Kamis, 27 Desember 2012

Diyah


“...ada yang tetap tidak terucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah.”(Chairil)

Sore ini setelah hujan, aku pulang ke sekret dengan memakai sepeda yang kau titipkan atau lebih bisa ku sebut kau hibahkan untukku. Sepeda yang dulu sempat kita naiki bersama manuju alun-alun kota Jember yang begitu riuh di hari minggu. Sepeda yang mengantar kita menuju tempat menggambar bersama beberapa teman kita yang lain. Sudah lama sekali peristiwa itu sepertinya, tapi semakin lekat di ingatanku ketika kau sekarang akan menetap di kota yang lain. Aku menulis catatan ini sepulangnya aku dari warung bulek, sembari membuka-buka lagi file gambarmu yang masih tersimpan rapi di laptopku, yang kita terbitkan bersama teman-teman kita sesama penyuka gambar.

2010 yang basah. Aku membayangkan mempunyai seorang sahabat yang suka menggambar sepertiku, dan Mas Kikik mempertemukan kita pertama kali di warung bulek. Mulai dari situ ikatan batin kita mulai terjalin. Kita menjadi sering mengobrol dan menggambar, juga membangun angan membuat sebuah media yang memuat gambar-gambar kita. Sehingga terciptalah Babebo Zine yang kita lahirkan bersama teman-teman penyuka gambar yang lain. Afwan, Umi, Diki, aku dan tentunya kau.

Kau dan Umi adalah dua wanita yang ada dalam tim menggambar kita dan tak semua dari kita bisa selalu bersama saat itu. Kita hanya sesekali menggambar bersama karena banyak kesibukan yang mencipta tembok yang kokoh. Yang tak pernah kulupakan darimu adalah aksen jawa yang kuat, juga cara berdandanmu yang tidak seperti wanita lain.

Tapi itu dulu, di masa kita masih sering menikmati malam di warung kopi pinggir jalan dengan obrolan yang tak jelas. Setelahnya aku mulai sibuk, juga teman-teman yang lain. Kau sering sekali mengirim pesan padaku hanya untuk sekedar mengajak ngobrol dan menemu malam di warung kopi, tapi selalu ada alasan yang menggagalkan rencana kita. Intetitas menggambar kita mulai berkurang, bahkan aku menyebutnya tidak ada perkembangan.

Andai kata kita tak pernah bertemu, tak pernah menggambar bareng, tak pernah gila bersama, jujur saja aku tidak akan menuliskan catatan ini dan kau hanya menjadi seberkas cahaya yang sekejap hilang bagiku. Tapi mungkin karena itulah semuanya menjadi berbeda. Ketika semua manusia modern menuhankan benda dan penampilan menjadi ukuran manusia, juga hidup yang harganya adalah kesenangan. Maka, kita mencipta semacam upaya untuk melawan semua kehidupan modern yang ranum itu dengan persahabatan yang ramai, yang abai pada semua kepentingan, dan hidup dengan saling mengulurkan tangan.

Di penghujung tahun ini, Desember 2012, di malam yang tak pernah lepas dari dingin, kau datang ke sekretariat LPMS tempatku menemu teduh. Kita bertemu dan seolah semuanya sedang baik-baik saja. Kau menjabat tanganku dengan wajah yang sepertinya mengucap perpisahan, mata yang siap menanggalkan airmata. Ternyata kedatanganmu adalah sebuah bentuk awal dari perpisahan. Kau mengatakan akan pulang dan tidak akan kembali ke Jember lagi karena surat pengajuan pengunduran dirimu sudah diterima oleh fakultas. Entah apakah memang hidup benar-benar kejam sehingga kau memutuskan untuk berhenti kuliah.

Seperti seorang bayi yang meninggal sebelum dilahirkan, kita tahu hidup selalu meminta permakluman, meyatimkan segala yang tak selesai dan bersiap menghadapi situasi selanjutnya. Kau tak menjelaskan alasanmu dengan rigid dan aku tak mempunyai hak menahanmu untuk tetap ada di Jember. Aku hanya seorang sahabat yang harus menghargai semua keputusanmu.

Diyah, atau lebih akrab kau ku panggil Nyu, panggilan yang kita gunakan setiap kali bertemu. Kau tentu tahu hidup kerap menjadi medan pertempuran yang menciptakan kekalahan dan kemenangan, juga sakit yang tak tertahankan. Tapi hidup juga riwayat tentang mencipta montase untuk keadaan di depannya. Dan di sanalah manusia mesti menentukan segalanya dengan kawanan titik dan koma.

Pagi itu, kau menyempatkan menikmati kopi bersamaku di warung bulek. Warung yang mempertemukan kita, yang mencipta segala riuh redan senyuman kita. Kita membicarakan banyak hal, tentang kuliah, tentang teman-teman kita, tentang dosen yang serupa Tuhan, dan pastinya tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu. Setelah itu kau titipkan sepeda ontelmu padaku, kau menyuruhku untuk menjaganya. Sepeda yang telah menyimpan banyak kenangan untukmu dan setelah ini akan juga menyimpan kenangan tentangmu untukku, mungkin juga sepeda ini akan meminjamkan harapan padaku bahwa kau akan sesekali mengunjungi Jember untuk bertemu kawan-kawanmu yang akan merindukanmu.

Ah, Nyu, jika kau masih punya waktu untuk sekedar berbosa-basi mengirim pesan singkat padaku atau membalas pesan singkatku pastinya aku akan sangat bahagia. Akan ku jaga sepeda ini Nyu, ku jaga seperti menjaga persahabatan kita yang akan menjadi kesunyian. 

Minggu, 16 Desember 2012

Perempuanku, Airmata Itu…



Saya lupa kapan terakhir kali saya meneteskan airmata bahagia, atau bahkan saya sudah lupa bagaimana menangisi kebahagiaan. Tapi malam ini (sabtu, 15/12/12) entah kenapa airmata begitu mudah menderas dari kelopak mata ketika memandang mata seseorang yang ada di depanku, dekat sekali di depanku.

