Rabu, 25 April 2012

Tentang Maut di Sekitar Lebaran

Apa itu puisi ? kadang pertanyaan itu selalu saya tanyakan ke diri saya sendiri yang sering menulis. Pertanyaan itu kadang menjadi sangat pelik dan kadang juga menjadi sederhana, entahlah mengapa definisi puisi dalam pikiran saya selau berubah. Tapi seperti yang dikatan Binhad Nurrohmat dalam Pernyataan Penyair 2011 yang ia bacakan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin pada acara Hari Sastra Nasional, 28 April 2011. “Penyair unggul adalah realitas yang bisa disaksikan dan diukur melalui daya artistik puisinya yang menggerakkan kesadaran masyarakatnya. Bila puisi tak bisa melakukannya, puisi harus rela menjadi puisi biasa-biasa saja.”* Saya masih percaya walaupun puisi tak lagi dapat mengubah realita tetapi setidaknya dapat memprovokasi terjadinya perubahan.


Pertanyaan apa itu puisi mungkin tak dapat saya jawab karena banyak sekali perubahan. Saya kira dulu ketika saya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) puisi hanya terpaut oleh rima, irama, baris, dan bait dan itu berubah ketika saya masuk ke Universitas, ketika saya mulai mengenal Afrizal Malna, Sutardji Calzoum Bahri, Danarto, dan beberapa penyair yang membawa perubahan dalam puisi-puisinya. Juga ketika saya kenal persaingan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dalam tataran sastra. Lekra menganut Politik sebagai panglima dan itu terlihat dalam puisi-puisi penyair Lekra. Sedangkan para penyair Manikebu menulis puisi tanpa ada tendensi propaganda politik, karena yang dianut para penyait Manikebu adalah seni untuk seni.

Tapi dua paragraf di atas tidak ada hubungannya dengan apa yang ingin saya tulis. Dalam dua paragraf di atas saya hanya ingin mengeluarkan rasa gelisah. Puisi, ya puisi entah mengapa di sebut puisi. Berbagai jenis puisi dari tahun ke tahun kadang mengalami perubahan, sejak jaman Chairil anwar atau bisa disebut sebagai periode Balai Pustaka sampai jaman Korrie Layun Rampan atau periode 2000. Dan saya selalu tertarik untuk meruntut periodisasi sastra Indonesia ini.


Ah, sepertinya paragraf ketiga juga tidak berhubungan dengan apa yang ingin saya tuangkan kedalam tulisan ini, tapi tulisan saya ini tidak akan keluar dari pembahasan tentang puisi. Seorang penyair LKN pernah menulis puisi pendek yang membawa perdebatan pada pembacanya. Isi puisinya yang dianggap sangat filosofis itu membuat dia dan puisinya menjadi pembicaraan berbagai kalangan. Puisinya hanya berisi satu baris saja.


Malam Lebaran

Bulan di atas kuburan

Itulah puisi yang dianggap mempunyai sejarah filosofis. Mungkin anda sudah tau siapa pengarang puisi itu. Ya pengarangnya adalah Sitor Situmorang, salah satu pegiat dalam LKN. Puisi sitor itu menjadi bahan diskusi beberapa mahasiswa tapi saya lupa mahasiswa universitas mana, mohon maklum banyak yang harus diingat dan dilupakan. Puisi Sitor ini juga pernah mendapat kecaman dari salah satu ormas islam di Indonesia karena puisi Sitor dianggap menyalahi kodrat, di malam lebaran menurut ormas islam itu tidak akan pernah ada bulan. Alasan yang agak absurd pun di keluarkan oleh ormas islam itu, mungkin kasus puisi Sitor ini sama dengan kasus Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin yang dikecam oleh berbagai ormas islam di jamannya karena membawa tokoh Nabi Mohammad di dalamnya. Tapi menurut H.B. Jassin imajinasi pengarang tidak boleh disamakan dengan dunia nyata, walaupun para penulis itu terinspirasi dari dunia nyata yang ada di sekitar mereka.


