Rabu, 25 Mei 2011

Apa Daya Asmara Sudah Melekat

Engkau gumilang
Malam cemerlang
Bagaikan bintang timur sedang berkembang
Tak sayu mata memendang

Bunga mekar
Dikaulah sayang
Sinar matamu menari- nari masuk menembus ke dalam jantungku
Aku terpikat
Masuk terperangkap

Apa daya asmara sudah melekat

Senin, 23 Mei 2011

Siluet Pedang di Wajahmu


;Ririn Rohmawat


Ketika daun-daun berjatuhan menjamah tanah
Aku sedang membayangkan kemilau embun
Meleburnya dengan wajahmu
Wajahmu yang tak pernah cantik
Tak pernah elok
Dan tak pernah berpoles
Tapi terlalu berbunga untukku

aku sedang melebur wajahmu dalam pikirku
tapi tak pernah habis
wajahmu yang tak pernah berlapis bedak
wajahmu yang semakin cantik tanpa polesan

aku benar-benar ingin meleburmu dalam pikirku
lalu tusuk aku dan jangan sembunyikan pedang itu!

2011

Menitih Rintihan Mimpi

Aku bermimpi untuk menjadi suci
Aku bermimpi untuk menjadi kekasih
Hingga mimpiku pun abadi

Saat lelunta ku tak menyadari
Hati pun menjadi penghalang
Saat angkara dan duka siap tuk melucuti tirani

Dan aku terjatuh lumpuh teramat lumpuh
Birahi pun sadar
Aku hanya secuil klakar yang siap tuk terpental

Tinggi semakin tinggi terjatuh dan perih.

2011

Minggu, 15 Mei 2011

Silahkan Anda Berpuisi!

Silahkan!
Kalian mau berpuisi
Sampai mati
Dan gigi-gigi kalian mulai tak rinci
sampai senja menjadi pagi
Atau pagi berganti hari

Silahkan kalian berpuisi!
Tapi untuk apa saya berpuisi?
Untuk merayu pagi?
Untuk menanti kekasih?
Atau untuk mencaci?

Silahkan kalian bersyair!
Lebih baik saya tidur
Mendengkur
Melebur tubuh dengan dubur
Jembut
Tempik
Kontol
Lebih nikmat dari bersyair

Silahkan! Saya tak akan melarang
Kalian mau berpuisi atau bersyair
Saya akan percaya puisi
Jika puisi membuat saya MATI!

2011

Rabu, 11 Mei 2011

Richi Warto

Warto itu namaku
Aku lahir di kota
Ibuku seorang yang bermartabat
Dia bekerja di gedung bagus yang beralaskan kardus
Ayahku seorang direktur
Dia bekerja di gedung putih
Sterofoam dindingnya
Aku sekolah menyanyi
Di pinggir jalan mendendangkan lagu kepada bapak ibu guru yang akan memberikan uang

Namaki Richi
Aku orang kaya
Ibuku seorang dokter
Yang setiap hari membawa sekoper uang
Ayahku seorang pejabat
Dia juga suka membawa koper berisi uang pulang
Aku bersantai di rumah menunggu guru privatku datang

Kapan Warto dan Richi bermain bersama?

Mengapa Kau Benci Malam?

: Ririn Rohmawati

Kumulai permainan dengan hunusan senja
segalanya terasa terlahir kembali
nasibku yang lembab yang juga terasa tak pernah ramai

Diantara kedua matamu
ku melihat kakimu hendak melangkah menjauh

Jangan pergi Rin!

Bukankah kita pernah berjanji
menutup mata hingga gelap merangsang ingatan?
pernah juga kita sebutkan nama-nama calon nyawa yang akan keluar dari rahimmu

Jangan pergi Rin!

Mengapa kau begitu membenci malam?
mungkinkah kau pernah mengutuk dirimu jadi siang tanpa malam?
sekali lagi jangan pergi rin!
aku akan ajak kau memperkosa malam dengan ketakutanmu

Tetaplah disini Rin!

mengutuk malam menjadi batu seperti maling kundang yang tak sengaja durhaka.

