Senin, 21 Mei 2012

Seorang Laki-Laki Dengan Airmata

Jangan tesedu, sebab lelaki dilahirkan bukan untuk itu (indrian Koto)

Bagaimana jika kepulangan menjadi sebuah hal yang menyakitkan, menjadi hal yang mencabik selaput airmata dan menumpahkan semuannya. Kepulangan yang seharusnya menjadi sebuah kegiatan sakral berubah menjadi sisa jahitan luka yang membilur. Ya kadang kepulangan memang tak seperti apa yang kita harapkan, dan kadang juga lebih dari apa yang kita harapkan. Tapi kepulangan tetaplah sebuah dendam terhadap jarak, dendam terhadap semua yang tersisa dan kepulangan tetaplah ritual rutin yang akan kita hadapi walaupun kita tak mengharapkannya.

Beberapa hari yang lalu saya menangis karena sebuah kenangan tentang kepulangan, kepulangan yang menyimpan sebuah senyuman. Kepulangan yang membuat saya ingin mengulanginya lagi karena ada sejarah yang baru kerika saya terakhir kali pulang. Santi perempuan yang selalu menanamkan rindu pada hati saya itu pulang dari Bogor, tapi saya tidak bisa pulang menemuinnya seperti sejarah yang tercipta saat terakhir kali saya pulang.

Rindu yang sudah mengepal ini seperti pecah menjadi airmata ketika Santi pulang, tapi rindu itu menjadi sebuah kehilangan ketika saya tahu saya tidak bisa menemu dia saat dia pulang, karena saya masih di jember dan masih juga melipat semua rindu kepadanya. Beribu sesal seperti menghakimi, tapi saya mengamini Indrian Koto “…hidup adalah belajar melupakan dan selalu ditinggalkan..”, karena semua pertemuan tidaklah kekal, hanya sebuah ingatanlah yang membekukan semuanya.

Tak hanya kepulangan Santi yang membuat banjir di mata, tapi sebuah kedatangan yang lain, ya kedatangan seorang keponakan perempuan dari rahim ibunya. Kakak saya melahirkan anak pertamanya dengan selamat, tapi saya hanya bisa mendengar kabar, tanpa bisa melihat dan tersensenyum dihadapan seorang bayi yang belum bisa melihat. Ya, jarak memang bangsat. Jarak yang mencipta airmata, jarak yang mencipta sebuah kepulangan dan kedatangan, jaraklah yang menciptakan kecurigaan dan jarak uga mencipta segala kebohongan.

Mungkin airmata tak hanya milik perempuan, laki-lakipun diciptakan dengan airmata tapi perasaanlah yang membedakan kedua makhluk ciptaan Tuhan itu. Barangkali Tuhan tahu, jika laki-laki diciptakan mempunyai perasaan yang sama dengan perempuan dunia ini akan dibanjiri oleh airmata. Tapi seorang laki-laki memang tak diciptakan untuk menangis, walaupun mereka harus menerima sebuah luka.

Laki-laki diciptakan untuk menerima sebuah riwayat airmata dari seorang perempuan, seorang laki-laki mungkin akan mengutip Chairil untuk menahan tangis.

“…Segala menebal, segala mengental
Segala tak ku kenal
Selamat tinggal…!!!”

Para lelaki akan menyembunyikan tangisan mereka, karena mereka mungkin malu. Tapi sebuah tangisan tak pantas untuk disembunyikan walaupun seorang laki-laki selayaknya tidak pantas jika menangis. Laki-laki juga akan merasakan hal yang sama dengan seorang perempuan, tapi menyembunyikan airmata bukanlah sifat seorang laki-laki. Seorang laki-laki akan merawat airmata itu menjadi sebuah rasa sayang dan cinta bukan menjadi rasa sedih.

Saya seorang laki-laki yang rapuh tapi laki-laki memang tak boleh menangis, hanya merasakan sebuah cinta dan kasih sayang dengan airmata.

Minggu, 20 Mei 2012

Malam; Pertemuan dan Sebuah Perpisahan Yang Lain

Saya pernah menuliskan entah di mana, bahwa saya adalah seorang yang menyukai malam. Entah karena apa saya menyukai malam, padahal dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMP) saya hanya boleh keluar di malam hari sampai jam 20.00 WIB. Tapi saya tetap menyukai malam, ya menyukai malam sekali lagi, karena malam adalah sebuah fragmen dari sebuah kehidupan. Malam tak hanya menyimpan apa yang ada dalam mimpi, tapi juga menyimpan apa yang akan hilang besok pagi, seakan membekukannya.