Mata itu adalah mata seorang wanita yang begitu lembut, mata seorang penerjemah luka, saya tahu itu. Tapi disitulah kenapa saya begitu menyayanginya. Saya seorang yang bisa membaca luka itu dari pandangannya. Saya juga tahu bahwa dia adalah wanita yang begitu menghargai pasangannya, dan tentunya saya begitu beruntung menjadi pasangannya.

Malam ini begitu berbeda dibanding malam-malam sebelumnya ketika kami bersama. Malam itu saya menjadi seorang yang benar-benar cengeng, saya menangis, saya seorang lelaki yang tak bisa menahan airmata. Dia bertanya tentang satu kalimat yang ada dalam surat yang saya tuliskan untuknya. “perasaan yang begitu aneh setelah membaca postingan terakhir di blogmu.” Dan saya tak bisa menjawabnya karena saya tak bisa menerjemahkan perasaan aneh itu dalam kata, ah kenapa saya begitu melankolis. Pada saat itu saya hanya bisa memandang matanya begitu dalam dan tanpa saya sadari airmata sudah merembes di sekitar mata saya. Saya malu benar-benar malu padanya, tapi itu bukan airmata sedih melainkan airmata karena saya begitu bahagia memilikinya. Saya bahagia bisa menjadi seorang yang menggandeng tangannya dan membelai lembut rambutnya.

Malam ini saya bisa menangis bahagia karenanya, karena seorang perempuan yang saya sayangi. Terimakasih sayang, terima kasih karena kau, cinta menjadi sebuah penghargaan yang begitu besar. Karena kau juga airmata ini menjadi sebuah kenangan yang indah dengan rasa sayang yang saya percayai begitu besar.

Saya yakin dia tentunya begitu menyayangi saya dengan pandangan mata yang begitu dalam itu dan semua perasaan aneh itu pun segera hilang. Saya yakin dan percaya bahwa dia adalah pasangan yang begitu hebat, dia adalah perempuan yang kuat, saya percaya itu. Saya ingin merasakan kehidupan masa depan dengannya, saya tidak hanya berangan tapi saya akan  berusaha. Tak ada luka lagi bagi keterasingan dalam hidup ini. Dan pada malam yang sama saya menuliskan sebuah sajak, sehabis menyeruput kopi di cak ipul. Sajak tentang keterasingan dan tentunya tentang kehidupan.


Hidup

Lalu kita hirup aroma kehidupan, bersama ngilu nasib
Juga berjuntai-juntai kenangan
Yang tak pernah habis di makan hari
Atau bahkan tahun

Namun tak ada yang lebih kejam
Selain bersanding dengan kesalahan
Juga kelindan penyesalan

Hidup tak perlu melulu mendaki gelisah
Sebab setelahnya adalah sajak-sajak yang kelam
Yang kita panggil sebagai
-keterasingan

11/12/12

Ah, pasanganku tentunya kita akan berjalan bersama, bergandengan tangan dalam keterasingan hidup ini. Saya yakin hidup masih sebagai kesunyian masing-masing. Juga airmata ini adalah kemenangan yang menghapus segala perasaan aneh yang kurasakan. Sekali lagi terima kasih perempuanku.

Jumat, 14 Desember 2012

Takdir


Bersama jembut-jembut bapak yang rontok
Ibu sedang menyulamkan baju nasib untukku
Untuk anaknya yang tak akan pernah lahir
Sebagai seorang lelaki yang utuh

Mereka berdua tahu
Anaknya adalah kegelisahan yang urung
Dan kegembiraan yang sirna

Bapak tak pernah mencukur jembutnya
Sedang ibu tak pernah berhenti menyulam
Dan aku juga tak pernah rampung menjadi seorang perjaka

12/12/12

Rabu, 12 Desember 2012

Tersilam

; N.D. Vindriana

Di pantai itu matahari berlayar menepi
Pada tanjung yang tak juga karam
Juga rasa sakit yang kau lipat dalam senyum
Yang kau sebut itu
-kenangan
Menjelma kepiluan yang tak pernah usai

Sayang, kau tak usah memaksakan kepalsuan
Hidup adalah kesakitan yang tak pernah usai
Maka rubahlah semua kenangan menjadi bayangan

12/12/12

Selasa, 11 Desember 2012

Balada Perpisahan

Ketika sunyi siap menepi dalam tangis yang hampir usai, kau serupa sauh yang tak hendak diangkat
Lalu waktu membatu di sekitarmu menepis fajar yang hendak menampakkan senyum keemasannya.
Kita tak pernah benar-benar menjadi tua kawan, kita juga tak penah benar-benar akan mati
Yang terlalui hanyalah semua yang hanya akan menjadi masa lalu, dan kita akan tetap hidup pada masa lalu.
Hidup sebagai kenangan yang tak pernah tidur dan tak pernah bangun, bagai mendung yang menyimpan hujan.
Menangislah, dan buang semua airmata itu lalu kita kemas semua kenangan dan masa lalu
Dan bersiaplah untuk melangkahkan kaki kita pada bab kehidupan yang lain, yang lebih kejam dari padang kurusetra dan lebih luas dari gurun sahara.
Kawan, pada pintu nasib kita menggantungkan hidup layaknya hiasan yang bergemerincing
Jika nantinya kita akan menjadi tua dan mati, tentunya hanya tubuh kita yang terhempas olehnya
Dan jika kita harus berpisah, pasti perpisahan yang indah akan terhidang sebagai santapan perjamuan terakhir kita.

Rabu, 07 November 2012

Dualisme Raden Saleh*

Indonesia pernah mempunyai seorang pelukis yang begitu hebat dan dihargai oleh bangsa Eropa, bahkan sang pelukis itu sempat dijadikan pelukis kerajaan di Jerman. Pelukis itu adalah Raden Saleh, sejarah Indonesia tentu mencatatnya sebagai salah seorang yang berpengaruh karena latar belakang kehidupannya. Raden Saleh adalah seorang asli Jawa yang sangat beruntung mendapatkan ketenaran di luar negerinya sendiri karena keterampilan melukisnya.

