Apa itu puisi ? kadang pertanyaan itu selalu saya tanyakan ke diri saya sendiri yang sering menulis. Pertanyaan itu kadang menjadi sangat pelik dan kadang juga menjadi sederhana, entahlah mengapa definisi puisi dalam pikiran saya selau berubah. Tapi seperti yang dikatan Binhad Nurrohmat dalam Pernyataan Penyair 2011 yang ia bacakan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin pada acara Hari Sastra Nasional, 28 April 2011. “Penyair unggul adalah realitas yang bisa disaksikan dan diukur melalui daya artistik puisinya yang menggerakkan kesadaran masyarakatnya. Bila puisi tak bisa melakukannya, puisi harus rela menjadi puisi biasa-biasa saja.”* Saya masih percaya walaupun puisi tak lagi dapat mengubah realita tetapi setidaknya dapat memprovokasi terjadinya perubahan.
Pertanyaan apa itu puisi mungkin tak dapat saya jawab karena banyak sekali perubahan. Saya kira dulu ketika saya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) puisi hanya terpaut oleh rima, irama, baris, dan bait dan itu berubah ketika saya masuk ke Universitas, ketika saya mulai mengenal Afrizal Malna, Sutardji Calzoum Bahri, Danarto, dan beberapa penyair yang membawa perubahan dalam puisi-puisinya. Juga ketika saya kenal persaingan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dalam tataran sastra. Lekra menganut Politik sebagai panglima dan itu terlihat dalam puisi-puisi penyair Lekra. Sedangkan para penyair Manikebu menulis puisi tanpa ada tendensi propaganda politik, karena yang dianut para penyait Manikebu adalah seni untuk seni.
Tapi dua paragraf di atas tidak ada hubungannya dengan apa yang ingin saya tulis. Dalam dua paragraf di atas saya hanya ingin mengeluarkan rasa gelisah. Puisi, ya puisi entah mengapa di sebut puisi. Berbagai jenis puisi dari tahun ke tahun kadang mengalami perubahan, sejak jaman Chairil anwar atau bisa disebut sebagai periode Balai Pustaka sampai jaman Korrie Layun Rampan atau periode 2000. Dan saya selalu tertarik untuk meruntut periodisasi sastra Indonesia ini.
Ah, sepertinya paragraf ketiga juga tidak berhubungan dengan apa yang ingin saya tuangkan kedalam tulisan ini, tapi tulisan saya ini tidak akan keluar dari pembahasan tentang puisi. Seorang penyair LKN pernah menulis puisi pendek yang membawa perdebatan pada pembacanya. Isi puisinya yang dianggap sangat filosofis itu membuat dia dan puisinya menjadi pembicaraan berbagai kalangan. Puisinya hanya berisi satu baris saja.
Malam Lebaran
Bulan di atas kuburan
Itulah puisi yang dianggap mempunyai sejarah filosofis. Mungkin anda sudah tau siapa pengarang puisi itu. Ya pengarangnya adalah Sitor Situmorang, salah satu pegiat dalam LKN. Puisi sitor itu menjadi bahan diskusi beberapa mahasiswa tapi saya lupa mahasiswa universitas mana, mohon maklum banyak yang harus diingat dan dilupakan. Puisi Sitor ini juga pernah mendapat kecaman dari salah satu ormas islam di Indonesia karena puisi Sitor dianggap menyalahi kodrat, di malam lebaran menurut ormas islam itu tidak akan pernah ada bulan. Alasan yang agak absurd pun di keluarkan oleh ormas islam itu, mungkin kasus puisi Sitor ini sama dengan kasus Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin yang dikecam oleh berbagai ormas islam di jamannya karena membawa tokoh Nabi Mohammad di dalamnya. Tapi menurut H.B. Jassin imajinasi pengarang tidak boleh disamakan dengan dunia nyata, walaupun para penulis itu terinspirasi dari dunia nyata yang ada di sekitar mereka.