Saya suka malam, dan saya akui itu.  Seperti apa yang dituliskan Chairil dalam Prajurit Jaga Malam

“…Aku suka pada mereka yang masuk menemu
Malam yang berwangi mimpi, berlucut debu…
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu”

Malam memang selalu menjadi misteri karena dia selalu membekukan apa yang akan datang esok pagi. Seorang Chairil memang akrab dengan malam, perempuan dan botol minuman. Siapa yang tahu bahwa dia adalah seorang bohemian di balik puisi-puisinya yang dianggap Jassin sebagai pelopor angkata ’45. Tapi saya tidak ingin membicarakan tentang malam seorang Chairil.

Malam adalah waktu di mana kita akan sendiri, karena bayangan pun akan meninggalkan kita. Malam adalah waktu di mana kita akan merasakan kehidupan dengan meraba, dan malam adalah waktu di mana kita nikmati sebuah kontemplasi. Malam bagi saya adalah sebuah cinta bagi diri sendiri ketika kita mengistirahatkan tubuh, bukan mata dan pikiran karena setiap malam saya selalu berpikir bagaimana untuk mengawetkan sebuah malam.

Jika seorang Ulil dan Tyas mungkin merasakan ada yang berubah pada malam, itu tidak terjadi pada saya. Malam tetaplah malam walaupun tanpa lampu ataupun dengan lampu. Malam diciptakan sebagai gelap yang tak menceraikan kita pada kehidupan, karena dengan malam kita dengan mudah membayangkan kehidupan di esok hari, membenamkan pikiran kembali kepada apa yang telah kita lakukan seharian tadi dan lalu membayangkan apa yang akan terjadi yang tak akan terjadi malam ini.

Malam bukanlah sajak perpisahan, tapi sebaliknya. Malam adalah sajak pertemuan, dimana kita akan ditemukan dengan sebuah hari yang baru dengan cahaya yang baru. Subagiyo Sastrowardoyo pernah menulis sebuah puisi berjudul Maafkan Kalau Aku Lekas Lupa Kepada Nama. Dia tidak menuliskan tentang malam di puisinya itu, tapi dia menuliskan tentang pertemuan dan perpisahan, bagaimana sebuah pertemuan begitu dekat dengan perpisahan, seperti malam yang kita temui hari ini, tidak akan kita temui lagi di hari yang lain.

“Maafkan kalau aku lekas lupa kepada nama
Kapan kita berkenalan dan di mana berjumpa?

Tubuhmu yang telanjang tinggal terkapar di ranjang
Hatiku terus lapar dikejar rindu….”

Seperti itulah Subagiyo menuliskan puisinya, tentang perempuan yang dia temui lalu sebentar saja dia lupakan. Tapi selalu ada yang dikejar rindu. Begitu juga malam, selalu ada yang tersimpan dalam pikiran kita apa yang terjadi malam ini, dan itu yang membuat kita selalu mengingat pertemuan dengan malam ini.

Kenangan kenangan yang kita temui setiap malam itulah sebuah pertemuan yang tidak setiap malam kita temui, tapi kenangan itu jugalah yang menjadi sebuah perpisahan yang membekas. Jika malam ini kau mencium pacarmu untuk yang pertama kalinya itulah sebuah pertemuan, sekaligus juga sebuah perpisahan karena tidak akan kau temui lagi ciuman pertama itu. Seperti juga lagu Nike Ardila, dalam lagunya saya menemukan sebuah pertemuan yang cepat sekali diakhiri. “Malam-malam aku sendiri, tanpa cintamu lagi” potongan lirik itulah yang melambangkan sebuah perpisahan juga sebuah pertemuan yang selalu diingat.

Dan malam ini saya sedang ditemani oleh Taufik Ismail dan D.S Moeljanto dalam buku Prahara Budaya. Sudah satu bulan lebih mungkin buku itu belum juga selesai saya baca, entah kenapa setiap malam bagi saya saat ini adalah seberkas rindu hingga konsentrasi saya selalu terpecah dan sulit untuk memfokuskan diri terhadap buku itu. Rindu, ya rindu setiap malam seperti membias dalam pikiran saya, banyak sekali yang saya rindukan; keadaan rumah dengan lahirnya keponakan kedua saya, rindu kepada Santi, wanita yang selalu membuat saya luluh, dan beberapa hal lain yang saya temui di malam malam yang lain.