Raden Saleh pertama kali menginjakkan kakinya di Eropa adalah di Negara Belanda pada tahun 1829, negara yang sedang menjajah tanah kelahirannya. Selain itu keberangkatan Raden Saleh ke Belanda juga dibarengi dengan peristiwa perang diponegoro, yaitu pada tahun 1830. Ketika kepergiannya ke Belanda berbarengan dengan tragedi perang Diponegoro kita mungkin mempertanyakan dimana letak nasionalisme Raden saleh, tapi Raden saleh pergi ke Belanda bukan untuk membela belanda tapi dia berniat untuk memperdalam ilmu melukisnya.

Walaupun Raden Saleh banyak menghabiskan umurnya di Eropa tapi dia tetap menunjukkan nasionalismenya. Seperti yang dituliskan Imam Muhtarom dalam esainya yang berjudul Raden Saleh, sang maestro.
Di sayap kiri setelah melewati pintu masuk, pengunjung dihadapkan pada catatan kuratorial mengenai kemenduaan antara badannya di Eropa sementara jiwanya tetap menetak di Hindia Belanda.”

Dalam esainya itu Imam memperlihatkan dualisme Raden Saleh yang terlihat di pameran lukisan “Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia” di Galeri Nasional Indonesia pada 3-17 Juni 2012. Lukisan-lukisan Raden Saleh yang memakai teknik hasil pembelajarannya di Eropa masih menunjukkan corak ke Indonesiaan dan sekaligus menunjukkan rasa nasionalisme Raden Saleh yang tidak hilang setelah lama tinggal di Eropa.

Dualisme dalam lukisan Raden Saleh itu membuatnya dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai tonggak seni lukis modern di Indonesia. Gaya lukisan yang dibawa pulang Raden Saleh ke Indonesia adalah gaya lukisan dari Eropa yang belum pernah muncul di indonesia, dan gaya lukisan Eropa itu dianggap gaya lukisan modern di Indonesia.

Tapi ada yang lebih khas dari lukisan seorang Raden Saleh. Jika semua pelukis mungkin hanya memasukkan perasaan kediriannya saja terhadap lukisannya, Raden Saleh tak hanya melakukan itu. Dalam lukisannya yang berjudul “Penangkapan Pangeran Diponegoro” Raden Saleh memunculkan perasaana kedirian, juga gambar dirinya sendiri di dalam lukisan itu. Lukisan yang menggambarkan penangkapan Pangeran Diponegoro yang diakibatkan oleh pengkhianatan bangsa kolonial. Peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro ini sangat berpengaruh terhadap sejarah Indonesia untamanya bagi orang Jawa yang pada saat itu begitu mengagumi Pangeran Diponegoro sebagai pimpinan perang Diponegoro.

Kekaguman dan kekecewaan orang Jawa pada penangkapan Pangeran Diponegoro mungkin mengganggu pikiran seorang Raden Saleh saat itu, kerena ketika kabar perang Diponegoro telah usai dia berada di Negara yang menjadi lawan Indonesia dalam perang Diponegoro, yaitu Belanda. Raden Saleh yang memang tidak mengenal seorang Pangeran Diponegoro secara dekat hanya dapat meresapi kepribadian seorang Pangeran Diponegoro dari barang-barang hasil sitaan Belanda ketika perang Diponegoro usai.

Kenangan tentang perang Diponegoro dan kekaguman Raden Saleh terhadap seorang Pangeran Diponegoro selalu menghantui pikiran Raden Saleh walaupun dia sudah berpindah dari Belanda ke Perancis. Akhirnya dengan bersusah payah pada tahun 1857 lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” diselesaikan oleh Raden saleh, walaupun sebelumnya sudah ada lukisan yang juga menggambarkan penangkapan Pangeran Diponegoro yang dibuat oleh orang Belanda, yaitu Nicolaas Pieneman yang disuruh oleh pimpinan Belanda penangkap Pangeran Diponegoro, Hendrik Merkus de Kock.

Dua lukisan tentang penangkapan Pangeran Diponegoro itu begitu berbeda. Dan mungkin hanya ada dua unsur dari dua lukisan itu, yaitu pamer dan perlawanan. Lukisan Pieneman adalah lukisan yang mengandung unsur pamer, karena lukisan itu dibuat hanya untuk memperlihatkan kegagahan Belanda menangkap orang Jawa tanpa meneliti lebih dalam. Bagaimana tidak, Pieneman adalah seorang yang tak pernah pergi ke Jawa dan ciri penduduk jawa tidak muncul dalam lukisannya.

Sedangkan lukisan Raden Saleh adalah lukisan yang mengandung unsur perlawanan. Raden saleh adalah seorang dengan dualisme bangsa, yaitu Jawa dan Belanda. Karena dia sempat hidup di Belanda, sehingga dalam lukisan Raden Saleh, ke’Belanda’an dan ke’Jawa’an itu muncul dalam lukisan Raden Saleh itu. Selain itu dalam lukisan itu Raden Saleh juga memperlihatkan perlawanan seorang Pangeran Diponegoro yang tidak sudi memandang orang-orang Belanda dan yang paling tidak terduga adalah tiga gambar diri seorang Raden Saleh sendiri ada didalam lukisan itu sebagai bentuk perlawanannya terhadap penangkapan Pangeran Diponegoro.

Raden Saleh, Pangeran Diponegoro, Hendrik Merkus de Kock dan Nicolaas Pieneman adalah 4 orang yang berpengaruh terhadap sejarah perang Diponegoro, tapi di Negara meraka masing masing dan dengan perspektif masing-masing.[]

*Tulisan ini pernah dikirim ke lomba menulis esai 'Mengenang Raden Saleh' dan menjadi urutan nomor dua naskah terbaik (tapi tidak jadi juara)

Selasa, 16 Oktober 2012

Ketika Senja Jibril Datang Ke Rumahku

Ketika senja jibril datang kerumahku, tanpa sayapnya
Lantas mengajakku berbincang
“apakah kau pernah berpikir mendapatkan sesuatu dari Tuhanmu?”
Suaranya liar, tak seperti sabda tuhan yang dititipkan pada malaikatnya
“aku tak pernah berpilir tentang Tuhan wahai Jibril”

Aku tak menyuguhkan apapun di meja rumahku
Aku tak tahu apa yang dimakan malaikat dan apa yang disukai malaikat
Hanya ada bunga dan taplak meja yang terhampar.

