Kamis, 24 Oktober 2013

Lain Aku

; bagi yang merindukanku

Akhirnya bentuk lain itu datang juga
Di akhir musim yang gagal terasing
Juga diantara rindu yang kelelahan

Bukan tentang tangis
Atau rintih pilu durhaka pemalu
Melainkan tentang aku
Yang akan kau rasakan
Walau sudah kau tutup rapat rumahmu

Karna kali ini ia membawaku
Di setiap jatuhnya; pada pohon, daun, aspal jalan
Juga pada kenangan yang membatu
Tapi aku, juga bentuk lain itu
Akan datang sebelum waktu

Lewat 14 titik Via Dolorosa

Senin, 01 April 2013

Pada Mimpimu


; W. Waridi

Dini hari itu, dalam mimpimu
Kau mengajakku berbincang
Tentang dataran asing yang belum pernah kau jelajahi
Dimana tak ada cinta di sana
Hanya ada fajar yang lain
Juga senja yang tak berwarna

Dini hari itu, pada dingin yang ringkih
Wajahmu lebih ranap
Dari secangkir kopi yang menyisa di bibirmu
Dan hisapan demi hisapan pada rokok itu
Tiba-tiba menjelma hangat yang tabah

Masih pada dini hari itu
Juga pada mimpimu
Kau semakin merengek ingin berpetualang
Pada dataran asing yang tak pernah kau kenal
Yang mungkin menyembunyikan kesakitan

Tapi
Ada saat-saat ketika kita memang harus menggapai langit
Mengetuk pintu kahyangan
Dan menyapa kematian
Maka robeklah secarik kertas
Lalu tulislah petualanganmu.

Rabu, 27 Maret 2013

Intan


Sepertinya hujan tidak akan turun hari ini. Udara begitu panas. Padahal dua hari yang lalu mendung selalu mengikuti denyut nafas kota Jember. Tak ada yang ganjil jika hujan tidak turun, karena waktu sudah menggusur musim hujan dan menggantikannya dengan musim kering. Tanah-tanah mulai mengering. Aspal menghembuskan panas. Debu-debu berterbangan tak tentu arah dan semakin membuat saya enggan makan di pinggir jalan. Tapi udara panas ini membuat para ibu bergembira, karena cucian mereka akan cepat kering.

Sore ini ketika menulis, semuanya terasa biasa saja. Kondisi sekretariat organisasi yang saya ikuti tetap menghamburkan bau yang sama, juga tetap berantakan seperti biasanya. Para mahasiswa tetap dengan kegiatan yang sama, mengobrol tentang mata kuliah dan dosen yang mengampunya, kadang juga tentang cinta yang tak pernah ada habisnya. Sandal kehilangan pasangannya. Sepeda terparkir tidak rapi. Anak-anak UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang bermain laptop dengan sambungan wifi fakultas dan pohon-pohon tak bosan-bosannya menari bersama angin. Tapi kursi yang saya taruh di depan sekretariat mulai reot. Saya lupa bilang pada anak-anak bahwa kursi itu harus diperbaiki terlebih dahulu.

Kampus, tak ada yang perlu diulang untuk diceritakan. Setiap hari mempunyai keadaan yang sama, hanya mungkin suasana yang sedikit berbeda. Kadang banyak mendung di muka mahasiswanya. Kadang juga wajah itu menyembulkan sinar seperti matahari. Siang selalu babak belur di kampus. Sedang malam menjadi suasana yang jelita. Suasana yang memberikan kontemplasi pada setiap mahasiwa.

Saya tak pernah tertarik menulis tentang kampus, tapi entah mengapa suasana kampus sekarang menhidupkan semangan menulis saya yang sempat redup. Dan suasana kampus sekarang juga mengingatkan saya pada pandangan pertama saya pada seorang wanita yang sekarang menjadi lembaran puisi saya. Sore ini juga adalah sebentuk perpisahan dengan salah satu anggota organisasi yang saya ikuti, Adik perempuan saya yang begitu getol membicarakan agama dan kebebasan mahasiswa. Intan begitu dia biasanya dipanggil. Seorang wanita dengan wajah arab oriental. Dia harus menuruti permintaan orang tuanya untuk pindah kuliah ke Malaysia. Dia tidak membicarakan alasan kenapa dia harus pindah, dia hanya datang ke sekretariat dengan wajah layu dan mengantongi ucapan selamat tinggal karena dini hari nanti dia harus sudah mengudara dari Jember ke Jakarta.