Kumulai permainan dengan hunusan senja
segalanya terasa terlahir kembali
nasibku yang lembab yang juga terasa tak pernah ramai

Selasa, 10 Mei 2011

Tino Mencari Ibu


Tino si ulat senang sekali berkeliling. Ia berteduh di bawah pohon dekat danau. Ia melihat ibu angsa dan anak-anaknya yang sedang bermain dengan riang gembira.
Di atas pohon, tampak juga ibu merpati sedang bernyanyi ceria bersama anak-anaknya. Beberapa ikan juga sedang berenang kesana-kemari mengikuti induknya.
“Kenapa semua punya ibu dan saudara? Kenapa aku cuma sendirian?  Dimana Ibu dan saudara-saudaraku? Pasti senang kalau punya Ibu dan saudara-saudara,” pikir Tino dalam hati.
Tino lalu mendekati Bu Kiki Kijang.  “Apakah kau ibuku?” tanya Tino.
Bu Kiki Kijang menggeleng. “Tentu saja bukan,” katanya. Tino lalu mendekati Bu Cati Kucing. “Apa kau ibuku?”  Bu Cati Kucing juga menggeleng.
Tino berkeliling dan bertanya pada beberapa induk hewan yang ditemuinya. Namun mereka semua menggeleng.
Tino akhirnya lelah dan beristirahat di sehelai daun pohon jambu yang gugur di tanah. Disitulah ia lahir beberapa hari lalu.
Tak lama kemudian, datanglah Bu Cici Kelinci mencari jambu-jambu yang berguguran untuk makan siang. Tino pun bertanya.
“Apakah kau ibuku?” Bu Cici Kelinci kaget melihat Tino yang tiba-tiba muncul dari balik daun.
“Oh, bukan, aku bukan ibumu. Bentuk kita berbeda, kan?”
Maaf ya, kami bukan keluargamu. Kami adalah keluarga ular.
Tino sedih sekali mendengarnya. Bu Cici Kelinci berkata lagi, “Eeh, tapi sepertinya aku pernah melihat binatang sepertimu di dalam lubang di sebelah selatan sana.”
“Benarkah?” wajah Tino berubah cerah.
“Mari kuantar kau kesana. Siapa tahu keluargamu ada disana.”
Tino lalu merayap naik ke punggung Bu Cici Kelinci. Beberapa saat kemudian mereka tiba di lubang itu. Tino mengucapkan terima kasih. Lalu merayap masuk ke dalam lubang yang ditunjuk Bu Cici Kelinci.
Di dalam lubang itu, ia bertemu dengan sepuluh hewan yang bentuknya sama dengannya. Cuma mereka jauh lebih panjang dan besar.
“Siapa kamu?” tanya seekor hewan yang terpanjang sambil menjulurkan lidahnya.
“Aku Tino. Apa kau ibuku?” tanya Tino.
“Tidak mungkin! Aku cuma menetaskan 9 telur di sarangku ini. Lagipula kami tidak berbulu sepertimu. Kami bersisik. Kami keluarga ular.”
Tino sedih sekali. Ia merayap keluar dari lubang itu sambil meneteskan airmata. Tino kembali ke tempat Bu Cici Kelinci.
Bu Cici Kelinci yang selalu berusaha membantu Tino si ulat.
“Tenanglah Tino, mungkin ibumu sedang mencari makanan untukmu. Sabarlah dan tinggallah di rumahku. Aku akan berkeliling dan bertanya pada semua binatang di hutan ini, apakah mereka melihat ibumu,” bujuk Bu Cici.
Akhirnya Tino tinggal bersama Bu Cici Kelinci. Dengan gembira ia bermain bersama anak-anak Bu Cici. Tapi suatu hari Tino menghilang.
Anak-anak kelinci mencari ke sana ke mari tapi tak menemukannya. Bu Cici pun ikut sedih. Ia bertanya pada semua binatang yang ditemuinya. Tapi tidak ada yang tahu dimana Tino berada.
Beberapa hari kemudian, ketika Bu Cici Kelinci sedang mencari jambu untuk makan siang, tiba-tiba ada yang menyapanya.
“Halo Bu Cici!” Bu Cici kaget. Ia menengok ke kanan kiri, tapi tak ada seekor hewanpun. Tapi kemudian ia melihat seekor kupu-kupu warna kuning terbang mengelilinginya.
“Siapa kamu? Apa kau tadi yang memanggilku?”
“Ya, aku yang memanggilmu Bu Cici. Ini aku, Tino.”
“Tino?” Bu Cici bingung. Tino hinggap di telinga Bu Cici dan bercerita. “Bu, maafkan aku kemarin pergi tanpa pamit. Aku harus berpuasa dan menjadi kepompong.
Aku baru tahu kalau aku bisa berubah menjadi kupu-kupu. Aku juga baru tahu kalau ibuku adalah seekor kupu-kupu.”
“Oh, syukurlah Tino, akhirnya kau menemukan ibumu. Tak disangka. Kau berubah menjadi kupu-kupu yang tampan.”
“Saya ingin berterima kasih karena Bu Cici sudah merawat saya beberapa hari ini. Sekarang saya harus bergabung dengan kupu-kupu yang lain. Selamat tinggal.”
“Ya Tino, pergilah. Salam buat ibumu. Selamat jalan, ya!” Akhirnya Tino bergabung dengan gerombolan kupu-kupu.
Ia sangat bahagia karena kini bisa berkumpul bersama Ibu dan saudara-saudaranya.
Oleh: Mohammad Sadam Husaen
Bobo No. XXXV
Waduh, jadi ingat masa lalu. ini tulisan pertama saya yang dimuat di media ketika saya masih kelas tiga SMP (iseng-iseng ngesearch dengan keyword namaku di Google) 