Dia berikan secarik kertas padaku
“itu adalah sajak dari Tuhan untukmu”
“lalu untuk apa kau berikan ini padaku wahai Jibril?”

Jibril tersenyum riang
Dan aku tercengang
“pikirkanlah kata-katamu dalam hati wahai penyair!”
Lantas sekejap jibril menghilang dari hadapanku.

Hikayat Cium dan Desah


Dan kita pernah datang pada gelap yang serak
Menuliskan pandang mata yang tak pernah usai
Pada bibir malam yang kita larung oleh tubuh

Minggu, 14 Oktober 2012

Minum

“Kamu sakit gara-gara kebanyakan ‘minum’ Dam, masa setiap malam kamu ‘minum’ terus. Apa ndak ada niatan buat berhenti minum?”

Yah itulah yang dikatakan teman saya ketika menjenguk saya yang tergeletak lunglai di kamar kontrakan. Saya hanya menjawabnya dengan senyuman yang benar-benar tulus dan dibalas lagi olehnya degan muka kecut, mungkin dia sadar bahwa saya sulit sekali untuk berubah hanya dengan nasehat-nasehat serupa wahyu Tuhan kepada para nabinya.

Dua hari sebelum saya benar-benar sakit, tubuh saya memang sudah mengisyaratkan agar saya beristirahat, tapi masih banyak keperluan yang harus saya selesaikan dan itu membuat saya sulit menyisakan waktu sekedar hanya untuk istirahat. Beberapa rapat, diskusi, dan obrolan-obrolan warung kopi yang sulit untuk ditinggalkan membuat saya mondar mandir setiap hari.

Dan apa yang dikatakan teman saya tentang ‘minum’, hampir setiap malam saya diajak oleh teman-teman untuk melakukan kegiatan yang memunculkan keakraban dan persaudaraan itu. saya tidak pernah berniatan ‘minum’ untuk membuat saya mabuk dan melupakan semua masalah, hanya orang-orang yang kalah yang akan melakukan itu. ‘minum’ saya menganggapnya sebagai ritual yang sangat sakral, ritual yang akan memunculkan suasana kekeluargaan pada setiap botol dan setiap gelasnya.

Barangkali apa yang ada pada pikiran beberapa orang tentang ‘minum’ adalah kegiatan yang menjijikkan, kegiatan anak-anak nakal dan kegiatan yang tidak boleh dilakukan. Tapi saya tak mengamini itu, karena pada setiap tenggakan minuman itu ada sosok Tuhan yang selalu menyertai. Tuhan menciptakan banyak cara untuk membuat umatnya terpecah dan bersatu, dan saya menganggap kegiatan ‘minum’ adalah salah satu cara Tuhan untuk membuat umatnya bersatu.

Suatu malam, pada botol anggur saya dan teman saya menemukan suasana yang benar-benar akrab, bahkan kami bisa saling memberikan solusi untuk mengurangi beban yang kami tanggung. Dan saya ingat, salah satu teman saya benar-benar terinspirasi oleh sebotol beer, setiap harinya dipenuhi dengan botol beer. Dia mengatakan “Saya melihat wajahnya dalam sebotol beer.”. Setiap orang dengan pemikiran yang berbeda tentunya juga berbeda ketika melihat sebotol minuman.

Saya sempat ingin berhenti ketika saya menemukan kepercayaan pada diri seseorang yang berhasil memikat saya, tapi dia begitu saja hilang dengan alasan yang tak jelas dan akhirnya keinginan itu sedikit demi sedikit luntur. Dan apa yang dikatakan teman saya bahwa ‘minum’ adalah penyebab saya sakit bukan alasan yang tepat untuk membuat saya berhenti ‘minum’. Sutardji muda tidak akan bisa membaca puisi jika tak ada sebotol beer di sampingnya, begitu pula Rendra muda, dia sangat suka ‘minum’.

Di sini saya tak bermaksud untuk mengajak ‘minum’, tapi saya hanya mengutarakan kenapa saya ‘minum’ dan saya tidak bisa menghentikan kegiatan yang begitu menyenangkan itu. Oke, saya rasa tulisan ini bisa diakhiri walaupun masih banyak lagi yang bisa diceritakan tentang ‘minum’, karena sudah ada sebotol anggur di depan saya yang siap mengantarkan saya pada suasana kebersamaan yang sangat indah.[]