Intan adalah seorang wanita yang kuat, walaupun kadang dia juga harus tersungkur terlebih dahulu untuk melewati sesuatu. Saya ingat pernah berdebat tidak penting dengan Intan mengenai agama dan saya begitu tertarik pada obrolan itu, sayangnya tak ada lanjutan untuk obrolan kecil di sekretariat itu. Revolusioner begitu kata kawan-kawan ketika Intan berbicara. Ada yang tak pernah selesai. Ada semangat yang membara dan menggebu pada setiap kalimat yang dia ucapkan. Intan selalu mempertahankan apa yang dia katakana, kadang juga berlebihan sampai-sampai dia sulit menerima pendapat orang lain, tapi itulah Intan; seorang perempuan dengan wajah arab dan semangat yang tak pernah padam. Sayang sore ini dimatanya ada hujan yang tertahan.

Intan, kami tidak akan lupa dengan semangatmu, dengan kehadiranmu yang ceria juga dengan kalimat-kalimat revolusionermu. Kamu akan tetap menjadi anggota LPMS-Ideas dan kamu akan menyisakan bau di sekretariat ini. Semoga kuliamu di universitas barumu nanti menyenangkan dan semoga kamu menemukan teman yang menyenangkan. Jaga semangatmu adikku, jangan lupa jaga kesehatan, tetap melawan dan jangan lupa baca buku.[]

Sabtu, 16 Maret 2013

Menulis dan Hobi Pelupa


Namaku bukan Sherlock Holmes yang hobinya mengetahui apa yang orang lain tak tahu. Namaku Sadam Husaen punya hobi pelupa. Gara-gara hobi yang satu ini saya seringkali bernasib sial. Mengumpulkan tugas kuliah di hari yang salah, menyebut nama yang salah pada gadis cantik, dan tidak mengerjakan satu soal pun saat ujian, kadang juga lupa jalan pulang.

Saya harus menemukan siasat khusus untuk mengatasi hobi yang satu ini, atau lebih tepatnya masalah satu ini. Awalnya saya menyiasati dengan mengulang-ngulang nama orang bila baru pertama kali mengenalnya. Sayangnya, saya masih lupa juga. Dari hobi satu, muncullah hobi lainnya. Mulailah saya selalu membawa catatan kecil dan pena untuk menuliskan apa saja, baik nama kawan baru, jadwal kuliah, dan tempat-tempat yang saya singgahi. Katanya sih, menuliskan kembali bisa membuat ingatan kita lebih sempurna.

Dari hobi pelupa, saya jadi hobi menulis, termasuk mencatat saat dosen sedang ceramah di depan kelas, nama-nama berikut ciri-ciri fisiknya. Ada benarnya. Saya tak pernah salah sebut nama pada orang lain. Saya juga bisa mengerjakan soal ujian, jika sebelumnya sering tak satupun soal yakin dikerjakan dengan benar sekarang ada peningkatan. Setidaknya satu dua soal yakin terjawab dengan benar. Saya juga selalu mengumpulkan tugas kuliah pada hari yang benar.