Di Rumah Ini Sepi Menyapaku


; Oo_zaki yang sudah berganti menjadi M. Irsyad Zaki

Di rumah ini sepi menyapaku
Awan menjelma, lalu kita terpisah karna kata
Sepertinya juga ada yang hilang
Angin yang dulu sejuk menghapus bau senja

Di sini hanya vanessa mae dan partita no 3 in E for solo violin-nya
Menembus pendengaranku yang sunyi
Dan di luar, pohon dan rumputan dengan sabar dan tabah
Mencoba membekukan yang saat matahari tersenyum lagi mungkin hilang

Di rumah ini sepi benar-benar berbenah
Sambil terus memenuhi ruangan dengan polesannya
Dan pandangan mata terhampar luas
Dimana-mana hanya putih

2011

Kesempatanku

1 Tahun

                12 Bulan

52 Minggu

          365 Hari

8760 Jam

      525600 Menit

                 31536000 Detik

1 Nyawaku

1 Israfil.

2010

Percakapan Malam Hujan



Sekarang malam. Apa kau suka?
Aku suka malam basah gerimis ini.
Kau suka bercinta dengan sang malam?
Aku pun sudah sering mamperkosa malam.
Untuk malam ini?
Mungkin tidak.
Kenapa? Kau takut pada hujan?
Tidak, aku hanya tak mau menghianati hujan.
Apa yang diberikan hujan kepadamu, hingga kau tak mau menghianatinya?
Dia sudah rela datang tiba-tiba menemaniku saat ini.
Kau ingin hujan terus manamanimu?
Hujan tak pernah bohongkan?
Iya, ia tulus mambawa ketenagan.
Kau tahu itu.
Dari kau juga. Bagaimana dengan bulan? Bukankah mereka hilang ditelan hujan?
Oh, kau manis sakali, bulan bagai rokok yang tak lelah ku husap, mereka juga butuh istirahat.
Apa mereka akan marah ketika setiap malam hujan selalu membuatnya hilang? Mereka juga rindu ingin menemani setiap insan bukan?
Oh, kau semakin manis saja. Apakah kau tau apa yang dipikirkan bulan?
Mungkin mereka ingin melihat raut wajah para insan. Memberikan serat-serat sinarnya.
Bukankah bulan tak punya ibarat sebagai umpama atas kelelahannya kepada malam? Dan apakah kau pernah bertanya pada bulan, apakah dia sudah makan?
Aku tak bertanya, aku mencoba berempati atas mereka.
Mereka juga butuh waktu.
Apa yang kau rasa saat malam basah tanpa bulan ini? Berbedakah dengan yang lalu?
Sepi, gelisah. Tapi berbeda. Mungkin sekarang aku benar-benar kesepian.
Hujan sudah menemanimu, apa kau ingin mengecewakannya?
Apakah hujan akan kecewa ketika para katak sudah tersenyum riang? Tapi sayang, aku tak bisa ikut tersenyum. Aku benar-benar merasa sepi oleh seseorang. Tapi siapa dia?
Tak tahu siapa dia? Seharusnya kau tahu siapa dia, apa kau mau sepi membunuhmu sendiri?
Lebih baik sepi yang membunuhku, daripada harus mati dalam keriuhan yang psikopat.
Kau tak pantas merasa kesepian, di luar mereka berharap senyummu.
Siapa mereka? Bukankah tak ada yang mengenaliku lebih dari sepi?
Mereka yang setiap kali kau temui. Mungkin kau belum menyisihkan kesempatan pada mereka untuk memahamimu.