Minggu, 09 September 2012

Suka Mendayu-Dayu*

Barangkali efek rumah kaca benar dengan lagunya yang berjudu di udara saat rezim soeharto dulu, tapi keadaan sekarang berbeda, semua bebas menyerukan pendapat tanpa dihadapkan kepada teror dan ancaman yang lainnya, tapi kebebasan itu sepertinya hanya sia-sia karena pemerintah sekarang hanya menampungnya dan sepertinya sulit untuk merealisasikannya.
Efek rumah kaca mungkin ingin menyegarkan kembali pikiran pemerintahan sekarang dengan lagu-lagu mereka. Efek rumah kaca adalah band indie yang sudah atau mungkin sedikit terkenal di kalangan remaja. Band yang digawangi oleh cholil mahmud dan kawan-kawan ini memang sudah lama terbentuk, tapi sepertinya mereka kurang digandrungi oleh remaja zaman sekarang karena lirik lagu mereka yang kurang mendayu-dayu seperti yng diinginkan remaja jaman sekarang
Aku sering di ancam juga teror mencekam\\Kerap ku di singkirkan sampai di mana kapan\\Ku bisa tenggelam di lautan aku bisa di racun di udara aku bisa terbunuh di trotoar jalan\\Tapi aku tak pernah mati tak akan berhenti
Kurang lebih seperti itulah lirik lagu di udara karya efek rumah kaca. Band-band indie yang mendendangan lagu seperti ERK agaknya sulit dinikmati oleh orang-orang jaman sekarang khususnya remaja jaman sekarang yang menginginkan lagu yang mendayu-dayu tentang cinta, yang mendendangkan perselingkuhan dan masalah cinta lainnya.
Mungkin remaja jaman sekarang hanya menyukai lagu-lagu cinta yang membuat kuping geli bila mendengarnya. Bagaimana tidak geli bila mendengarkan lagu-lagu band jaman sekarang ini yang menceritakan bahwa selingkuh itu indah dan begini dan begitu. Tidak bermaksud menghakimi band-band yang mendendangkan lagu perselingkuhan, tapi sepertinya remaja zaman sekarang seperti tersihir dengan cerita yang tidak patut ditiru dalam bungkusan nada-nada yang mendayu-dayu. Dan yang membuatnya menjadi aneh adalah remaja zaman sekarang mengatakan bahwa lagu itu sama seperti nasib mereka.
Sebagian remaja yang mengatakan bahwa lagu itu sama seperti nasib mereka itu mungkin salah, yang bisa diterima nalar mungkin sebaliknya, bahwa mereka yang terpengaruh oleh lagu itu. Yang dicari remaja sekarang bukan lagi lagu yang membawa misi kebebasan tapi lagu yang membawa misi bahwa selingkuh tiu menyenangkan dan bercinta adalah segala-galanya di dunia ini.
Band-band yang membawakan lagu perselingkuhan dan percintaan ini memang berhasil menggedor pagar permusikan indonesia, tapi mereka tidak menengok apa akibat dari lirik-lirik lagu mereka terhadap pendengarnya, apalagi terhadap remaja yang masih labil pemikirannya. Remaja-remaja itu mungkin saja bisa menirukan lirik lagu perselingkuhan itu dengan bangganya, padahal dia tahu bahwa hal itu bisa di sebut “nakal”, tapi karena lagu yang mereka dengarka dan mereka tiru adalah lagu band yang sedang digandrungi saat ini, mereka mungkin tidak memikirkan apakah efeknya untuk mereka.
Zaman mungkin memang mempengaruhi selera para remaja, tapi apakah zaman juga telah mengubah jalan pikiran mereka? Mungkin memang iya, karena dalam kehidupan remaja sekarang permasalahan cinta ada dalam peringkat paling atas. Seperti halnya lagu cinta yang menduduki peringkat paling atas dalam deretan lagu paling disukai remaja.
Sementara remaja sedang sibuk dengan lagu-lagu mendayu yang mereka sukai, di belakang mereka pasar siap menerkam mereka dengan produk-produk lain yang kurang lebih akan merebut setengah hati mereka. Pasar memang tak pernah kekurangan cara untuk memikat konsumen mereka, label musik pun termasuk di dalamnya.
Barangkali efek rumah kaca, marjinal, dan the upstairs benar dengan mempertahankan ideologi mereka, karena mereka akan tetap hidup dalam ideologi mereka walaupun pasar kurang menerima lagu-lagu mereka. Tapi mereka mungkin telah memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya jika mereka tetap mempertahankan ideologi mereka, maka mereka berani mempertahankan tanpa menoleh ke belakang.
Di saat para remaja asik mendengarkan lagu yang menyihir mereka, indonesia sedang dirasuki bencana.



*Tulisan ini dimuat di rubrik Horizon, Radar Surabaya Minggu 5 Agustus 2012

Minggu, 26 Agustus 2012

Kenangan


Pada sepi yang tak kunjung reda
Kita mencipta cumbu di pojok kelas
Mengemas kenangan rapat-rapat dalam ingatan
Lantas membawanya pulang sebagai suatu senyuman

Pada bab kehidupan selanjutnya
Kita harus bertarung dengan kepulangan dan kepergian
Dan kenangan tentang cumbu
Masih membeku pada tiap marka jalan
Yang kita eja sebagai garis nasib

Pada sepi yang setiap hari mampir
Dalam ingatan tentang senyuman
Kita saling menatap pada bintang yang sendirian
Berharap kenangan tak segera menguap

Lalu ketika kita siap membuka masa lalu
Pada setiap kepulangan dan pertemuan
Kita tak lagi menemukan sisa cumbu di pojokan kelas
Semua rata, hancur bersama sekolahan dimana kita mencipta kenangan

Kamis, 23 Agustus 2012

Nikah

 ~tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu (Gie)




anak e paklekmu arep nikah suk sak durunge riyoyo besar.” apa saya tidak salah dengar dengan apa yang dikatakan ibu saya itu, sepupu saya mau menikah sebelum idul adha, padahal kabar terakhir yang saya terima ketika ke rumah paklek dulu, sepupu saya itu baru masuk kuliah di salah satu universitas islam di Lamongan. Ah, kenapa nasib begitu cepat berubah.

Saya memang selalu ketinggalan jika ada kabar pernikahan di keluarga besar saya, mungkin karena sifat apatis saya. Kabar pernikahan sepupu saya itu begitu menghantam jantung, lalu nafas keluar tersengal seketika. Sebenarnya sudah ada satu sepupu saya yang setelah lulus SMA dia menikah dan kemarin ketika bertemu, dia sudah menggendong anaknya yang berumur satu tahun, begitu cepat waktu menggiring nasib. Mendengar kabar sepupu akan menikah itu membuat saya kembali teringat masa-masa ketika masih sering menangis.

Ya, dulu ketika kami masih mengelap ingus dengan lengan baju, kami sering menghabiskan waktu bersama, berlari ke halaman tanpa pakaian, bermain sepeda dengan ugal-ugalan, bahkan saling menggosok badan ketika mandi bersama. Yah waktu itu belum ada nafsu ketika kami sama-sama melihat tubuh telanjang satu sama lain, yang ada hanya sifat kekanakan yang selalu dihiasi senyum dan tangisan.

