menjadi sebuah kegigihan
mencapai kebahagiaan tapi bagaimana mencari kesempatan dan menjadi yang pertama
menggandeng kesempatan itu. Hidup menjadi semakin fana kata Sapardi dan kitalah
yang menjadi abadi tanpa kealphaan pada keserakahan yang semakin hari semakin
membenahi dirinya. Dan semakin kedepan hidup tidak lagi menjadi kesunyian
masing-masing seperti kata Chairil, tapi hidup menjadi ketidak-selesaian yang
abadi.[]