Barangkali malam ini saya harus bisa menyelesaikan Prahara Budaya, karena malam-malam selanjutnya saya akan menemukan banyak pertemuan dan perpisahan yang lain. Sedikit mengutip sajak Sapardi Djoko Damono “Masih datangkah semua yang ditunggu/detik-detik berjajar pada mistar yang panjang/barangkali tanpa salam terlebih dahulu…” mungkin Sapardi juga mengalami pertemuan dan perpisahan dalam waktunya menunggu, seperti malam ini saya menunggu sebuah jemputan kepada pertemuan yang juga sebuah perpisahan.

Senin, 07 Mei 2012

Terbunuhnya Seorang Profesor Posmo; Cerita Detektif Berlatar Postmodern*

1.Sekapur Sirih dan Sinopsis Cerita

Postmodernitas itu tidak optimis tidak pula pesimistis. Postmodernitas adalah permainan dengan sisa-sisa dari apa yang telah dihancurkan sendiri, itu sebabnya mengapa kita mengalami ‘post / pasca’.
Jean Baudrillard dalam Nihilism (38-39)

Membaca judul novel karya Arthur Asa Berger ini serasa melihat pertokoan modern yang sedang runtuh, bagai mana tidak, judul novelnya adalah Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern. Novel itu saya dapatkan tidak sengaja ketika saya sedang mencarikan majalah islami pesanan bapak, judul novel itu begitu mencolok dalam tumpukan novel-novel pop. Saya pun memutuskan untuk segera membeli dan membawa pulang novel itu.

Saya yang hanya sedikit-sedikit tahu mengenai postmodern ini sangat penasaran dengan isi novel itu, dalam perjalanan pulang saya membayangkan pemikiran-pemikiran Barthes, Baudrillard dan juga Foucault, karena saya pertama kali mengenal postmodern dari buku-buku mereka. Tenyata dugaan saya benar, setelah membacanya ada beberapa pemikiran-pemikiran tiga orang itu dalam novel Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern.

Novel itu menceritakan terbunuhnya profesor Ettore Gnocchi yang tidak wajar dengan empat penyebab yang berbeda, lubang kecil bekas peluru ada di keningnya, gagang pisau perak tertancap di punggungnya, anak panah kayu menancap di pipinya dan segelas anggur dengan bau belerang. Tapi senyuman tercipta diwajah Gnocchi.

Gnocchi ditemukan terdungkur di meja dengan empat skenario pembunuhan sekaligus itu ketika dia sedang melakukan jamuan makan malam dengan para kawannya yang juga menulis tentang postmodernisme, antara lain; Shoshana TelAviv, istrinya sendiri yang juga seorang profesor filsafat, Slavomir Propp, seorang linguis Rusia, Alain Fess, cendekiawan asal Prancis, Myra Prail, mahasiswa yang dibimbing oleh Gnocchi, Basil Constant, novelis postmodern asal Inggris dan Miyako Fuji, mantan mahasiswa Gnocchi.

Semua orang yang ada di rumah itu pun kaget dan menelfon Solomon Hunter seorang detektif dari kepolisian. Solomon Hunter adalah tokoh utama dalam novel ini, karena dialah yang selalu muncul dalam semua bab cerita dalam novel ini. Selain itu Hunter jugalah yang menyelidiki kasus pembunuhan Gnocchi lewat pemikiran pemikiran postmodern sampai akhir cerita novel.

“Hunter melihat sekeliling kamar meja Gnocchi. Ruang tersebut dipenuhi buku-buku tentang postmodernisme, sastra, seni, musik dan filsafat. Di atas meja Gnocchi terdapat tumpukan buku karya para penulis yang belum pernah di dengan oleh Hunter sebelumnya. Hunter melirik ke beberapa diantaranya:  Simulation karya Jean Baudrillard, Order of Things dari Michel Fou cault, The Postmodern Condition dari Jean-Francois Lyotard, The Prison-House of Language karya Fredic Jameson, The New Conservatism dari Jurgen Habermas.” (Berger, 2006: 20)
Hunter yang belum pernah mengenal istilah postmodern pun diwajibkan untuk mempelajarinya, karena semua orang yang ada di tempat kejadian ketika Gnocchi dibunuh adalah orang-orang yang erat dengan postmodern. Hunter sebagai tokoh utama dalam novel ini hampir di seluruh bab novel ini muncul, karena novel ini dibagi perbab yang isinya adalah introgasi terhadap para saksi ketika Gnocchi terbunuh.

