Rabu, 25 Juni 2014

#3

Wanitaku,

Entah kenapa aku merasa ini adalah cinta yang sangat berharga. Banyak sekali tembok yang harus kulewati dan kuhancurkan tanpa sisa. Tembok yang sangat kokoh. Tapi aku tak pernah menyerah untuk mencintaimu. Itulah yang membuatku yakin bahwa ini bukan sekedar cinta monyet dua remaja. Mungkin setelah ini kau juga akan merasakannya.

Kamu sudah khatamkan buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu kan? Puthut begitu pintar bercerita tentang kesakitan juga cinta dalam bukunya itu. Dia meracik pengalamannya mempertahankan cinta, menjadikannya cerita yang nyaman kita baca. Mungkin aku pun seperti itu, tapi sayangnya aku bukan seorang sastrawan atau penulis handal. Aku hanya lelaki yang dididik oleh kesakitan dan belum menemukan penghujung yang entah. Tapi dari situ aku belajar mencintai. Mencintai secara tulus. Ditinggalkan dengan tulus. Juga menerima semua dengan tulus.

Kadang aku berpikir, kenapa dari dulu aku tak bisa menjadi lelaki yang tegas. Apalagi dalam hal mencintai. Aku begitu menghargai cinta. Dan aku juga pernah merasakan nyeri akibat cinta. Tapi sekarang aku mencintaimu sebagai yang ‘ada’. Sebagai puisi yang tidak akan pernah aku tuntaskan. Sebagai lembar-lembar halaman yang padanyalah hidupku akan menggoreskan nasib. Juga sebagai wanita yang semoga saja menjadi wanitaku yang sesungguhnya; istriku. Semoga Tuhan menjawab doaku ini. Doa hamba yang tak jarang menyepelekannya.

Aku menulis surat ini pada dini hari yang dingin, suasana ruangan yang dingin dan wajahku yang mungkin dalam pengelihatanmu juga dingin. Aku sedang tidak mempermasalahkan apapun tentang kita. Walaupun aku tahu ada yang sedang tidak baik-baik saja. Tapi aku mencintaimu dan aku percaya bahwa kau juga mencintaiku. Aku hanya sedang rindu bada Ibu. Perempuan yang tak pernah terluka karena tingkah anaknya. Perempuan dengan kasih yang sangat tulus.

Aku rindu pada Ibuku. Jadi ketika kau menatapku tak usahlah berfikir bahwa aku sedang marah atau bersedih. Aku hanya terjebak rindu. Mungkin aku juga akan seperti ini jika rindu kepadamu. Pada wanita yang padanyalah cinta ini aku curahkan.

Suara Cristabel Annora yang menyanyikan Desember milik Efek Rumah Kaca sedikit membawa ketenangan padaku. Juga ditambah bayangan gurat senyummu yang masih aku simpan dalam ingatan. Aku tak ingin mengutip puisi atau lagu lagi dalam surat ini. Aku hanya ngin membiarkan semua yang ada dalam pikiranku sekarang tumpah pada baris-baris surat ini. Aku hanya ingin membaginya dengan wanita yang memutuskan menjalin hubungan denganku. Menjadi wanitaku dan mencintaiku.

Sebelumnya sempat terpikirkan olehku untuk menyerah. Menyerah pada nasib yang begitu kejam. Menyerah pada tembok-tembok yang begitu kokoh. Menyerah pada waktu yang serupa belati, juga masa lalu yang selalu kau nanti itu. Tapi aku tak bisa lepas mencintaimu. Sakit menyingkir karena keyakinan diri bahwa mencintai itu menyenangkan. Lalu semua kembali seperti biasa walaupun kau masih menyimpan beberapa hal lain. Aku tahu itu.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada yang kita sebut cinta. Aku hanya ingin mencintaimu tanpa memikirkan masa lalumu. Juga ketakutanmu mencintai kembali masa lalumu yang tanpa sadar aku begitu mengagumi hal itu. Aku tak hanya mencintaimu. Aku mengagumi beberapa hal yang kau miliki. Keluguanmu. Keceriaanmu. Matamu yang padanyalah aku menemukan penerjemah luka. Keseharianmu. Juga keteguhanmu, walaupun kadang kala kau tak bisa menyembunyikan kekalutan dan mendung pada wajahmu itu.