Aku hanya tak mau membagi kegugupan di mataku ini. Mereka pasti mual dan muntah menerimanya.
Cobalah berbagi dengan mereka, yang menurutmu tempat yang bisa meluapkan segala kejanggalanmu.
Maafkan aku, aku hanya orang yang penuh dengan kerancuan, dan suatu saat mungkin kau akan menyesal mengenalku.
Mungkin bukan menyesal talah menganalmu, tapi mungkin nanti akan ada klimaks dimana kita bertolak belakang.
Aku adalah orang yang ambigu, kau tak akan menyukai itu.
Apa setiap yang ada dalam dirimu selalu yang tak bisa kuterima. Adalah sesuatu yang bisa aku dan orang lain terima.
Siapa lagi orang lain itu?
Kawan kita, mengapa kau tak paham?
Apakah ada kawan yang mau membagi paham denganku?
Bukankah aku seorang skeptisian, dan mengapa aku harus seperti ini? Beruntung sekali orang yang tak mengenalku.
Contohnya aku. Apa kau pikir aku beruntung tak mengenalmu? Mengapa? Mengapa kau begitu menutup diri atas kawan-kawanmu? Apa kau sudah memahami mereka?
Memahami? Inginpun tidak. Aku tidak ingin hanyut di lautan mereka. Lalu aku harus berhati-hati menapaki mereka. Begitu juga denganmu, aku selalu resah menyapamu, padahal ada ingin. Dan pernahkah kau berpikir pernah mengenalku?
Aku hanya mengenalmu sebatas tahu kau ini seperti apa. Untuk memahami dan mengerti atas dirimu itu belum terasa.
Apa kau juga pernah berpikir setelah memahamiku kau akan menyesal?
Aku tak tahu. Memahamipun belum, kenapa sudah pikir menyesal?
Sudahlah, kau dan lelakimu pasti bahagia, tak usah memahamiku.
Ya terima kasih, aku juga membutuhkanmu
Sudah malam, tidur sana!
Iya, jangan sungkan-sungkan ya. Selamat malam!
Iya, selamat malam, dan semoga besok sang Ra tak membuatmu bosan.

2011
(Gambar dari Google)

Ketika Umur Tak Lagi Kuncup

Dulu bapak dan ibu selalu bahagia membayangkan anak mereka yang pintar
Setelah peluh meraka berhasil memasukkan mereka ke sekolah
Tapi ketika umur anak-anaknya tak lagi kuncup
Anak-anaknya lupa akan sesuap nasi yang orang tuanya dulang dari lelah
Sedangkan di luar sana anaknya yang lain tak kentara
Hilang dan menjelma batu yang keras
Sementara bapak dan ibunya masih mendongakkan tangan
Tak lagi merasa bahwa umur mulai merentakan mereka
Mereka hanya ingat pada tata letak anaknya
"berapa kali mereka makan dan tak luput apakah sehat masih menimang mereka"
Tapi sayang.
Anaknya tak lagi seperti dulu
Yang dihasilkan dari senggama dan lahir dari vagina ibunya.
Sekarang anak meraka hanya ingat kondom dan segala alat kontrasepsi yang masih dibelinya dari hasil keringat orang tuanya
Bahkan lebih memilih hilang dan hanya jadi kantong-kantong yang mereka jinjing
Walaupun jompo sudah
Bapak dan ibunmya tetep setia menggiring
Mencari dan menggiring
Tanpa di titipkannya lelah pada lampu-lampu pijar yang kalah dengan air mata mereka
Yang semua itu tak hanya untuknya.