Permasalahan tuhan dalam karangan memang menjadi tabu ketika para ormas islam tidak bisa membedakan imajinasi pengarang dengan dunia nyata. Mungkin para orang-orang yang ada di dalam ormas islam itu perlu mebaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang memang bisa disebut novel sejarah, tapi buku-buku yang ditulis Pram mengenai dunia nyata disekitarnya itu tidak bisa dianggap nyata karena hakikat karya sastra adalah fiksi. Tidak jauh berbeda dengan Pram, Seno Gumira Ajidarma mantan wartawan majalah Jakarta-Jakarta, yang keluar karena berita pada jaman Orba masih dibatasi. Seno keluar dari majalah Jakarta-Jakarta dan mulai menulis cerpen. Cerpen yang ditulis Seno adalah cerpen-cerpen hasil investigasinya di Dili ketika terjadi tragedy Timor Timor, tapi Seno menuliskan di awal bukunya yang berjudul Jazz, Parfum dan Insiden yang dia tulis adalah fiksi.
Mau disebut fiksi boleh,
Mau dianggap fakta terserah
-ini Cuma sebuah roman metropolitan
(Jazz, Parfum dan Insiden)**
Kembali ke puisi Malam Lebaran milik Sitor. Menirut Binhad, Sitor menulis puisi itu ketika Sitor berjalan pulang melewati kuburan dari rumah Pram, dan saat itu Jakarta belum seramai dan sebising sekarang. Sayangnya Binhad tidak tahu apakah pada saat itu Sitor benar-benar melihat bulan ketika melewati kuburan, bahkan dia menuliskan “Saya tak tahu malam itu ada bulan atau tidak di atas kuburan itu. Atau, abaikanlah segala asal-usul puisi ini”* dalam essainya.
Tapi Binhad sangat cerdik dalam menafsirkan puisi Sitor itu. Binhad membawa situasi Jakarta dalam intepretasinya terhadap puisi Sitor. Menurut Binhad Bulan di atas kuburan melambangkan kecelakaan-kecelakaan yang terjadi kapada para pemudik dari Jakarta yang ingin pulang ke kampung mereka untuk merayakan lebaran. “Kebahagiaan menjelang lebaran sering diselingi tangis orang-orang yang ditinggal mati kerabat yang ditunggu-tunggu mereka.”* Itulah yang ditulis Binhad, kepulangan yang telah diidamkan para perantau menjadi malapetaka ketika kecelakaan menimpa mereka, dan yang pulang hanyalah mayat serta nama saja. Kematian pasti membawa tangis dan kesedihan, apalagi ketika kematian itu terjadi pada waktu menjelang lebaran. Waktu yang seharusnya diisi dengan canda tawa keluarga yang berkumpul berubah menjadi tangisan pengantar anggota keluarga yang meninggal karena kecelakaan ke tempat persemayaman terakhirnya yaitu kuburan.
Penafsiran cerdik Binhat itu pantas untuk dihargai karena dia dapat menghilangkan pemikiran orang-orang mengenai sejarah filosofis puisi Sitor, juga mengenai kecaman ormas islam. Mungkin muka orang-orang ormas islam yang mengecam puisi Sitor ini akan memerah ketika mereka membaca penafsiran Binhat itu. Kematian memang datang tiba-tiba dan kadang datang pada waktu yang tidak tepat, seperti sedang mengantri tiket, ketika tidak datang pada waktu yang tepat para antrian itu tidak akan mendapatkan tiketnya. Binhad juga mengungkapkan bahwa setiap malam lebaran pasti ada yang akan datang ke kuburan “Menjelang lebaran, kuburan selalu bertambah mayat baru.”*
Kematian memang sebuah tamu yang tak pernah dinanti oleh setiap orang, tapi semua orang pasti akan didatangi oleh kematian, dan itu tak akan pernah bisa diduga. Seperti kematian yang diungkapkan oleh Binhad dan Sitor, tapi selain kematian karena kecelakaan di hari menjelang lebaran, puisi sitor juga mengungkapkan kematian bulan di malam lebaran.[]
*diambil dari essai Binhad berjudul Maut Situmorang
**diambil dari buku Trilogi Insiden karya Seno Gumora Ajidarma