Aku tetap seorang lelaki yang sial. Tapi aku terus belajar. Belajar mencintai seorang wanita yang kuat dengan menjadi laki yang kuat juga tentunya. Dan aku selalu berharap ada keterbukaan antara kita. Karena ketika kita saling terbuka, mungkin kekuatan yang lain akan muncul. Kita tak perlu bersembunyi. Kita diciptakan sebagai makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan makhluk lainnya. Tapi aku tak mau memaksamu. Aku tak akan memaksamu lagi walaupun hanya agar kau sudi memakai jaket demi kesehatanmu. Mungkin aku hanya menyuruhmu sekali saja, entah kau akan lakukan atau tidak.

Mengapa pagi ini aku teringat momen dimana aku menghampirimu ke depan Indomaret ketika hujan dulu. Ketika itu aku merasa kita sedang berada pada posisi yang sangat renggang. Walaupun kita hanya terpaut jarak beberapa sentimeter saja. Kita berbicara tentang cinta saat itu. Juga bercerita tentang masa lalumu. Ketika itu aku bercerita tentang masa lalumu yang tidak lain adalah temanku.

Aku bercerita tentang temanku yang pernah membawa wanita lain ke kamarnya. Wanita yang bukan kekasihnya, karena yang ku tahu kaulah kekasihnya saat itu. Kau hanya tersenyum dengan tatapan kosong.  Tapi aku heran, rasa cintaku saat itu semakin bertambah. Kau bukan seorang perempuan pendendam, itulah yang membuatku semakin mencintaimu, juga mengagumimu.

Wanitaku, aku mencintaimu. Tanpa tedeng aling-aling apapun.

Aku menghabiskan pagi dengan menulis surat ini. Membuka-buka lagi surat balasanmu. Surat-surat yang mengendapkan cerita kita. Surat yang mungkin berbeda dengan kenyataannya.

Aku menjanjikan banyak hal padamu. Tapi semuanya belum bisa kupenuhi dan pada ulang tahunmu yang ke-19, yang tepat jatuh pada tanggal 19 Januari kemarin, aku tak bisa memberimu apa-apa. Bahkan sekedar ucapan pun aku tak memberikannya padamu. Mungkin kau tak pernah merasakan itu ketika kau mempunyai pacar dulu. Maafkan aku jika tak memberimu momen yang spesial di hari ulang tahunmu. Maafkan aku.

Tapi aku akan berusaha menepati semua janji yang terlontar dari mulut besarku ini. Ah sepertinya sudah waktunya tidur untukku. Karena adzan subuh sudah berkumandang dan aku tidak sadar menuliskan surat ini di hari valentine. Aku tak pernah merayakannya, tapi apa salahnya menghormati perayaannya? Maka di hari yang kata orang kebanyakan adalah hari kasih sayang ini aku ingin mengatakan padamu. Kalimat yang mungkin sudah terlalu sering kau dengarkan dan kau baca; Aku Cinta Padamu. Dan sekali lagi maafkan aku tak bisa memberikanmu apapun di hari kematian pendeta Valentino ini.

Dengan segenap rasa cinta,

Lelaki tengik

Senin, 23 Juni 2014

#2

Wanitaku,

Ketika kutulis surat ini, seorang teman di luar sedang memainkan Hey Jude milik The Beatles. Lagu itu tak sengaja melambungkan anganku padamu. Aku kutipkan dua baris liriknya untkmu;

“Hey Jude, don’t make it bad
Take a sad song and make it better”

Kau tentu tahu arti dua baris lirik itu kan? Dan tentunya kamu paham mengapa aku mengutip lirik itu. Semuanya karna kekalutanmu, juga airmata itu.

Tadi pagi aku mendapatkan surat balasan darimu. Kubaca berulang-ulang surat itu. Kubaca sekali, dua kali dan kubaca lagi tanpa sadar ada senyum muncul di mukaku. Lalu aku menulis surat ini sembari tersenyum. Aku tak lagi menulis surat dengan ditemani hujan. Tapi aku menulis surat ini dengan hangat sisa pelukan kita. Sebenarnya ada sedikit rasa takut dan malu ketika aku memelukmu. Aku gugup. Aku tak tahu harus mengucap apa. Sekejap waktu seperti berhenti, lalu hangat menyelusup ke seluruh tubuh. Aku baru pertama kalinya mendapat pelukan dari seorang wanita, kecuali ibuku.