Yang diwancara pertama oleh Hunter adalah Shoshana TelAviv isti Gnocchi sekaligus seorang profesor filsafat. Shoshana mengaku berada di dapur ketika lampu mati sebentar dan ketika menyala Gnocchi sudah tersungkur di meja, tapi tak hanya itu yang diungkapkan oleh Shoshana. Pembicaraan Shoshana dan Hunter pun mengarah ke teori postmodernisme, dan hunter pun mengambil sebuah pengertian dari Shosana mengenai postmodern

“… postmodernisme merujuk pada apa yang bisa disebut sebagai sebuah kondisi atau teori, sekumpulan keyakinan dan nilai serta sikap yang meskipun  tidak kita sadari telah membentuk kesadaran dan masyarakat kita.” (Berger, 2006: 25)

Dan selanjutnya semua yang berada di tempat Gnocchi terbunuh pun di introgasi oleh Hunter. Tapi sayangnya dalam novel ini pembunuh Gnocchi tidak ditemukan, dan di lain pihak Hunter mengganggap bahwa Gnocchi lebih dahulu meninggal sebelum semua skenario pembunuhan itu dilakukan. Karena Hunter tahu Gnocchi mempunyai penyakit yang memvonisnya tidak dapat hidup lama lagi setelah meluhat video perkuliahan Gnocchi yang Hunter temukan di ruang kerja Gnocchi.

2.Teori Yang Dipakai
Dalam suatu karangan entah itu prosa atau puisi pasti terdapat unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra itu. Terutama dalam karya sastra prosa yang menceritakan lebih detail jika dibandingan dengan puisi.
Menurut Robert Stanton (1965) unsur pembentuk karya sastra prosa ada dua yaitu; fakta cerita dan sarana cerita. Fakta cerita adalah hal-hal yang diceritakan dalam karya itu, meliputi alur, tokoh, dan latar. Sedangkan sarana cerita adalah bagaimana seorang pengarang memberikan detail-detail dalam sebuah cerita yang meliputi unsur judul, sudut pandang dan gaya bahasa.

Selain Stanton ada juga Made Sukadana (dalam Sutresna, 2006: 4), dia menyatakan bahwa unsur karya sastra terdiri dari (1) elemen-elemen cipta rasa, meliputi insiden, plot, karakterisasi (2) komposisi cerita, (3) teknik cerita, (4) gaya. Tapi di sini saya lebih memilih teori milik Stanton karena saya rasa teori Stanton lebih mudah untuk menjabarkan cerita.

Saya akan menganalisis novel Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern karya Arthur Asa Berger ini dengan menunjukkan:

a.       Tema: ide utama yang dibawa oleh pengarang dalam cerita
b.      Tokoh utama: individu rekaan yang mengalami setangkaian peristiwa dalam cerita
c.       Latar: lukisan peristiwa yang dialami oleh para tokoh
d.      Alur: jalannya sebuah cerita
e.       Konflik: permasalahan yang terjadi dalam cerita.



a.      Tema
Seperti yang tertera dalam judul yaitu Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern, cerita dalam novel ini menjadi sebuah cerita detektif, tapi cerita detektif dalam novel ini bukanlah cerita detektif biasa karena bumbu postmodern yang kental membuat novel ini juga memuat unsur filsafat. Solomon Hunter sebagai seorang detektif dipaksa untuk melakukan penyelidikan tentang kematian Gnocchi melalui sarana postmodern.

“Aku punya alasan untuk meyakini bahwa hidupku berada dalam bahaya. Kalau-kalau aku tewas dengan keji, maka teorilah yang akan menuntunku kepada pembunuhnya. Perlu sebuah teori untuk menangkap teoritisi. – Ettore Gnocchi” (Berger, 2006: 20)
Itulah bunyi pesan yang ditemukan oleh Hunter dalam Saku Gnocchi, dari surat yang ditulis oleh Gnocchi itu dapa dilihat bahwa Gnocchi tahu dia akan dibunuh dan itu menjadi tugas bagi Hunter untuk menyelidikinya.

