Wanitaku,
Entah kenapa aku merasa ini
adalah cinta yang sangat berharga. Banyak sekali tembok yang harus kulewati dan
kuhancurkan tanpa sisa. Tembok yang sangat kokoh. Tapi aku tak pernah menyerah
untuk mencintaimu. Itulah yang membuatku yakin bahwa ini bukan sekedar cinta
monyet dua remaja. Mungkin setelah ini kau juga akan merasakannya.
Kamu sudah khatamkan buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu kan? Puthut
begitu pintar bercerita tentang kesakitan juga cinta dalam bukunya itu. Dia meracik
pengalamannya mempertahankan cinta, menjadikannya cerita yang nyaman kita baca.
Mungkin aku pun seperti itu, tapi sayangnya aku bukan seorang sastrawan atau
penulis handal. Aku hanya lelaki yang dididik oleh kesakitan dan belum
menemukan penghujung yang entah. Tapi dari situ aku belajar mencintai. Mencintai
secara tulus. Ditinggalkan dengan tulus. Juga menerima semua dengan tulus.
Kadang aku berpikir, kenapa dari
dulu aku tak bisa menjadi lelaki yang tegas. Apalagi dalam hal mencintai. Aku begitu
menghargai cinta. Dan aku juga pernah merasakan nyeri akibat cinta. Tapi sekarang
aku mencintaimu sebagai yang ‘ada’. Sebagai puisi yang tidak akan pernah aku
tuntaskan. Sebagai lembar-lembar halaman yang padanyalah hidupku akan
menggoreskan nasib. Juga sebagai wanita yang semoga saja menjadi wanitaku yang
sesungguhnya; istriku. Semoga Tuhan menjawab doaku ini. Doa hamba yang tak
jarang menyepelekannya.
Aku menulis surat ini pada dini
hari yang dingin, suasana ruangan yang dingin dan wajahku yang mungkin dalam
pengelihatanmu juga dingin. Aku sedang tidak mempermasalahkan apapun tentang
kita. Walaupun aku tahu ada yang sedang tidak baik-baik saja. Tapi aku
mencintaimu dan aku percaya bahwa kau juga mencintaiku. Aku hanya sedang rindu
bada Ibu. Perempuan yang tak pernah terluka karena tingkah anaknya. Perempuan dengan
kasih yang sangat tulus.
Aku rindu pada Ibuku. Jadi ketika
kau menatapku tak usahlah berfikir bahwa aku sedang marah atau bersedih. Aku hanya
terjebak rindu. Mungkin aku juga akan seperti ini jika rindu kepadamu. Pada wanita
yang padanyalah cinta ini aku curahkan.
Suara Cristabel Annora yang
menyanyikan Desember milik Efek Rumah
Kaca sedikit membawa ketenangan padaku. Juga ditambah bayangan gurat senyummu
yang masih aku simpan dalam ingatan. Aku tak ingin mengutip puisi atau lagu
lagi dalam surat ini. Aku hanya ngin membiarkan semua yang ada dalam pikiranku
sekarang tumpah pada baris-baris surat ini. Aku hanya ingin membaginya dengan
wanita yang memutuskan menjalin hubungan denganku. Menjadi wanitaku dan
mencintaiku.
Sebelumnya sempat terpikirkan
olehku untuk menyerah. Menyerah pada nasib yang begitu kejam. Menyerah pada
tembok-tembok yang begitu kokoh. Menyerah pada waktu yang serupa belati, juga
masa lalu yang selalu kau nanti itu. Tapi aku tak bisa lepas mencintaimu. Sakit
menyingkir karena keyakinan diri bahwa mencintai itu menyenangkan. Lalu semua
kembali seperti biasa walaupun kau masih menyimpan beberapa hal lain. Aku tahu
itu.
Pada akhirnya aku memutuskan
untuk menyerahkan semuanya pada yang kita sebut cinta. Aku hanya ingin
mencintaimu tanpa memikirkan masa lalumu. Juga ketakutanmu mencintai kembali
masa lalumu yang tanpa sadar aku begitu mengagumi hal itu. Aku tak hanya mencintaimu.
Aku mengagumi beberapa hal yang kau miliki. Keluguanmu. Keceriaanmu. Matamu yang
padanyalah aku menemukan penerjemah luka. Keseharianmu. Juga keteguhanmu,
walaupun kadang kala kau tak bisa menyembunyikan kekalutan dan mendung pada
wajahmu itu.
Aku tetap seorang lelaki yang
sial. Tapi aku terus belajar. Belajar mencintai seorang wanita yang kuat dengan
menjadi laki yang kuat juga tentunya. Dan aku selalu berharap ada keterbukaan
antara kita. Karena ketika kita saling terbuka, mungkin kekuatan yang lain akan
muncul. Kita tak perlu bersembunyi. Kita diciptakan sebagai makhluk sosial yang
akan selalu membutuhkan makhluk lainnya. Tapi aku tak mau memaksamu. Aku tak
akan memaksamu lagi walaupun hanya agar kau sudi memakai jaket demi kesehatanmu.
Mungkin aku hanya menyuruhmu sekali saja, entah kau akan lakukan atau tidak.
Mengapa pagi ini aku teringat
momen dimana aku menghampirimu ke depan Indomaret ketika hujan dulu. Ketika itu
aku merasa kita sedang berada pada posisi yang sangat renggang. Walaupun kita
hanya terpaut jarak beberapa sentimeter saja. Kita berbicara tentang cinta saat
itu. Juga bercerita tentang masa lalumu. Ketika itu aku bercerita tentang masa
lalumu yang tidak lain adalah temanku.
Aku bercerita tentang temanku
yang pernah membawa wanita lain ke kamarnya. Wanita yang bukan kekasihnya,
karena yang ku tahu kaulah kekasihnya saat itu. Kau hanya tersenyum dengan
tatapan kosong. Tapi aku heran, rasa
cintaku saat itu semakin bertambah. Kau bukan seorang perempuan pendendam,
itulah yang membuatku semakin mencintaimu, juga mengagumimu.
Wanitaku, aku mencintaimu. Tanpa tedeng
aling-aling apapun.
Aku menghabiskan pagi dengan
menulis surat ini. Membuka-buka lagi surat balasanmu. Surat-surat yang
mengendapkan cerita kita. Surat yang mungkin berbeda dengan kenyataannya.
Aku menjanjikan banyak hal
padamu. Tapi semuanya belum bisa kupenuhi dan pada ulang tahunmu yang ke-19,
yang tepat jatuh pada tanggal 19 Januari kemarin, aku tak bisa memberimu
apa-apa. Bahkan sekedar ucapan pun aku tak memberikannya padamu. Mungkin kau
tak pernah merasakan itu ketika kau mempunyai pacar dulu. Maafkan aku jika tak
memberimu momen yang spesial di hari ulang tahunmu. Maafkan aku.
Tapi aku akan berusaha menepati
semua janji yang terlontar dari mulut besarku ini. Ah sepertinya sudah waktunya
tidur untukku. Karena adzan subuh sudah berkumandang dan aku tidak sadar
menuliskan surat ini di hari valentine. Aku tak pernah merayakannya, tapi apa
salahnya menghormati perayaannya? Maka di hari yang kata orang kebanyakan
adalah hari kasih sayang ini aku ingin mengatakan padamu. Kalimat yang mungkin
sudah terlalu sering kau dengarkan dan kau baca; Aku Cinta Padamu. Dan sekali
lagi maafkan aku tak bisa memberikanmu apapun di hari kematian pendeta
Valentino ini.
Dengan segenap rasa cinta,
Lelaki tengik