Dalam remang dimana aku menulis surat ini, aku juga masih mengingat jelas senyummu. Aku seperti tak menemukan lagi kekalutan di raut mukamu. Malam itu, ketika kita bertemu adalah malam yang genap. Kita memulai pertemuan dengan mengejar matahari yang segera tergelincir di barat. Kita berdua tersenyum melihat kanvas senja itu. Senja yang selalu ranum di ingatan kita berdua.

Tapi aku tahu kau menyembunyikan sesuatu saat itu. Senyuman itu masih belum sempurna. Kau seperti mengutuki hari itu karena kau dipaksa mengingat masa lalu. Tapi ingatlah apa yang kukatakan, biarlah semuanya mengalir. Aku ingin melihatmu selalu tersenyum. Aku ingin kau selalu ceria. Dan aku akan selalu mengusahakan itu. Karena aku telah jatuh, aku jatuh. Jatuh cinta kepadamu.

Oh iya, tentang pertemuan pertama kita. Saat itu aku mengenalmu sebagai seorang wanita yang beruntung memiliki seorang pasangan. Dan aku selalu bahagia jika orang disekitarku bahagia. Ya, temanku yang dahulu adalah pasanganmu.

Di luar lagu yang dimainkan temanku berganti. Berdua Saja yang didendangkan oleh Payung Teduh. Dan aku ingat, lagu itulah yang menemani percakapan hangat kita malam itu. Setelah ini perlahan kita akan membangun ruang dimana kita punya tempat untuk bersama. Ruang yang kita sepakati sebagai cinta.

Tapi ingat, aku tidak akan pernah menopangmu, memapahmu atau menggendongmu. Aku hanya akan menggandengmu. Kita akan berjalan beriringan menelusuri setiap jalan yang ada. Entah berkelok. Jalan setapak. Jalan lurus bahkan jalan yang terjal sekalipun.

Pada titik ini aku butuh tempat berteduh, dan itu adalah kau. Semua kenangan masa lalu sudah kurapikan dan kusimpan dalam kotak ingatan. Aku tak mau membuangnya. Karena lupa adalah bagaimana kita mengingat sesuatu tanpa merasakan bahagia dan sakitnya yang pernah kita jalani. Kau bukan bayangan dari siapapun. Kau adalah tempat dimana sauhku akan kulempar.

Aku memilihmu karena pada mulanya adalah cinta, kemudian perjalanan dari hati ke hati. Barangkali jika kau tanyakan lagi mengapa aku memilihmu, aku tidak akan menjawabnya tapi aku hanya akan menggenggam erat tanganmu sembari memandang matamu. Lalu kau akan temukan sendiri jawabannya.

Aku begitu menyukai hujan, kau tau kenapa? Bukan karena kenangan. Aku menyukai hujan sedari kecil. Sebelum aku mengerti apa yang disebut orang-orang sebagai cinta. Aku menyukai hujan karena trauma masa kecilku. Trauma tentang beberapa  pukulan yang pernah mendarat di tubuhku. Trauma tentang sungai di mata ibuku. Dan pada saat itu hanya hujan yang membuatku tenang. Hujan juga menghapuskan trauma itu, walaupun pada akhirnya akan datang trauma yang lain.

Aku selalu ingin mencipta sejarah baru tentang hujan. Dan aku inin membuat sejarah bersamamu, juga hujan. Agar kau tak lagi takut tentang kehilangan, juga keterpurukan. Aku ingin memulai semua bersamamu. Hanya bersamamu yang memberanikan seorang laki sial ini mengucap kata cinta.

Malam itu akan segera awet dalam surat ini. Malam yang begitu menyenangkan. Tapi apakah kau benar-benar menerimaku? Entahlah, matamu berkata iya. Semoga saja tebakanku benar.

Aku akhiri surat ini dengan alunan suara Cholil Mahmud. Dia sedang menyanyikan lagu Jatuh Cinta Itu Biasa Saja;

“Jika jatuh cinta itu buta//berdua kita akan tersesat// saling mencari di dalam gelap// keduamata kita gelap// lalu hati kita gelap, hati kita gelap// lalu hati kita gelap”

Tertanda dan terucap sayang,

Lelaki tengik

Minggu, 22 Juni 2014

Malam

Perempuan itu
menyeruput sesuatu dalam gelas
lalu matanya menyipit
“Kenapa?”