“Tampaknya dia (Gnocchi) tahu ada seseorang yang mungkin akan mencoba membunuhnya. Yah… kukira akan kuikuti saja apa yang disarankannya, dan kita lihat apa yang terjadi. Aku penasaran mengapa ia tidak menghubungi polisi. Sangat mencurigakan” (Berger 2006: 21)
Jadi dari ungkapan Hunter di atas dapat di rumuskan bahwa tema daru novel Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern adalah penyelidikan pembunuhan lewat teori postmodern. Selain tema cerita tersebut penulis agaknya ingin agar para pembaca belajar mengenai teori postmodern.

b.      Tokoh Utama
Banyak sekali tokoh dalam novel Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern ini dan yang diselidiki dalam novel ini adalah bagaimana terbunuhnya Gnocchi, tapi Gnocchi bukanlah tokoh utama dalam novel ini, walaupun dia sering sekali disebut. Tokoh utama dalam novel Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern adalah detektif Solomon Hunter, karena dia berada hampir di semua bab dan dialah yang menyelidiki tema utama dalam cerita itu.

Kenapa bukan Gnocchi sebagai tokoh utama itu dikarenakan Gnocchi adalah objek dalam cerita novel ini, maka dia tidak termasuk dalam cerita novel ini, Gnocchi hidup lewat data-data yang digali oleh Hunter dan itu juga yang menyebabkan Hunter menjadi tokok utama dalam novel ini.

Jika dihubungkan ke dalam postmodern, Gnocchi adalah sebuah metanarasi yang dibawa oleh Hunter yang meragukan metanarasi itu, karena Hunter harus terus mencari apa esensi dari meta narasi itu dan itu membuat dia menjadi seoran tokok postmodern layaknya Gnocchi, tapi objek yang dibawa oleh Hunter adalah sebuah pembunuhan.

“Apa gerangan yang membuat narasi itu menjadi narasi, dan juga apa pengaruh narasi itu terhadap diri kita sebagai individu dan anggota masyarakat.saya seorang teoritikus narasi; dan hal ini penting karena dalam masyarakat tidak lagi menerima kehadiran metanarasi, yaitu filsafat dan hal-hal sejenisnya yang mengatur apa yang harus dilakukan setiap orang.” (Berger 2006: 46)
Dalam pembicaraannya dengan Slavomir Propp, Hunter akhirnya mengerti mengapa para pakar postmodern meragukan metanarasi, karena para pakar postmodern dapat melakukan apa yang mereka inginkan.

c.       Latar
Dalam cerita ini hanya ada satu tempat yang menjadi latar cerita yaitu di rumah Gnocchi sekaligus tempat pembunuhannya. Tapatnya di California, Amerika serikat, itu dapat dilihat dari background Gnocchi sebagai dosen di Universitas Berkeley.

“Waktu itu Ettore dosen filsafat di Berkeley. Dia baru saja menjadi profesor Universitas bertahun-tahun kemudian.” (Berger 2006: 24)
Dan latar di dalam cerita yang berada di rumah Gnocchi itu dipersempit lagi oleh Berger, ada kamar kerja milik Gnocchi yang dipakai hunter untuk memeriksa para saksi dan untuk mencari data-data yang berhubungan dengan Gnocchi, kamar tidur Shoshana tempat Shoshana merasa gelisah degan kematian Gnocchi yang, ruang makan tempat terjadinya pembunuhan terhadap Gnocchi, dapur tempat Shoshana mempersiapkan jamuan makan malam bagi para tamunya dan ruang tamu yang digunakan oleh para saksi pembunuhan Gnocchi untuk bersantai menunggu panggilan Hunter untuk di introgasi mengenai pembunuhan Gnocchi.

d.      Alur
Alur yang dipakai dalam novel Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern adalah alur maju. Karena cerita dimulai dari awal kejadian bukan dari masa lalu sang tokoh.