2011

Senin, 02 Mei 2011

Emak


Emak, apakah kau masih setia dengan bapak?
Dan sudahkah kau belikan sepetu untu surti?
Dia ingin sekali sepatu yang bebas dari angin dan air yang telanjang di jalan
Bapak juga ingin kau mengenangnya mak.

Emak, seandainya dulu aku hanya lulusan SD
Lebih baik aku tinggal di desa
Bersama mu dan surti
Sambil mengenang dukun yang membuahimu menjadi aku
Yang belum sempat ku sebut bapak

Emak, sekarang aku di sini karna mu
Karna keringatmu yang mengucur membiayaiku
Sekarang aku jadi orang hebat mak
Yang bisa menonton bioskop film perang dikotaku

Emak, apakah kau masih ingat denganku?
Anakmu yang dulu lusuh
Yang kau ajak ke sawah menuai peluh

Emak ini aku anakmu
Yang sudah jadi orang kaya
Yang bisa menjelajah setiap jengkal tubuh pertiwi
Dan bisa menik mati kursi tertinggi

Emak, aku benar-benar ingin memelukmu
Kembali ke sawah dan mengusap peluhmu
Menggantikan kerjamu
Sembari merajut senyum untukmu

Emak, aku ini anakmu yang dulu
Tapi kenapa kau tak merinduku
Bahkan tak mengingatku

Emak, beras sudah kumahalkan
Agar kau bisa jual hasil panen dengan senyum
Tak perlu lagi merayu tetangga
Dan menjadi tabungan tukang sayur

Emak, aku kirimkan sebuah surat dan uang untukmu
Tapi yang ku terima berita kematianmu
Kau bunuh diri karna tak kuat membeli sembako
Emak, aku ingin memelukmu.

2011

(foto oleh Halim Bahris)

Apakah Seseorang Tidak Boleh Mempunyai Karakter Dalam Menulis?