“Rasanya seperti kopi.”

#1

Dear Perempuan..

Kutulis surat ini dalam sepetak kamar kosong dan gelap, tempatku menguapkan angan tentangmu. Diluar sedang hujan. Sangat deras dan aku suka itu.

Entah apa yang sedang kau lakukan disana. Apakah kau masih merajut kalut? Apakah kau masih mencoba menyingkirkan kenangan? Ataukah kau sedang mendengarkan senandung Is Payung Teduh?

Aku tulis surat ini seperti sungai yang mengalir lembut. Seperti perasaanku ada pada setiap kata yang aku tuliskan. Kulihat hujan di luar semakin lebat. Kubayangkan juga wajahmu membayang dalam derainya. Hari ini mungkin kau tidak lagi mengutuki matahari seperti biasanya. Karena hujan selalu membawa ketenangan. Bukankah begitu?

Hujan tak pernah senyinyir manusia. Hujan tau kapan dia harus datang dan kapan dia harus pergi. Hujan juga memberi kita ruang untuk berkontemplasi, ruang berteduh juga ruang untuk bersama dalam sebuah situasi. Dan aku masih menunggumu, seperti pelangi setia menunggu hujan reda.

Aku bisa saja mengirimu pesan singkat, tanpa berbelit-belit menulis surat seperti ini. Kita membuat janji untuk bertemu dan kita akan berbicara. Begitu mesra. Begitu lama. Seperti malam itu, masih ingatkah kau dengan malam itu? Malam dimana kau sandarkn kepalamu di bahuku. Begitu manja. Begitu hangat dan aku selalu inin hal itu berulang. Tapi, izinkanlah kali ini kutulis surat ini untukmu. Karena keinginan ini sungguh-sungguh menguasai hatiku. Keinginan untuk menjadikan suatu hal sebagai yang abadi. Walaupun hanya keinginan, tapi bukankah semua oreng boleh berkeinginan walaupun untuk hal yang sepele pun.tapi kadah hal sepele itulah yang akan menjadi indah. Seperti senja yang selalu sebentar menyapa kita, tapi dia membekas.

Masih ingatkah pertama kali kita bertemu? Di sebuah ruang di bagian dunia yang begitu ramai dengan obrolan para remaja. Saat pertama kali melihatmu waktu dihentikan oleh senyum kecilmu. Aku tak tahu maksud senyum itu tapi kubalas juga dengan sungging senyum bibirku. Lantas selanjutnya kita hanya berkomunikasi lewat media sosial. Tempat dimana jarak adalah waktu yang tak tercatat, dimana kita tak bisa saling sentuh. Hanya bisa meluapkan segalanya lewat frasa demi frasa penuh perasaan.

Berulang kali aku jatuh dan bangkit dan secara perlahan kita dipertemukan lagi oleh waktu. Atau barangkali Tuhan sengaja memberikan sebuah takdir pertemuan dan perpisahan yang lain kepada kita? Perlahan kita bangun pertemuan demi pertemuan. Perbincangan demi perbincangan dan hal-hal yang bisa membuat kita tertawa bersama.

Aku mencoba menebak kau yang sekarang; seorang wanita yang kuat. Tapi semuanya salah. Kau kembali terjatuh. Kekalutan berkelindan. Wajahmu layu tapi beruntunglah aku tak ada sungai di matamu. Chairil pernah menulis dalam puisisnya ‘hidup adalah kesunyian masing-masing’. Kita tak bisa meramal hidup. Selalu ada luka dan bahagia. Seperti hujan, kadang dia ditunggu dan kadang dia begitu tidak diinginkan.
Entahlah kenapa hatiku mengatakan bahwa aku sedang jatuh, iya sedang jatuh. Bukan jatuh dengan pengertian harfiah. Tapi jatuh yang lain, jatuh yang membuatku selalu tersenyum, jatuh yang menjadi keinginan.

Sepertinya ada banyak hal yang berubah darimu. Banyak yang kau sembunyikan. Tapi malam itu senyumu menjawab semuanya, juga ketika kau menggigit bibirmu aku rasa semuanya sudah cukup. Semuanya harus diungkapkan walaupun aku tak tahu akhir seperti apa yang menungguku. Sedari kecil aku dididik dengan luka. Sampai akhirnya aku tak lagi takut terluka dan sakit. Saat ini aku sedang jatuh cinta, kepadamu.
Barangkali kita tak usah terlalu peduli dengan apa yang mengelilingi kita. Biarkan semua berjalam menemani waktu. Juga pertemuan kita, biarkanlah ini berjalan walaupun kita tidak ingin ada yang terluka, tapi itulah hidup.