Itu dulu, sekarang satu sepupu saya sudah menggendong anak, dan satu lagi akan menikmati bagaimana rasanya bergumul dengan suami. Kedua sepupu saya itu adalah wanita yang hebat, mereka mungkin mengenal Siti Nurbaya dan memaknai hidup sepertinya, tapi jika nasib sudah membuka pintu kita tidak akan bisa ingkar untuk melewatinya.

Satu lagi sepupu saya, seorang laki tapi bukan laki sial seperti saya yang masih harus memeras kantong orang tua. Sepupu laki saya itu sudah bekerja, walaupun dia hanya lulusan SMA dan dia sepertinya bahagia dengan pekerjaannya itu, dia sudah bisa membeli kendaraan untuknya juga untuk orang tuanya dan tentu dia juga siap untuk menikah dengan modal itu. Tapi sampai sekarang dia juga belum menikah.

Mungkin Gie tak salah mengatakan “tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu” dan kita pun tak akan pernah tahu walaupun kita selalu menentukan tujuan hidup kita sendiri-sendiri. Semua kembali pada pintu nasib yang akan terbuka natinya.

Ah, saya juga teringat bagaimana hampir 80% kawan SD saya sudah berkeluarga. Ketika saya pulang ke rumah saya melihat senyum-senyum menyembul dari wajah kawan SD saya yang sudah menggandeng seseorang di sisinya, dan saya pun membalas senyum mereka tentunya. Tapi ada seorang kawan SD yang mempunyai nasib sama seperti saya, masih tetap memeras kantong orang tua dan kami berdua sering sekali berbicara tentang masa lalu dan tentang gendongan anak-anak dari kawan-kawan kami.

Pernikahan, menurut gie hanya kontak malam antara laki dan perempuan. Pada hakikatnya memang seperti itu tapi ada yang kita tanamkan dalam sebuah pernikahan, entah apa itu tentunya para lelaki dan perempuan yang telah menikah pasti tahu itu. Seperti sepupu saya yang akan menikah sebelum idul adha nanti, dia pasti tahu apa yang akan dia lakukan dan dia tanamkan dalam keluarganya.

Yah semoga sepupu saya setelah menikah nanti masih mengingat bagaimana kita berlari tanpa pakaian di depan rumah, dan semua yang kita lakukan waktu kecil dulu. Dan tentunya semoga kau temukan keluarga yang bisa menanamkan kenangan dan membukakan pintu nasib untukmu.

Nah, barusan saya dapat sms dari teman yang senasib dengan saya dia mengajak saya ngopi dan tentunya dipenuhi obrolan tentang masa lalu dan “tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu.”

Minggu, 19 Agustus 2012

Jalan Terjal Pers Mahasiswa*


Judul              : Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
Penulis            : Moh. Fathoni
Penerbit          : Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia dengan Penerbit PT Komodo Books
Cetakan          : Cetakan ke-1, April 2012
Tebal              : xiv + 194 hlm
ISBN               : 978-602-9137-09-5


Membaca buku Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia ini seperti menyelami sebuah danau sejarah yang sangat dalam.  Pers mahasiswa ternyata mempunyai sejarah yang sangat panjang dan perjalanan yang tidak mulus di jelaskan dalam buku ini. Buku yang di susun untuk mengungkap sejarah pers mahasiswa sejak kemunculannya hingga sekarang ini dan perjalanan pers mahasiswa yang mengambil jalan perlawanan dan mungkin juga menggantikan peran pers umum pada tahun 1998.

Pemerintahan orde baru yang benar-benar otoriter dan usaha untuk membungkam fungsi pers umum dan terkesan menghalang-halangi gerakan mahasiswa juga begitu terang di jelaskan dalam buku ini. Para pegiat pers mahasiswa pada awal kemunculannya hingga sekarang dan data-data kegiatan juga pertemuan-pertemuan menjadi narasumber utama bagi buku ini.

Jalan Terjal
Buku yang ditulis oleh para alumni PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia) ini merekam perjalanan organisasi pers mahasiswa sejak bernama IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) yaitu gabungan dari dua organisasi pers mahasiswa yang terbentuk sebelumnya dalam konferensi pers mahasiswa I di Kaliurang pada 8 Agustus 1955, yaitu SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia) dan IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia). IPMI sebagai organisasi pers mahasiswa nasional pada saat itu melewati perjalanan yang sulit, sehingga tidak menjalankan funsinya dengan baik. IPMI kemudian jatuh dan tak menunjukkan eksistensinya semenjak pergantian rezim Orde lama ke rezim Orde baru.

Dituliskan dalam buku ini bahwa kepengurusan IPMI pada tahun 1980 semakin meredup, tidak ada lagi kegiatan ataupun pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan, bahkan pada saat itu beberapa media pers mahasiswa dilarang terbit. Kegelisahan para pegiat pers mahasiswa semakin menjadi karena IPMI tidak juga menunjukkan tajinya. Jalan yang terjal dilewati para pegiat pers mahasiswa, mulai dari kegiatan yang begitu dibatasi, pemberedelan media pers mahasiswa ada dimana-mana dan yang paling besar adalah dikeluarkannya kebijakan NKK/BKK, yaitu kebijakan penerapan penerbitan khusus, dan tindakan represif pemerintah melalui state apparatus-nya bisa jadi melemahkan dan merepotkan gerakan mahasiswa.

Semua kebijakan pemerintahan Orde baru yang mengebiri kegiatan mahasiswa khususnya pers mahasiswa dituliskan dalam buku ini. Data-data yang dulu kembali dimunculkan, sebagai pengingat dimana dulu pers mahasiswa menghadapi perjuangan yang tidak gampang karena sekarang tak ada lagi peraturan yang mengebiri kebebasan pers umum maupun pers mahasiswa.