“Kepala profesor Ettore Gnocchi tersiruk di atas meja. Ada lubang merah kecil tepat di tenga keningnya, dari situ mengalir tipis tetesan darah. Gagang pisau kue warna perak menyembul di balik punggungnya, dan di sekitar pisau itu terlihat noda merah tua pada bahan jas yang dipakai Gnocchi. Anak panah kayu panjang denga bulu berwarna kuning menacap di pipi kanannya, hanya beberapa senti dari mulutnya. Segelas anggur yang baru akan ia minum tumpah di atas taplak meja, dan dari tumpahannya menguap samar-samar asap bau belerang.” (Berger, 2006: 13)
Cerita diawali dengan kronologi terjadinya pembunuhan misterius yang terjadi kepada Gnocchi, tapi di tengah-tengah novel ini, ketika Hunter menemukan surat-surat Gnocchi kepada para kawannya antara lain; Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Jurgen Habermas dan Fredric Jameson. Surat-surat itu dibaca oleh Hunter dan seperti membawa para pembaca kembali pada masa lalu Gnocchi dan itu tidak merubah alur maju yang ada dalam cerita.

Surat-surat Gnocchi yang dibaca oleh Hunter itu tidak termasuk ke dalam alur, karena Gnocchi juga sudah meninggal, selain itu surat-surat itu hanyalah data yang ditemukan oleh Hunter untuk menyelidiki kasus pembunuhan Gnocchi.

e.       Konflik
Dalam novel Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern, kematian Gnacchi bukan karena pisau, peluru, panah dan racun, melainkan karena serangan jantung di situlah konflik itu terjadi. Hunter baru menyadari setelah dia melihat video perkuliahan Gnocchi.

“Terimakasih, terimakasih. Jika kita semua bisa tenag saya akan memulainya. Ini akan menjadi ceramah terakhir saya pada kuliah teori postmodern ini… ceramah yang saya yakin akan anda anggap paling menarik.. dan sebagaimana ceramah lainnya, mungkin bahkan bisa menghibur anda.” (Berger 2006: 124)
Dan dugaan serangan jantung Gnocchi semakin kuat ketika di tengah-tengan perkuliahan Gnocchi kesulitan untuk mengambil nafas dan kemudian meminum sebuah pil.

“Tiba-tiba Gnocchi terhenti. Wajahnya berubah merah padam dan is mulai terengah-engah mengambil nafas. Sempoyongan ia berjalan balik menuju mimbar, kemudian mengambil sebutir pil dari sebuah botol plastik yang dia bawa dalam sakunya, lalu minum seteguk air.” (Berger, 2006: 132)
Balas dendam yang dilakukan kaum psikopatik masyarakat postmoderndern ditujukan merebut popularitas. Dengan demikian yang menjadi sasaran adalah tampilnya kaum psikopatik masyarakat postmoderndern di layar kaca, head-line koran-koran, bahkan media online.

Mencuri perhatian khalayak sepenggalan menit saja sudah berarti ketenaran. Seperti Andy Warhol yang berkata: “Ketenaran dalam 15 menit!” Bila sudah demikian, kondisi chaos adalah kondisi yang tak terhindarkan dalam masyarakat postmoderndernisme. Solusi keluarnya adalah mencari ‘pahlawan’ baru, yakni mereka yang kebal terhadap serangan pencitraan, pengaburan pengalaman aktual menjadi representasi kenyataan. Inilah ketakutan Gnocchi yang meninggal karena serangan jantung dan setelahnya ‘dibunuh’. Jadi Gnocchi sudah meninggal terlebih dahulu sebelum dibunuh dengan empat cara secara bersamaan. 

Dan yang menjadi kurang dari cerita dalam novel Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern ini adalah siapa pembunuh Gnocchi tidak ditemukan, tapi itulah postmodern seperti yang diungkapkan oleh Freud bahwa “Manusia adalah serigala bagi sesamanya.”


4.Penutup
Tak seperti novel yang lainnya, Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern adalah novel yang memuat cerita detektif klasik yang begitu membuat penasaran para pembacanya, selain itu novel ini juga memberikan pembelajaran mengenai apa itu postmodern. Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern ini sama halnya dengan novel Dunia Sophie karya Justin Garder yang memuat pelajaran filsafat dari berbagai pemikiran. Terlepas dari semua itu, aspek yang membangun novel Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern tidak begitu rumit dan enak sekali untuk dibaca.

*Tugas kuliah apresiasi prosa