Inilah suratku, surat seorang laki yang sial yang sedari kecil berjalan dan selalu tersungkur karena keluarga yang hampir hancur. Ah tak usah kuceritakan kepiluan di surat yang menyenangkan ini. Kita berdua, kita tak akan pergi kemana-mana. Percayalah kita akan hidup di dunia yang masih dibalut hujan dan senja. Percayalah!

tertanda dan terucap sayangku padamu.

lelaki tengik

Jumat, 06 Juni 2014

Sadar

Hari ini saya bangun pagi, jika tidak salah sekitar pukul 08.40 WIB itu masih pagi betul menurut saya. Di samping saya ada Dani yang masih memejamkan mata dan raut mukanya seperti kurang sehat. Entah tubuh atau psikologinya yang sedang kurang sehat. Setelah beberapa menit mencoba mengumpulkan kesadaran yang tadi malam saya lepas untuk sementara, akhirnya saya memutuskan untuk duduk di depan pintu sekretariat. Ya, sekretariat Ideas. Tadi malam saya tidur di sekretariat Ideas, sebuah ruangan yang mengajarkan saya tentang kehidupan yang banal. Lalu mencuci muka tanpa sikat gigi juga di kran depan sekretariat.
Tiba-tiba saja perut saya mulai manja, memaksa saya untuk segera mengisinya. Saya melihat Dani masih terkapar tidur, masih dengan muka yang kurang sehat. Tapi pada akhirnya saya pun membangunkan dani dan mengajaknya makan. Setelah kenyang kami memutuskan untuk bersantai sembari menghisap beberapa kretek di sekretariat.
Setelah dzuhur Dani pun meninggalkan sekret untuk mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Ah entah kenapa seorang pemuda revolusioner seperti Dani masih mau mengikuti UAS. Tapi entahlah, mungkin dia masih berpikiran bahwa kuliah ini bukan media belajar tapi media mencari ijasah dan pencitraan sebagai sarjana. Karena beberapa kali saya ngobrol dengan Dani tentang kuliah dan dia menurut saya berpikiran praksis. Dani berpikiran bahwa dia masuk kelas dan mengikuti kuliah serta ujian itu hanya untuk formalitas saja. Dia lebih suka dan lebih nyaman belajar di luar tanpa sekat-sekat yang ditentukan oleh pihak akademik kampus.
Saya pun sempat berpikiran sama seperti Dani, tapi hidup tak melulu tentang membedakan dan menyamakan sesuatu bukan. Tapi sampai sekarang saya masih tetap memegang teguh bahwa apa yang diberikan di perkuliahan tidak lebih baik daripada obrolan di warung kopi atau diskusi-diskusi kecil di emperan jalan. Saya selama ini masih merasa bahwa dosen yang mengajar itu hanya bersifat memberi, bukan bersifat komunikatif karena saya beberapa kali diusir dari kelas karena mempunyai pemikiran yang berbeda dengan dosen itu.
Seperti sistem di Brazil yang dikritik oleh Paulo Freire. Anak didik diibaratkan sebagai sebuah gelas yang digunakan untuk menampung segala rumusan atau dalil pengetahuan. Para anak didik tidak dianggap sebagai individu yang dinamis dan punya pemikiran yang bebas dan dalam posisi seperti ini pengajar lah yang diuntungkan. Karena semakin banyak isi yang dimasukkan kedalam gelas oleh pengajar, maka semakin terlihat pintarlah si pengajar dan semakin patuh anak didik maka semakin dijunjunglah dia.
Apa yang terjadi dan coba dikritik oleh Freire itu malah menurut saya semakin masiv di sekitar saya. Bagaimana para mahasiswa mencoba mendekati dosen dan menuruti apa saja yang dosen perintahkan, tanpa memikirkan itu rasional atau tidak. Seperti yang pernah saya alami, salah satu dosen memberikan tugas membuat cerpen 50.000 kata. Saya tercengang dan secara logika menolak untuk mengerjakan tugas yang tidak khayal itu. Sayangnya teman-teman saya hanya mengeluh dan masih mau saja mengerjakan tugas itu. Aneh kan?
Pada posisi seperti itu saya ingat apa yang disebut Freire sebagai kesadaran manusia, salah satunya adalah kesadaran naif. Menurut Freire kesadaran naif ini muncul ketika sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif. Jika dilarikan ke kondisi di sekitar saya maka kesadaran naif ini muncul ketika mahasiswa menjilat dosen agar mendapatkan nilai yang bagus atau demi kepentingan personal mahasiswa itu sendiri. Selain itu mahasiswa yang ada di sekitar saya juga lebih suka menerima yang instan tanpa memunculkan dialektika. Dan yang lainnya seperti berdebat tentang permasalahan kuliah dibelakang pengajar, itu juga bisa diidentifikasi sebagai kesadaran naif.
Lantas esensi pendidikan sebenarnya apa? Apakah sebagai sarana penyadaran atau sarana pembebasan berpikir? Saya kira pertanyaan ini sulit dijawab ketika kebanyakan mahasiswa hanya mampu menerima atau yang disebut Freire sebagai kesadaran kritis transitif belum muncul.
Ah entahlah, padahal saya sekarang sedang cuti kuliah tapi kenapa saya masih memikirkan kehidupan kampus. Malang sekali nasib saya. ketika menulis ini saya sedang rapat redaksi bulletin, Winda sedang memimpin rapat, Dani sedang bermain korek, Fyruz sedang jadi notulensi dan entah apa yang sedang dilakukan Nurul dengan tisu dan bolpoint yang ada di tangannya. Semoga beberapa mahasiswa yang sedang bersama saya sore ini segera sampai pada kesadaran kritis transitif agar kegelisahan yang dibawa oleh Freire tidak mengganggunya di akhirat sana.[]