Permasalahan tuhan dalam karangan memang menjadi tabu ketika para ormas islam tidak bisa membedakan imajinasi pengarang dengan dunia nyata. Mungkin para orang-orang yang ada di dalam ormas islam itu perlu mebaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang memang bisa disebut novel sejarah, tapi buku-buku yang ditulis Pram mengenai dunia nyata disekitarnya itu tidak bisa dianggap nyata karena hakikat karya sastra adalah fiksi. Tidak jauh berbeda dengan Pram, Seno Gumira Ajidarma mantan wartawan majalah Jakarta-Jakarta, yang keluar karena berita pada jaman Orba masih dibatasi. Seno keluar dari majalah Jakarta-Jakarta dan mulai menulis cerpen. Cerpen yang ditulis Seno adalah cerpen-cerpen hasil investigasinya di Dili ketika terjadi tragedy Timor Timor, tapi Seno menuliskan di awal bukunya yang berjudul Jazz, Parfum dan Insiden yang dia tulis adalah fiksi.


Mau disebut fiksi boleh,

Mau dianggap fakta terserah
-ini Cuma sebuah roman metropolitan

 (Jazz, Parfum dan Insiden)**


Kembali ke puisi Malam Lebaran milik Sitor. Menirut Binhad, Sitor menulis puisi itu ketika Sitor berjalan pulang melewati kuburan dari rumah Pram, dan saat itu Jakarta belum seramai dan sebising sekarang. Sayangnya Binhad tidak tahu apakah pada saat itu Sitor benar-benar melihat bulan ketika melewati kuburan, bahkan dia menuliskan “Saya tak tahu malam itu ada bulan atau tidak di atas kuburan itu. Atau, abaikanlah segala asal-usul puisi ini”* dalam essainya.


Tapi Binhad sangat cerdik dalam menafsirkan puisi Sitor itu. Binhad membawa situasi Jakarta dalam intepretasinya terhadap puisi Sitor. Menurut Binhad Bulan di atas kuburan melambangkan kecelakaan-kecelakaan yang terjadi kapada para pemudik dari Jakarta yang ingin pulang ke kampung mereka untuk merayakan lebaran. “Kebahagiaan menjelang lebaran sering diselingi tangis orang-orang yang ditinggal mati kerabat yang ditunggu-tunggu mereka.”* Itulah yang ditulis Binhad, kepulangan yang telah diidamkan para perantau menjadi malapetaka ketika kecelakaan menimpa mereka, dan yang pulang hanyalah mayat serta nama saja. Kematian pasti membawa tangis dan kesedihan, apalagi ketika kematian itu terjadi pada waktu menjelang lebaran. Waktu yang seharusnya diisi dengan canda tawa keluarga yang berkumpul berubah menjadi tangisan pengantar anggota keluarga yang meninggal karena kecelakaan ke tempat persemayaman terakhirnya yaitu kuburan.


Penafsiran cerdik Binhat itu pantas untuk dihargai karena dia dapat menghilangkan pemikiran orang-orang mengenai sejarah filosofis puisi Sitor, juga mengenai kecaman ormas islam. Mungkin muka orang-orang ormas islam yang mengecam puisi Sitor ini akan memerah ketika mereka membaca penafsiran Binhat itu. Kematian memang datang tiba-tiba dan kadang datang pada waktu yang tidak tepat, seperti sedang mengantri tiket, ketika tidak datang pada waktu yang tepat para antrian itu tidak akan mendapatkan tiketnya. Binhad juga mengungkapkan bahwa setiap malam lebaran pasti ada yang akan datang ke kuburan “Menjelang lebaran, kuburan selalu bertambah mayat baru.”*


Kematian memang sebuah tamu yang tak pernah dinanti oleh setiap orang, tapi semua orang pasti akan didatangi oleh kematian, dan itu tak akan pernah bisa diduga. Seperti kematian yang diungkapkan oleh Binhad dan Sitor, tapi selain kematian karena kecelakaan di hari menjelang lebaran, puisi sitor juga mengungkapkan kematian bulan di malam lebaran.[]



*diambil dari essai Binhad berjudul Maut Situmorang
**diambil dari buku Trilogi Insiden karya Seno Gumora Ajidarma

Selasa, 24 April 2012

Mengapa Filsafat ?*


Mungkin sulit sekali rasanya mengantarkan kita kepada filsafat jika kita sebagai orang yang mempelajarninya tidak mau membaca dan selalu mencari.. Filsafat berasal dari Griek berasal dari kata Pilos (cinta), Sophos (kebijaksanaan),tahu dengan mendalam, hikmah. Sedangkan Filsafat dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “pengetahuan dan penyelidikan dng akal budi mengenai hakikat segala yg ada, sebab, asal, dan hukumnya”.

Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat. Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni tradisi: (1) Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), (2) Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini), dan (3) Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).

Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain) sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda. Bisa disebut kita harus berfikir secara radikal atau berpikir mendasar untuk meruntut dan mengetahui apa yang ada Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina tanpa memihak. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Fuad Hassan guru besar psikologi universitas Indonesia bahwa filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berfikir radikal dalam arti mulai dari radix suatu gejala dari akar suatu hal yang hendak dimasalahkan, dan dengan jalan penjajagan yang radikal filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan kesimpulan yang universal

Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché, sedangkan Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat “udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Akh mungkin saya terlalu jauh menjelaskan ini, saya tidak mau terlalu jauh memulai.

Berfikir universal itulah salah satu hal penting yang menjadi pegangan kita, seperti Thales dan Anaximenes yang mempunyai pemikiran yang berbeda mengenai unsur induk atau yang membentuk alam semesta. Berpikir universal di sini adalah berpikir secara luas dan umum, dan sifat skeptis sangat berpengaruh dalam berfikir universal, karena kita tidak boleh langsung percaya terhadap sesuatu, kita harus selalu mencari dan mencari karena kebenaran bukanlah sesuatu yang kekal. Mencari dan mencari akan membuat kita semakin luas untuk berpikir dan pemikiran kita yang luas akan menghasilkan suatu hasil yang luas atau universal.

Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat berbeda dengan Thales dan Anaximenes. Pythagoras mengatakan bahwa segala sesuatu itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang menyebut atau memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia atau mencinta untuk menggapai kebenaran melalui berpikir atau bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus. Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu (arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk mencari sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Hubungan sebab akibat yang digunakan oleh Pythagoras menjadi sebuah pemikiran yang sistematis, karena pemikiran Pythagoras selalu beraturan dan urut dan bertanggung jawab, dimulai dari sebab dan berakhir di akibat. Dalam mempelajari filsafat tentunya kita juga harus berpikir sistematis agar apa yang kita pelajari tidak amburadul melainkan teratur dan urut. Dalam merogoh kenyataan dibalik sebuah hakikat, maka dibiutuhkan keteletian berdasarkan urutan yang teliti dan beraturan. Pada akhirnya tak ada satupun ranting yang terputus dan sengaja dihilangkan.


*TOR diskusi LPMS IDEAS

Hari Senin, Puasa, dan Malapetaka*


Ada salah satu kenang-kenangan yang mungkin akan melekat dalam ingatan saya sampai tua nanti dan akan menjadi cerita bagi anak cucu saya. Ketika itu saya masih terbang di jaman-jaman Sekolah Menengah Atas (SMA), jaman yang membuat saya harus melakukan banyak revolusi dalam pikiran karena banyak yang harus dihilangkan dan beberapa harus diingat. Kenang-kenangan yang saya maksud bukanlah barang atau kisah berciuman dipojok kelas, karena saya memang tidak pernah berciuman di waktu SMA, kenang-kenangan yang saya maksud adalah sebuah kejadian menyedihkan atau bisa disebut malapetaka.

Kejadian yang selalu melekat seperti permen karet yang telah dikunyah selama lima hari itu adalah ketika saya terjaring operasi kasih sayang yang dilakukan oleh Satpol PP. operasi kasih sayang ini memang rutin dilakukan oleh Satpol PP untuk menjaring anak-anak yang sedang bolos sekolah. Dan saya tak sengaja bolos sekolah waktu itu tapi alasan apapun tak akan diterima oleh petugas Satpol Asu itu.