Kemunduran demi kemunduran IPMI digambarkan pada buku ini, juga kegelisahan para pegiat pers mahasiswa yang butuh wadah baru pengganti IPMI yang semakin jatuh. Kejatuhan IPMI dan kegelisahan para pegiat pers mahasiswa menjadi sejarah awal terbentuknya PPMI. Pertemuan-pertemuan giat dilakukan oleh para pegiat pers mahasiswa untuk menghasilkan wadah baru, tapi pertemuan-pertemuan itu pun diawasi oleh pemerintahan Orde baru. Para pegiat pers mahasiswa tidak gentar. Kecerdikan para pegiat pers mahasiswa dituliskan di buku ini dengan diadakannya pertemuan-pertemuan yang ditutupi dengan kegiatan pelatihan jurnalistik mahasiswa se-Indonesia. Pertemuan dengan kedok pelatihan jurnalistik itu berhasil dan pada awal tahun 1990 terbentuklah organisasi dengan nama Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia yang akhirnya berubah menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia karena pertimbangan pada kerja yang dilakukan organisasi tersebut.

Tapi PPMI bukanlah anak atau turunan dari IPMI karena dalam buku ini dituliskan “Perlu dicatat pula, kelahiran PPMI bukan merupakan fase kelanjutan dari organisasi pers mahasiswa sebelumnya: Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Pun bukan berarti anti-tesa dari organisasi pendahulunya itu. PPMI lahir karena kehendak generasi zaman, dimana represifitas semakin menggila.” (Halaman 2).

Masih seperti IPMI yang melalui jalan terjal, PPMI juga harus bergelut dengan perintahan pada saat itu. Pertemuan demi pertemuan masih dibatasi oleh pemerintah karena PPMI bukanlah organisasi dengan legalitas. Tertulis dalam buku ini: “Kehadiran PPMI tidak dikehendaki penguasa kala itu karena terbentuknya PPMI tidak memiliki legalitas organisasi. Akhirnya, gerakan bawah tanah menjadi suatu pilihan.” (Halaman 2). PPMI sebagai wadah LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) yang berada dalam naungan kampus selalu berusaha dalam meperjuanangkan kebebasan pers mahasiswa, tapi usaha-usaha itu sangat sulit ketika berbenturan dengan pemerintahan pada waktu itu.

Gerakan Pers Mahasiswa
Periodisadi yang runtut menjadi salah satu kelebihan buku ini. Sejarah dituliskan sejak terbentuknya PPMI hingga usaha PPMI yang tak langsung ikut serta dalam penggulingan Soeharto pada pemerintahan Orde baru. Usaha-usaha para pegiat pers mahasiswa dalam PPMI untuk mendapatkan kebebasan mendapat dukungan dari para wartawan umum, salah satunya adalah Mochtar Lubis, ditulis dalam buku ini ketika Mochtar Lubis memberikan ceramah jurnalistik pada 2 Juli 1986 di Unas Jakarta, dia menyinggung mengenai kebebasan pers dengan berkata “Sudah Saatnya Pemerintah Lebih Terbuka kepada Pers,” (Halaman 30).

Tapi usaha untuk mendapatkan kebebasan itu malah berbalik, karena pemberedelan kembali terjadi pada media-media pers mahasiswa saat itu dengan alasan yang begitu sepele. Tabloid SAS (Sarana Aspirasi Mahasiswa) Fakultas Sastra Universitas Jember menjadi salah satu contoh media pers mahasiswa yang dibredel dalam buku ini. Tabloid SAS dibredel hanya karena memuat wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer dan mencetak tebal kata “rezim otoriter” pada tajuk rencananya.

Tak hanya Tabloid SAS, dalam buku ini disebutkan semua media pers mahasiswa yang diberedel pada saat itu, media umum yg diberedel pun juga disebutkan. Tapi PPMI tidak gentar menghadapi pemberedelan beberapa media itu, para mahasiswa yang ada di dalam PPMI semakin geram dan mencoba melawan.

Tragedi 1998 ketika pemerintahan Soeharto berhasil digulingkan juga dilukiskan dalam buku ini, khususnya peran pers mahasiswa pada saat tragedi 1998 itu. Pemberitaan demi pemberitaan juga pengawalan isu dilakukan oleh aktivis pers mahasiswa, walaupun mereka terus menghadapi halangan. Tak hanya pers mahasiswa saja yang menghadapi halangan dalam melakukan kegiatan, tapi semua kegiatan mahasiswa saat itu begitu dibatasi. Akhirnya para mahasiswa pun mempunyai satu musuh bersama atau common enemy yaitu pemerintahan Orde baru. Akhirnya semua aktivis mahasiswa dari segala kalangan termasuk aktivis pers mahasiswa pun bergerak dan berhasil menggulingkan pemerintahan Orde lama.

PPMI Masa Kini
Selain sejarah terbentuknya dan perjalanan PPMI dari awal, buku ini juga merekam berbagai kritik terhadap kinerja PPMI masa kini atau setelah terjadinya Tragedi 1998. Dalam buku ini dituliskan bahwa PPMI setelah tragedi 1998 seperti kehilangan orientasi karena tidak adalagi musuh bersama, bahkan dijelaskan pula permasalahan-permasalahn sepele yang mengguncang PPMI dari keluarnya beberapa LPM dari naungan PPMI sampai permasalahan internal yang begitu pelik dalam PPMI.

Tak hanya kritik yang ada dalam buku yang ditulis oleh Moh. Fathoni, dan kawan-kawan. Buku ini merekam semua semangat dan perubahan pada tubuh PPMI yang sampai sekarang masih bertahan sebagai organisasi yang membela kepentingan rakyat secara independen dan belum mempunyai legalitas. PPMI sebagai pers alternatif di samping banyaknya media umum karena tidak ada lagi undang-undang yang menghalangi kebebasan pers saat ini. “Pemberitaan dan isu yang diusung media persma harus mampu menyentuh persoalan-persoalan kerakyatan, bahkan lebih jauh harus mampu melakukan pembelaan.” (Halaman 172)

Buku dengan cover berwarna merah ini adalah salah satu buku yang harus dipunyai oleh para pegiat pers mahasiswa sekarang, karena dengan membaca buku ini kita akan mengetahui betapa terjal jalan sejarah yang harus dilewati oleh para pegiat pers mahasiswa dulu. Sayangnya dalam buku ini ada beberapa periodisasi tahun yang selalu diulang-ulang, sehingga mungkin membuat para pembacanya bingung dan bosan.

