Sepertinya hujan tidak akan turun
hari ini. Udara begitu panas. Padahal dua hari yang lalu mendung selalu
mengikuti denyut nafas kota Jember. Tak ada yang ganjil jika hujan tidak turun,
karena waktu sudah menggusur musim hujan dan menggantikannya dengan musim
kering. Tanah-tanah mulai mengering. Aspal menghembuskan panas. Debu-debu
berterbangan tak tentu arah dan semakin membuat saya enggan makan di pinggir
jalan. Tapi udara panas ini membuat para ibu bergembira, karena cucian mereka
akan cepat kering.
Sore ini ketika menulis, semuanya
terasa biasa saja. Kondisi sekretariat organisasi yang saya ikuti tetap
menghamburkan bau yang sama, juga tetap berantakan seperti biasanya. Para
mahasiswa tetap dengan kegiatan yang sama, mengobrol tentang mata kuliah dan
dosen yang mengampunya, kadang juga tentang cinta yang tak pernah ada habisnya.
Sandal kehilangan pasangannya. Sepeda terparkir tidak rapi. Anak-anak UKM (Unit
Kegiatan Mahasiswa) yang bermain laptop dengan sambungan wifi fakultas dan pohon-pohon tak bosan-bosannya menari bersama
angin. Tapi kursi yang saya taruh di depan sekretariat mulai reot. Saya lupa
bilang pada anak-anak bahwa kursi itu harus diperbaiki terlebih dahulu.
Kampus, tak ada yang perlu diulang
untuk diceritakan. Setiap hari mempunyai keadaan yang sama, hanya mungkin
suasana yang sedikit berbeda. Kadang banyak mendung di muka mahasiswanya.
Kadang juga wajah itu menyembulkan sinar seperti matahari. Siang selalu babak
belur di kampus. Sedang malam menjadi suasana yang jelita. Suasana yang
memberikan kontemplasi pada setiap mahasiwa.
Saya tak pernah tertarik menulis
tentang kampus, tapi entah mengapa suasana kampus sekarang menhidupkan semangan
menulis saya yang sempat redup. Dan suasana kampus sekarang juga mengingatkan
saya pada pandangan pertama saya pada seorang wanita yang sekarang menjadi
lembaran puisi saya. Sore ini juga adalah sebentuk perpisahan dengan salah satu
anggota organisasi yang saya ikuti, Adik perempuan saya yang begitu getol
membicarakan agama dan kebebasan mahasiswa. Intan begitu dia biasanya
dipanggil. Seorang wanita dengan wajah arab oriental. Dia harus menuruti
permintaan orang tuanya untuk pindah kuliah ke Malaysia. Dia tidak membicarakan
alasan kenapa dia harus pindah, dia hanya datang ke sekretariat dengan wajah
layu dan mengantongi ucapan selamat tinggal karena dini hari nanti dia harus
sudah mengudara dari Jember ke Jakarta.
Intan adalah seorang wanita yang
kuat, walaupun kadang dia juga harus tersungkur terlebih dahulu untuk melewati
sesuatu. Saya ingat pernah berdebat tidak penting dengan Intan mengenai agama
dan saya begitu tertarik pada obrolan itu, sayangnya tak ada lanjutan untuk
obrolan kecil di sekretariat itu. Revolusioner begitu kata kawan-kawan ketika
Intan berbicara. Ada yang tak pernah selesai. Ada semangat yang membara dan
menggebu pada setiap kalimat yang dia ucapkan. Intan selalu mempertahankan apa
yang dia katakana, kadang juga berlebihan sampai-sampai dia sulit menerima
pendapat orang lain, tapi itulah Intan; seorang perempuan dengan wajah arab dan
semangat yang tak pernah padam. Sayang sore ini dimatanya ada hujan yang
tertahan.
Intan, kami tidak akan lupa
dengan semangatmu, dengan kehadiranmu yang ceria juga dengan kalimat-kalimat
revolusionermu. Kamu akan tetap menjadi anggota LPMS-Ideas dan kamu akan
menyisakan bau di sekretariat ini. Semoga kuliamu di universitas barumu nanti
menyenangkan dan semoga kamu menemukan teman yang menyenangkan. Jaga semangatmu
adikku, jangan lupa jaga kesehatan, tetap melawan dan jangan lupa baca buku.[]