“Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, menjadi pertanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran ayat 190)
Sore
ini keadaan kampung halaman saya begitu tentram. Banyak anak kecil yang bermain
di depan rumah, tak terkecuali rumah saya karena kakak saya sudah punya dua
anak. Kampung yang terakhir kali saya ingat begitu gersang dan panas sekarang
jadi sederet kebun yang nyaman untuk berteduh pada setiap rumah-rumah warga.
Berbagai macam tanaman dan bunga, juga jalan yang hampir tuntas dipermak
membuat keadaan semakin menyenangkan bagi saya. Senyum warga, tawa anak kecil
dan siapa yang tidak suka ada gadis-gadis remaja yang ngerumpi di depan rumah
setelah mandi dan berias. Jujur saya menyukai pemandangan itu. Begitu lengkap.
Begitu sejuk.
Tapi
sore di rumah saya tak pernah berubah, hanya semacam sejarah yang acak seperti
kata Foucoult. Sore ini ketika menulis, bapak dan ibu saya sedang duduk santai
di depan rumah dengan obrolan yang selalu sulit saya mengerti. Padahal besok
sudah hari raya, tak ada hubungannya sebenarnya tapi anggap saja kalimat ini
tak penting.
Sore
ini adalah akhir bulan ramadhan, tapi obrolan bapak dan ibu saya sepertinya
sama sekali tak ada hubungannya dengan bulan ramadhan. Mereka sedang asik
membicarakan pengaruh Pemilihan Presiden (Pilpres) dan invasi Israel terhadap
Palestina. Tak aneh memang jika mereka membicarakan topik itu, karena keduanya
sampai sekarang masih hangat bagai gedang
goreng yang baru diangkat dari penggorengan. Tapi untuk ukuran orang tua dengan
umur kurang lebih 60 sampai 70 tahun yang sedang tinggal di desa, tak terjamah
konflik dan notabene tak terkena pengaruh yang signifikan, mengapa orang tua
saya memikirkannya?
Saya
tak mau ikut dalam lingkaran pembicaraan kedua rang tua saya. Saya tak pandai
mencairkan suasana obrolan orang tua, kecuali kalau mereka punya tingkah laku
seperti saya. Tapi saya masih heran mengapa mereka lebih memilih membicarakan
Pilpres dan Gaza daripada pembicaraan tentang baju baru, jajanan apa yg harus
dihidangkan besok dan tetek bengek tentang hari raya lainnya. Atau obrolan
tentang saya yang sama sekali tidak dibelikan barang baru, entah baju atau apa.
Tapi tak apalah masih ada baju yang lama.
Terdengar
ibu saya nyeletuk “tapi kabeh kok
kejadian nang wulan poso yo..” sembari menyisir rambutnya yang semakin memutih.
Pada akhirnya saya sadar juga, konteks pembicaraan mereka bukan Pilpres dan
Gaza sebenarnya. Tapi kejadian yang terjadi di bulan puasa kali ini. Ibu saya
memang pencerah.
Entah
sengaja atau tidak, memang banyak sekali hal-hal yang terjadi di bulan
ramadhan. Piala Dunia, Pilpres, Invasi Israel ke Gaza dan beberapa hal kecil
yang lain. Dan beberapa hal yang terjadi bebarengan dengan bulan puasa ini saya
rasa menuai banyak kontroversi.
Piala
dunia semisal. Brazil bisa dibilang sukses menjadi tuan rumah event empat
tahunan itu. tapi ada beberpa kontroversi yang muncul. Banyak yang menyoroti
masyarakat pinggiran Brazil yang hidup di lingkungan kumuh dan kurang terurus
oleh pemerintah. Saya jadi teringan film City
of God. Film yang berlatar di sebuah daerah pinggiran di Brazil. Film
tentang kemiskinan, kekerasan dan kekumuhan yang terjadi di Brazil. Juga
tentang perjuangan anak-anak kecil Brazil melewati hidup yang banal.
Lalu
invasi Israel ke Palestina. Sudah berapa tahun dua negara ini bertikai dan
sudah berapa orang yang jadi korban, entah saya tak tahu persis. Tapi perang
antara Iserael dan Palestina kembali memanas ramadhan ini. Israel di kebanyakan
orang dilambangkan sebagai yang jahat dan Palestina sebagai korbannya. Selalu
seperti itu, tentang agama dan beberapa hal yang berbau teologi lainnya
disangkut pautkan dengan pertikaian ini.
Sepasukan
hiperbola tentang Bani Israel datang,
kemudian semakin luas dan hampir seluruh dunia terbawa bahwa konflik Israel dan
Palestina adalah konflik islam dan yahudi. Konsensus dibentuk tanpa
kesepakatan. Yahudi jahat dan Islam jadi korban. Padahal sebagian masyarakat Palestina
adalah yahudi dan begitu sebaliknya, di Israel masyarakat muslim bisa hidup
dengan bebas.
Kemudian
Pilpres yang sampai sekarang masih hangat pemberitaannya. Presiden sudah
terpilih tapi masih ada yang tidak terima. Gugatan dilayangkan oleh pihak yang
menganggap ada kecurangan dalam Pilpres 2014 yang memenangkan Joko Widodo dan
Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Barang bukti dikumpulkan dan
gembar gembor penggugat bagai krakatau yang meletus, tapi sayangnya sampai
sekarang tak menghasilkan apa-apa kecuali hanya memperkeruh keadaan.
Sebelumnya,
pada masa kampanye pun banyak sekali permasalahan yang muncul. Menurut saya itu
membuat kotor pikiran rakyat indonesia. Semua hal dijadikan senjata kampanye
termasuk isu SARA yang sangat sensitif di indonesia. Mindset masyarakat dibentuk tanpa takut akan saling sikut. Dan pada
akhirnya Pilpres selesai tanpa kekerasan, syukurlah.
Tapi
dari ketiga kejadian yang berbarengan dengan bulan ramadhan itu, saya kira kita
harus bisa move on dan menggunakan
akal yang telah diciptakan oleh Tuhan. Seperti yang tersurat dalam Ali Imran
ayat 190 “Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi serta pergantian malam dan
siang, menjadi pertanda bagi orang-orang yang berakal.”
Tuhan
tak mungkin menciptakan akal tanpa menciptakan pula hal-hal yang bisa membuat
akal itu digunakan. Maka pada ramadhan ini, tentang Piala Dunia, Israel dan Palestina
juga tentang Pilpres tentu sudah diatur oleh Tuhan agar umatnya berfikir
menggunakan akal sehat dan bisa segera move
on dari kesalah kaprahan yang segaja diciptakan oleh beberapa pihak.
Sore
ini obrolan bapak dan ibu saya ditutup dengan meminum es buah dan di akhir
tulisan ini saya juga sempat menyeruput es buah. Es buah tak seperti kata yang
masih menyimpan keretakan pada beberapa sisinya. Es buah memiliki kepastian;
manis dan dingin. Tapi kata tentu masih mempunyai ketidakpastian yang bisa
mebuat kita salah jalan. Dengan kata lain, kita harus tetap bisa menggunakan
akal sehat kita untuk memaknai sebuah kejadian tanpa terbawa arus yang
tercipta. Akhirul kalam, selamat hari raya Idul Fitri dan mari memaafkan diri sendiri.[]