Kamis, 05 Juni 2014

System Of A Down dan Pengaruh Emosi Dalam Musik


Suatu saat, ketika saya sedang dalam keadaan galau maksimal, salah seorang teman saya memutarkan sebuah lagu yang aroma musiknya tidak asing bagi saya. Kemudian dengan nada suara  parau dan sedikit mengejek dia berkata “Daripada kamu mikir cinta yang macam tai kucing, mending kamu dengerin lagu ini.” Sembari meletakkan gelas bir yang baru saja menempel di bibirnya, teman saya itu kembali melanjutkan kalimatnya. “Lebih baik kamu memikirkan yang lebih penting macam pembantaian besar-besaran bangsa Armenia yang diceritakan lagu ini. Kegalauanmu bakal lebih berguna dibandingkan memikirkan wanita yg tidak aka nada habisnya.” Saya diam dan mencoba untuk mendengarkan dengan cermat lagu yang diputar oleh teman saya itu.
Akhirnya saya tahu, lagu yang diputar teman saya itu adalah lagu milik System Of A Down (SOAD) yang berjudul Holy Mountain. SOAD  adalah sebuah band yang memadukan musik underground trash metal dan musik alternative rock. Banyak pengamat musik mengatakan SOAD telah menciptakan aliran musik sendiri yang sangat unik, keras, tapi enak didengar1.
Akhirnya saya pun mengamini apa yang diungkapkan oleh teman saya dan kegalauan saya pun berputar 180(derajat) dari kegalauan karena cinta menjadi kegalauan karena sisi kemanusiaan. Tapi yang menjadi pertanyaan saya saat itu adalah, kenapa hampir setiap orang bisa begitu menghayati suatu musik dengan menyelaraskan kondisi psikolgis mereka? Misalnya saja, ketika sedang patah hati akan selalu ada lagu melankolis yang mengiringi keseharian kita. Begitu sebaliknya, ketika kita sedang bersemangat tentu lagu penggiring semangat yang akan diputar.
Tapi sepertinya teman saya mencoba merubah presepsi itu dengan mengganti lagu melankolis saya dengan lagu yang bisa membalikkan psikologi saya saat itu. Saya pun tidak lagi galau gara-gara cinta, tapi malah galau gara-gara memikirkan bagaimana musik bisa sangat berpengaruh pada diri pendengarnya. Selain itu saya juga memikirkan nasib bangsa Armenia yang ternyata sampai saat ini masih belum menemukan penyelesaian.