Satu lagi, karena terbiasa mencatat saya jadinya kecanduan untuk menulis. Sekarang saya tak nyaman rasanya bila satu hari saja tak menulis. Selain membuat blog, kadang saya coba-coba kirim tulisan di media massa. Lumayan, ada satu dua yang dimuat.[]

Rabu, 27 Februari 2013

27.02.2013



 “Yang fana adalah waktu.  Kita abadi: 
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga 
sampai pada suatu hari 
kita lupa untuk apa.”
(Yang Fana Adalah Waktu -  Sapardi Djoko Damono) 


Dingin mewaktu pada malam ini, juga rasa gundah yang datang tanpa permisi seperti anak kecil yang belum mengetahui adat mengetuk pintu. Entah mengapa malam ini saya ingin menulis tentang ketidak-jelas-an hidup. Seperti kutipan puisi Sapardi di atas, kita memungut detik demi detik lantas menyimpannya, tapi pada akhirnya kita lupa mau menggunakannya untuk apa. Begitu pula hidup, kita selalu berusaha mengumpulkan semua yang ada di sekitar kita juga yang bisa kita raih, tapi kita tak tahu apakah nantinya semua yang kita kumpulkan itu berguna atau tidak, atau bahkan kita hanya mengumpulkan sesuatu yang kosong, yang tak pernah berisi apa-apa.

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang tak pernah puas. Kepuasan tentu juga tak pernah berujung. Ada yang kosong. Yang tidak berguna. Manusia mungkin tidak punya titik kepuasan karena tak ada yang sempat diselesaikannya pada hidup yang hampa ini, hidup yang juga kita tak tau kapan akan berakhir dengan kematian yang sunyi . Wiji Thukul mungkin menjadi seorang penyair yang mengalami itu, pada kesunyian dia menghilang, dia tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada kedua anaknya; Fajar Merah dan Fitri Nganti Wani. Wiji juga mungkin belum sempat menyelesaikan beberapa puisinya.

Dan apapun tentang surga dan neraka yang selalu dibayangkan oleh kebanyakan manusia, itu juga sebuah bentuk ketidak-selesaian dalam hidup. Ketidak-sempatan. Mungkin juga ketidak-puasan. Phytagoras belum menyelesaikan khotbah pada murid-murid hewannya, dia juga mungkin belum sempat menyampaikan khotbahnya pada para manusia yang benar-benar apatis pada saat itu. Dan pada akhirnya dia dipaksa mengakhiri hidupnya dengan ketidak-puasan. Dia diberi dua pilihan yang sama-sama akan mengentas nyawanya; digantung atau meminum racun. Phytagoras lebih memilih meminum racun sebagai bukti ada yang belum selesai sebelum dia merentas ke dunia yang lain –mungkin surga, mungkin juga neraka.

Tapi di jaman yang serba instan ini, hidup tak lagi menjadi sebuah kegigihan mencapai kebahagiaan tapi bagaimana mencari kesempatan dan menjadi yang pertama menggandeng kesempatan itu. Hidup menjadi semakin fana kata Sapardi dan kitalah yang menjadi abadi tanpa kealphaan pada keserakahan yang semakin hari semakin membenahi dirinya. Dan semakin kedepan hidup tidak lagi menjadi kesunyian masing-masing seperti kata Chairil, tapi hidup menjadi ketidak-selesaian yang abadi.[]

Rabu, 20 Februari 2013

20.02.2012



“Kepada Mu
Hidup tak pernah bernama.”

Beberapa bulan ini energi berpikir dan menulis benar-benar aku paksakan untuk kembali. Mengapa aku paksakan? Karena aku sangat tidak produktif. Akhirnya karena terpaksa, malahan tak ada tulisan yang aku hasilkan hanya ada beberapa puisi yang tak sempat usai.

Ketidakproduktifan ini dikarenakan banyak masalah, dan masalah tak akan pernah rampung berbenah. Pada hidup yang juga selalu kita paksakan menjadi bahagia, beberapa masalah datang dan beberapa hilang dihembus angin. Mulai dari masalah keluarga, kuliah, keuangan, juga cinta. Ah, kenapa harus cinta. Tai kucing lah dengan kekalutan!

Hidup memang tak pernah bernama, juga masalah tidak akan berhenti berbenah. Maka kita hanya bisa memilih; menjadikannya berarti atau menjadikannya tempat bersembunyi.

Minggu, 17 Februari 2013

Kisah Angin


Ibu pernah bercerita, tentang angin yang membawa rotasi, yang datang dari sunyi dan iri. Angin tak pernah menjadi belati kata ibu, tapi angin bisa mencipta ngeri pada suasana yang diri.