Tapi disamping itu buku ini sangat layak untuk dibaca karena masa depan adalah sejarah yang diulang, dan buku ini memuat sejarah panjang terbentuknya organisasi mahasiswa yang sedikitnya memberikan perubahan terhadap pemerintahan di Indonesia. Buku yang begitu bagus merekam kronik dari perjalanan terjal para mahasiswa yang mengabdikan hidupnya untuk berjuang dalam organisasi pers mahasiswa untuk melawan tirani kekuasaan yang dianggap tidak membela rakyat.


*)Resensi ini dimuat di Tabloid Prioritas

Rindu


Berikan semua airmatamu dan akan kugantikan hujan

Kamis, 26 Juli 2012

Botol Untuk Pendidikan*



Awal juli lalu, ada sebuah panggung kecil dan botol-botol berserakan di tengah Fakultas Teknik Universitas Jember. Botol-botol itu bukanlah sampah, melainkan sumbangan dari berbagai kalangan untuk acara penggalangan dana. Acara yang dinamai Pesan Dalam Botol itu adalah upaya penggalangan dana yang dilakukan oleh Tamasya bersama beberapa komunitas dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Jember. Tamasya sendiri adalah nama sebuah band yang para personelnya berasal dari mantan mahasiswa pencinta alam.

Acara yang dimulai sejak pukul 19.00 WIB itu berlangsung sederhana, diisi dengan penampilan beberapa band dari kalangan mahasiswa ataupun komunitas. RZ Hakim atau biasanya dipanggil Masbro, salah satu personel yang mencetuskan ide acara Pesan Dalam Botol mengaku bahwa acara malam ini adalah penutup dari rangkaian pengumpulan botol dan penggalian dana. “Anggap saja ini sebagai penutuplah, entah apa namanya,” ungkapnya.

Sesuai dengan namanya Pesan Dalam Botol, penggalian dana ini dilakukan dengan menggumpulkan botol-botol kosong yang selanjutnya dijual dan beberapa buku bekas yang masih layak. Beberapa posko pengumpulan botol pun dibuka sejak tanggal 5 juni yang bertepatan dengan hari lingkungan hidup sedunia. Masbro mengaku acara penggalian dana melalui pengumpulan botol bagi pendidikan ini diadopsi dari cerita Kota Jember pada akhir tahun 1950, bagaimana orang-orang Jember dulu mengumpulkan botol dan kelapa untuk perkembangan pendidikan di kota Jember.

Selain itu Pesan Dalam Botol adalah lanjutan dari acara sebelumnya yang sudah terlaksana, yaitu Tribute to Manusela, hasil kerja sama Tamasya dengan Blogger Hibah Sejuta Buku untuk membantu sekolah-sekolah yang membutuhkan di daerah Manusela. Tak hanya BloggerHibah Sejuta Buku, acara Pesan Dalam Botol juga didukung oleh berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, beberapa komunitas di Jember, dan para pegiat di dunia maya.

Tak hanya di Jember, pengumpulan botol kosong dan penggalian dana juga dilaksanakan di Lumajang pada tanggal 4 juli 2012. Acara di Lumajang itu juga diramaikan dengan penampilan band-band indie dari Lumajang. Beberapa sumbangan pun juga datang dari kota-kota lain.

“Ada kiriman dari kawan-kawan punk dari Genteng, Banyuwangi. Sama ada dari seorang blogger asal Madura,” ungkap Masbro.

Acara yang hanya disebarkan lewat dunia maya dan dari mulut ke mulut ini mendapat banyak perhatian, walaupun berbarengan dengan rangkaian acara Bulan Berkunjung Jember (BBJ). Ulil Albab, salah satu mahasiswa yang hadir dalam acara malam itu mengungkapkan bahwa dia mengetahui acara itu dari jejaring sosial dan dari teman-temannya. Ulil juga mengungkapkan bagaimana di tengah hiruk pikuk acara BBJ masih ada beberapa orang yang mau meluangkan waktunya untuk berkumpul bagi kemajuan pendidikan Indonesia walaupun hanya dimulai dari hal kecil seperti botol.

Mengubah negeri
“Cara mengubah negeri ini adalah lewat pendidikan,” begitu ungkap Masbro. Pendidikan memang sasaran utama bagi uang hasil penggalangan dana lewat acara Pesan Dalam Botol dan juga acara yang telah sukses diadakan oleh Tamasya sebelumnya yaitu Tribute to Manusela.

Dana yang berhasil dikumpulkan dari Pesan Dalam botol rencananya akan disumbangkan ke beberapa sekolah yang membutuhkan di Aceh. Menurut Masbro ada ada beberapa sekolah mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di Aceh yang membutuhkan perhatian lebih.

Pendidikan di Indonesia memang semakin maju tapi sayangnya masih banyak sekolah-sekolah di daerah tertentu yang masih membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah, contohnya di daerah Manusela yang menjadi sasaran bantuan dana dari acara Tribute to Manusela. Di Manusela masih terdapat sekolah yang gedungnya tidak layak untuk digunakan dan hanya ada seorang pengajar yang rela mengabdikan diri tanpa dibayar.

Melalui botol yang biasanya hanya menjadi sampah, acara Pesan Dalam Botol itu bisa menjadi awal dari perhatian kita terhadap pendidikan di Indonesia, juga menjadi langkah awal kita untuk semakin melek tentang pendidikan di Indonesia yang masih memerlukan banyak perbaikan.

Sekarang saatnya kita merubah yang semula kecil menjadi besar bagi pendidikan di Indonesia agar kita dapat menikmati pendidikan yang layak. “Semoga selanjutnya ada acara semacam Pesan Dalam Botol lagi, karena Tamasya lagi jatuh cinta dengan pendidikan,” ujar Masbro.


*Tulisan ini juga dimuat di kompas kampus selassa, 24 juli 2012 (tulisan ini diedit lagi untuk dimasukkan ke blog)