Kejadian itu berawal pada hari senin yang buruk, karena masalah dalam keluarga saya sedang mendidih. Hari itu saya memang memutuskan untuk berpuasa karena ketika SMA saya adalah salah satu dari beberapa anak yang tinggal di musholah SMA sebagai remaja masjid plus tukang bersih-bersih dan itu bisa meminimalisir pengeluaran orang tua saya, karena mereka tidak mengeluarkan uang untuk biaya kost saya. Oh iya saya belum bercerita bahwa jarak antara rumah dan sekolahan saya lumayan jauh, kira-kira 20 kilometer. Setiap hari minggu saya menyempatkan pulang untuk mencium aroma kemarahan dirumah, walaupun saya benci sekali aroma kemarahan itu. Dan ketika hari seninnya saya nebeng ke teman saya satu desa yang satu sekolah dengan saya. Tapi berbeda dengan hari senin ketika saya ditangkap Satpol Asu itu.

Di hari senin yang buruk itu saya menyuruh teman saya berangkat terlebih dahulu, karena saya sebagai satu-satunya anak laki-laki dirumah harus mendinginkan keadaan rumah terlebih dahulu. Dan setelah keadaan rumah saya rasa sudah dingin, saya berniat untuk berangkat bersama ‘si kuning’ sepeda kesayangan saya, walaupun saya tahu tidak akan sampai tepat waktu di sekolah, tapi tekad saya sebagai murid yang berbakti kepada Negara yang busuk ini membuata saya bersemangat mengayuh sepeda dalam keadaan berpuasa.

Sekitar satu jam lebih saya mengayuh ‘si kuning’ dan rasa capek pun menghampiri tubuh sexy saya. Setelah dekat dengan sekolahan saya memutuskan berhenti sejenak untuk beristirahat sembari menunggu upacara bendera selesai, karena saya melihat jam masih pukul 07.40 WIB dan biasanya upacara bendera di sekolahan saya belum selesai.

Keputusan untuk beristirahat sejenak itu ternyata membawa malapetaka besar, ketika saya sedang menikmati enaknya udara pagi dan cicit beberapa burung di gazebo depan stadion surajaya bersama ‘si kuning’ tak disangka-sangka mobil berwarna hijau berhenti dan beberapa orang Satpol asu keluar dari mobil itu. Tanpa bosa basi lalu saya dan ‘si kuning’ diseret masuk ke mobil itu dan ternyata di dalam mobil itu sudah banyak anak-anak berseragam sekolah yang tertangkap.

Di dalam mobil saya ditanyai nama dan asal sekolah, tapi ketika saya menyebutkan nama lengkap saya Satpol Asu itu malah bersiap meluncurkan bogem mentah kearah muka saya, sontak saya memegang tangannya dan menunjukkan bet nama yang ada di seragam saya, Satpol Asu itupun terdiam. Yah malapetaka itu tidak selesai sampai disitu, semua anak-anak yang bolos sekolah dibawa ke dinas pendidikan dan akan dijemput oleh kepala sekolahnya masing-masing. Ketika kepala sekolah saya datang, saya melihat kemarahan dalam bola matanya. Dan kemarahan itupun keluar ketika saya sampai di sekolahan dan masuk ke ruang kepala sekolah. Beberapa cacian saya telan mentah-mentah karena saya dianggap mencemarkan nama sekolahan.

Hari senin, puasa, sekolah, dan kemarahan. Saya tidak akan melupakan itu, karena kejadian itu seperti kabel yang akan menghubungkan saya dengan masa suram di jaman SMA.


*tulisan "GJ" untuk perang dengan Diekey

Selasa, 17 April 2012

Dua Hadiah Akibat Hepatitis

Minggu-minggu ini adalah minggu yang mengerikan sekaligus menyenangkan bagi saya. Bagaimana tidak, selama dua minggu saya harus terkapar di rumah karena serangan hepatitis tapi saya merasa beruntung karena serangan hepatitis itu. 

Akibat serangan hepatitis itu saya mendapatkan hadiah yang tidak saya duga, yang pertama adalah sebuah antologi puisi What’s Poetry? Dari acara forum penyair internasional dan yang kedua adalah hadiah buku yang saya belum tahu buku apa itu dari Radio Buku yang sedang menggelar kuis untuk acara ulang tahun Iboekoe.


Dua hadiah itu saya dapatkan dari kuis yang diadakan Forum Penyair dan Radio Buku di twitter. Saya tidak menduga, hanya dengan tidur dan online lewat handphone saya bisa mendapatkan buku-buku yang bernilai itu.

Saya memang beruntung terkena hepatitis, karena hepatitis itu saya bisa istirahat dirumah sambil mengikuti kuis di dunia maya.