“...ada yang tetap tidak terucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah.”(Chairil)
Sore ini setelah hujan, aku pulang ke sekret dengan
memakai sepeda yang kau titipkan atau lebih bisa ku sebut kau hibahkan untukku.
Sepeda yang dulu sempat kita naiki bersama manuju alun-alun kota Jember yang
begitu riuh di hari minggu. Sepeda yang mengantar kita menuju tempat menggambar
bersama beberapa teman kita yang lain. Sudah lama sekali peristiwa itu
sepertinya, tapi semakin lekat di ingatanku ketika kau sekarang akan menetap di
kota yang lain. Aku menulis catatan ini sepulangnya aku dari warung bulek,
sembari membuka-buka lagi file gambarmu yang masih tersimpan rapi di laptopku,
yang kita terbitkan bersama teman-teman kita sesama penyuka gambar.
2010 yang basah. Aku membayangkan mempunyai seorang
sahabat yang suka menggambar sepertiku, dan Mas Kikik mempertemukan kita
pertama kali di warung bulek. Mulai dari situ ikatan batin kita mulai terjalin.
Kita menjadi sering mengobrol dan menggambar, juga membangun angan membuat
sebuah media yang memuat gambar-gambar kita. Sehingga terciptalah Babebo Zine
yang kita lahirkan bersama teman-teman penyuka gambar yang lain. Afwan, Umi,
Diki, aku dan tentunya kau.
Kau dan Umi adalah dua wanita yang ada dalam tim
menggambar kita dan tak semua dari kita bisa selalu bersama saat itu. Kita
hanya sesekali menggambar bersama karena banyak kesibukan yang mencipta tembok
yang kokoh. Yang tak pernah kulupakan darimu adalah aksen jawa yang kuat, juga
cara berdandanmu yang tidak seperti wanita lain.
Tapi itu dulu, di masa kita masih sering menikmati
malam di warung kopi pinggir jalan dengan obrolan yang tak jelas. Setelahnya
aku mulai sibuk, juga teman-teman yang lain. Kau sering sekali mengirim pesan
padaku hanya untuk sekedar mengajak ngobrol dan menemu malam di warung kopi,
tapi selalu ada alasan yang menggagalkan rencana kita. Intetitas menggambar
kita mulai berkurang, bahkan aku menyebutnya tidak ada perkembangan.
Andai kata kita tak pernah bertemu, tak pernah
menggambar bareng, tak pernah gila bersama, jujur saja aku tidak akan
menuliskan catatan ini dan kau hanya menjadi seberkas cahaya yang sekejap
hilang bagiku. Tapi mungkin karena itulah semuanya menjadi berbeda. Ketika
semua manusia modern menuhankan benda dan penampilan menjadi ukuran manusia,
juga hidup yang harganya adalah kesenangan. Maka, kita mencipta semacam upaya
untuk melawan semua kehidupan modern yang ranum itu dengan persahabatan yang
ramai, yang abai pada semua kepentingan, dan hidup dengan saling mengulurkan
tangan.
Di penghujung tahun ini, Desember 2012, di malam yang
tak pernah lepas dari dingin, kau datang ke sekretariat LPMS tempatku menemu
teduh. Kita bertemu dan seolah semuanya sedang baik-baik saja. Kau menjabat
tanganku dengan wajah yang sepertinya mengucap perpisahan, mata yang siap
menanggalkan airmata. Ternyata kedatanganmu adalah sebuah bentuk awal dari
perpisahan. Kau mengatakan akan pulang dan tidak akan kembali ke Jember lagi
karena surat pengajuan pengunduran dirimu sudah diterima oleh fakultas. Entah
apakah memang hidup benar-benar kejam sehingga kau memutuskan untuk berhenti
kuliah.
Seperti seorang bayi yang meninggal sebelum
dilahirkan, kita tahu hidup selalu meminta permakluman, meyatimkan segala yang
tak selesai dan bersiap menghadapi situasi selanjutnya. Kau tak menjelaskan
alasanmu dengan rigid dan aku tak mempunyai hak menahanmu untuk tetap ada di
Jember. Aku hanya seorang sahabat yang harus menghargai semua keputusanmu.
Diyah, atau lebih akrab kau ku panggil Nyu, panggilan
yang kita gunakan setiap kali bertemu. Kau tentu tahu hidup kerap menjadi medan
pertempuran yang menciptakan kekalahan dan kemenangan, juga sakit yang tak
tertahankan. Tapi hidup juga riwayat tentang mencipta montase untuk keadaan di
depannya. Dan di sanalah manusia mesti menentukan segalanya dengan kawanan titik
dan koma.
Pagi itu, kau menyempatkan menikmati kopi bersamaku di
warung bulek. Warung yang mempertemukan kita, yang mencipta segala riuh redan
senyuman kita. Kita membicarakan banyak hal, tentang kuliah, tentang teman-teman
kita, tentang dosen yang serupa Tuhan, dan pastinya tentang tujuan hidup yang
tak satu setanpun tahu. Setelah itu kau titipkan sepeda ontelmu padaku, kau
menyuruhku untuk menjaganya. Sepeda yang telah menyimpan banyak kenangan
untukmu dan setelah ini akan juga menyimpan kenangan tentangmu untukku, mungkin
juga sepeda ini akan meminjamkan harapan padaku bahwa kau akan sesekali
mengunjungi Jember untuk bertemu kawan-kawanmu yang akan merindukanmu.
Ah, Nyu, jika kau masih punya waktu untuk sekedar
berbosa-basi mengirim pesan singkat padaku atau membalas pesan singkatku
pastinya aku akan sangat bahagia. Akan ku jaga sepeda ini Nyu, ku jaga seperti
menjaga persahabatan kita yang akan menjadi kesunyian.