“Cukup” itu menurut saya ketika saya membaca tulisan saya sendiri, tapi beberapa orang mengganggap tulisan saya masih belum bisa diterima dalam konteks jenis-jenis tulisan ketika saya memasuki ranah yang lebih yaitu: ke dalam perkuliahan dan dunia jurnalistik kampus. Entah itu puisi, cerpen atau beberapa tulisan yang menurut saya sendiri belum bisa saya mengerti. Seorang teman atau yang biasanya saya panggil “mas”(kakak) karena memang dia lebih tua daripada saya pernah berkomentar dengan tawa bengisnya “awakmu nulis kanggo arek SD, SMA opo TK?”(kamu menulis buat anak SD, SMA, atau TK?) ketika saya menyodorkan satu puisi yang baru saja saya buat malam itu. Saya tak tahu apa puisi itu mengarahkan dia ke alam anak-anak atau apa? Saya hanya menulis semampu saya dan dari apa yang saya pelajari setiap saya mendengar orang-orang (para jurnalis yang saya kenal di Jember) berbicara dan beberapa buku yang sempat saya nikmati sebelum singgah di Jember . Tapi apa tanggapan mereka? Nyleneh(menyimpang) menurut mereka tentang tulisan saya. Apa seseorang harus bisa menulis dengan bagus agar mereka diterima? Apa harus bisa menceritakan beberapa isi buku saat ngopi? Atau seseorang harus selalu terpaku pada tulisan orang-orang yang sudah berpengalaman dan terkenal?, sebut saja Puthut .T.A dan masih banyak sederetan yang lain. Ah, tak tahulah. Saya hanya anak kecil yang masih belajar beberapa keinginan yang ada dalam benak seorang anak ingusan. Saya memang kenal dengan beberapa orang di sini; Fakultas Sastra Universitas Jember khususnya dan beberapa mahasiswa Fakultas lain di Universitas Jember umumnya. Tapi saya merasa seperti asing di sini.
Saya adalah seorang mahasiswa baru yang seaakan baru masuk “penjara”, tapi sebaiknya jangan disebut penjara mungkin kata ikatan lebih bagus. Yang saya bingung apakah saya harus lepas dari ikatan itu atau saya harus  selalu terikat? Saya tidak mau didikte, saya punya karakter sandiri walaupun itu mereka sebut nyeleneh atau apa, saya hanya berusaha jadi “saya yang benar-benar saya” tanpa ada embel-embel apapun, tenpa ada aturan yang mengikat dan tanpa ada yang menyetir saya, tapi andai saya melepaskan ikatan itu saya akan retak karena tak ada lagi teman yang menyambut di luar ikatan itu, tapi saat saya harus berada dalam ikatan itu saya merasa selalu tidak diterima, mungkin mereka selalu menyuguhkan senyuman untuk saya, tapi di samping itu saya jelas melihat penolakan di balik senyum kecut mereka . Saya hanya bisa bertanya saat ini, apakah seseorang tidak boleh memiliki karakter dalam tulisannya atau seseorang harus menurut untuk disetir para seniornya? Memang seseorang harus banyak membaca dan mencari berbagai sumber referensi, tapi semua orang berbeda, ada orang yang hanya bisa menerima referensi dari buku dan fakta-fakta yang mereka lihat tanpa percaya sumber dari dunia maya yang belum jelas faktanya, ada juga orang yang membandingkan fakta dari beberapa sumber yang mereka dapat. Apakah saya harus sama dengan yang kalian inginkan? Sebuah judul cerpen saya saja mereka anggap tabu, padahal mereka belum membaca isinya, bahkan mengulang kata pun salah menurut mereka. “Pengulanganmu tak penting,” kata seorang “mas” yang lain dengan wajah agak mengejek. Padahal tidak sembarang orang yang memakai pengulangan kata atau repetisi. Orang sholat saja menyebut 6  kali kata “Allahuakbar”disetiap rokaat dan Djenar Mahesa Ayu pun memakai banyak repetisi dikumpulan cerpen miliknya yang berjudul “jangan main-main (dengan kelaminmu)” . Banyak sekali tanya yang saya simpan, seandainya saya bisa mencari beberapa sumber lagi saya akan menjawab semua pertanyaan itu. Tapi sumber yang mungkin bisa menjawabnya malah pergi entah kemana?
Den sekarang saya merasa benar benar terasingkan di sini, di jember tepatnya.

Nama; Sebagai Identitas atau Pembunuh Identitas

Nama adalah salah satu identitas bagi seseorang. Nama juga dapat membunuh identitas seseorang, lalu bagaimana nama sanggup membunuh identitas seseorang? Mungkin itu yang akan saya bahas di sini. Jarang sekali orang-orang menganggap nama sebagai status terpenting dalam bersosialisasi, nama di sini merujuk kedalam tingkatan strata sosial, sebut saja saya sebagai mahasiswa sastra yang belum dikenal banyak orang dibandingkan dengan dengan mahasiswa lain yang sudah mempunyai 'nama' di kalangan mahasiswa, tingkatan antara saya dan mahasiswa yang mempunyai 'nama' itu pun berbeda. Tapi sepertinya orang-orang menganggap itu sebagai hal yang lumrah, seandainya mereka tahu bahwa nama juga bisa membuat kita 'mati' tentu mereka akan berubah pikiran.
Seperti halnya saat W.S. Rendra membacakan puisi dengan gaya khasnya, duduk sambil memainkan tangan dan mukanya, itu sudah dianggap bagus oleh kebanyakan orang, tentu karena Rendra sudah mempunyai 'nama', tapi bila saya yang melakukannya -membaca puisi seperti rendra- rasanya tak ada yang terpikat bahkan kadang cemoohan yang keluar dari mulut mereka -orang-orang-. Saya sempat juga mengumpat "Apa bedanya ketika saya melakukan hal yang sama dengan orang yang sudah terkenal?" Setelah berkata seperti itu saya mulai berpikir bahwa 'nama' dapat membunuh atau mematikan karakter seseorang.
Tak seperti 'mati' yang cecep syamsul hadi deskripsikan dalam cerpennya yang berjudul saya tahu saya akan mati di laut, di situ cecep mencoba menjadikan kata 'mati' sebagai sesuatu yang lumrah dan menyenangkan, bahkan sang tokoh dengan santainya menjawab "semua orang akan mati kan" Ketika ada seseorang perempuan dengan mata bolong menyampaikan pesan bahwa dia akan mati tak wajar, tapi pada akhirnya sang tokoh tidak mati dan sadar dia sedang melakukan perjalanan di kapal dengan wanita cantik yang baru dia kenal di kapal itu. Saya merasa terpinggirkan oleh nama-nama yang dianggap kebanyakan orang tenar, kepercayaan diri hilang ketika menghadapi orang-orang bernama itu, tapi lebih lagi ketika saya termakan oleh omongan saya sendiri yang selalu dianggap salah dan mereka sepertinya lebih percaya kepada orang yang punya 'nama', tanpa sadar saya runtuh dan menangis tanpa airmata sambil mengais rasa malu yang tercecer dimana-mana, mungkIn rasa malu saya mengalahkan rasa malu Presiden Negara kita yang dipermalukan karena mengeluh dengan gajinya.
Di masa kecil kita pernah melewati tingkatan perkembangan yang dinamakan imitasi, tahapan itu dimulai saat anak-anak mengubah tingkah lakunya dengan meniru pergaulan di sekitarnnya bahkan tokoh idolanya, tapi proses ini tidak akan ikut berkembang ketika kita menirukan orang yang terkenal dalam masyarakat. Masyarakat akan mengatai kita dengan julukan plagiat ataupun epigon, karena yang mereka kenal adalah orang yang sudah terkenal dan mempunyai 'nama', bukan kita sebagai peniru, contohnya saja ketika grup musik d'massive meniru musik grup band asal luar negeri muse, fans mereka tidak mempermasalahkan itu, tapi seandainya kita atau saya yang meniru pasti banyak sekali gunjingan, karena saya belum punya 'nama' seperti grup band d'massive, seperti halnya Chairil Anwar yang menerjemahkan "The Young Dead Soldiers" Menjadi "Karawang Bekasi" Dan "a Song of the Sea" Menjadi "Datang Dara Hilang Dara"., Tentu ada beberapa masalah yang muncul tapi Chairil tak dapat julukan penyair plagiat, karena Chairil didukung oleh H.B. Jasin.dan akhirnya chairil menjadi pelopor sastra angkatan 45 di indonesia tentunya.
Ijinkan saya mengutip sedikit puisi terjemahan Chairil. Ini adalah satu bait puisi "a Song of the Sea" :
A SONG OF THE SEA
I
“Girl, girl alone,
Why do you wander
The twilight shore?
Girl, go home, girl!”
“No, I won’t go!
Let the evening wind blow
On the sands, in the glow.
My hair is combed bay the winds,
As I wander to and fro.”

Dan diterjemahkan Chairil menjadi "Datang Dara Hilang Dara" :
DATANG DARA, HILANG DARA
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
Chairil Anwar dan karyanya pun selalu diingat sampai sekarang bahkan karya terjemahannya.
Nama sebagai pembunuh rasa bisa disebut seperti itu, ketika kita kalah dengan orang-orang yang mempunyai nama besar di suatu tempat. Dan sekali lagi saya mengutip salah stu puisi dari buku "Kisah-Kisah Dari Tanah di Bawah Pelangi", yang berjudul "Sengketa Mayapada" karya indrian koto "Betapa berat mengangkat nasib yang sudah diketahui keburukannya." Mungkin seperti itu ketika kita sudah merasakan bagaimana 'nama' menjadi momok yang bisa mematikan rasa  dan semangat kita
Tentunya kita sebagai orang yang mempunyai nama tak mau menjadi sasaran dari nama orang lain, lalu bagaimana kita melakukannya? Mungkin dengan menciptakan karakter atau percaya pada diri sendiri adalah kunci untuk menghindari 'nama' sebagai pembunuh identitas, rasa dan semangat kita.[]