Aku selalu percaya pada ibu, sebelum dia sakit dan meninggalkan parit kehidupan menuju langit. Sebelum dia menitipkan angin yang membawa rotasi, kisah yang tak pernah dia akhiri.

Ibu tak pernah lagi mengunjungiku, hanya ada ngeri yang mewaktu pada tanah-tanah dimana dia meninggalkan diri. Sedang aku, setiap hari menimang angin juga rotasi, tanpa wajah bapak yang tak pernah ibu tanam pada setiap kenduri kematiannya.

Setiap hari aku berharap ibu kembali. Bercerita lagi tentang angin yang membawa rotasi, yang datang dari sunyi juga iri.
Ibu, kembalilah!
Karena rotasi yang dibawa angin tidak pernah berhenti, dan anakmu yang laki ini telah memilih menjadi banci.

13/02/13

Kamis, 07 Februari 2013

Absurditas Iwan Simatupang*


Ziarah, sebuah novel karya Iwan Simatupang adalah novel yang dianggap membelok dari aliran kesusastraan sebelumnya. Bersama Danarto dan Kuntowijoyo, Iwan Simatupang masuk ke dalam angkatan 80-an dalam sastra Indonesia karena karya mereka yang memiliki aliran yang hampir sama. Kembali ke Iwan Simatupang. Setelah saya menyelesaikan halaman akhir novel Ziarah, saya langsung menganggapnya sebagai novel yang absurd karena tak ada nama tokoh, dan juga pembahasan tentang filsafat yang tidak saya mengerti.

Novel Ziarah bercerita tentang seorang pelukis terkenal di seluruh negeri juga Kotapraja (setting tempat novel ini) yang dibuat terkapar tidak berdaya alias shock dan trauma setelah ditinggal mati istrinya yang sangat dia cintai, istri yang dia kawini dalam perkawinan secara tiba-tiba. Suatu ketika Pelukis mencoba bunuh diri karena ketenaran karya lukisnya yang memikat semua orang dijagat bumi ini yang mengakibatkan ia memiliki banyak uang dan membuat dia bingung. Karena kebingungannya ini sang pelukis berniat bunuh diri dari lantai hotel dan ketika terjun dia menimpa seorang gadis cantik. Dan tanpa diduga pula sang pelukis langsung mengadakan hubungan jasmani dengan si gadis di atas jalan raya. Hal ini membuat orang-orang histeris dan akhirnya seorang brigadir polisi membawa mereka ke kantor catatan sipil dan mengawinkan mereka.

Pelukis merasa benar-benar kehilangan terutama saat dia tahu bahwa istrinya mati, pelukis pun langsung pergi ke kantor sipil guna mengurusi penguburan istrinya tetapi tak ada tanggapan positif dari pengusaha penguburan. Itu terjadi karena pelukis tak tahu apa-apa tentang istrinya. Yang dia tahu hanyalah kecintaannya pada istrinya. Sehingga mayat istrinya terkatung-katung karena tak memiliki surat penguburan yang sah. Pelukis pun menghilang ketika dicari walikota (diangkat menjadi walikota setelah walikota pertama gantung diri karena tak bisa memecahkan masalah mengundang pelukis saat akan ada kunjungan tamu asing) yang ikut menghadiri penguburan Istri pelukis.

Sampai akhirnya pengusaha penguburan itu menyesali perbuatannya dan dengan keputusan walikota akhirnya mayat istri pelukis dikuburkan. Sampai penguburan usai, sang pelukis tak kelihatan. Saat kembali ke gubuknya, dia melihat wanita tua kecil yang ternyata adalah ibu kandung dari istrinya. Bercerita panjang tentang masa lalunya yang suram dan sampai saat terakhir dia bertatapan dengan anaknya yang justru membuat dilema bagi si anak. Dan sesaat kemudian pelukis memandangi keadaan sekitar yang penuh karangan bunga, membuang bunga-bunga tersebut ke laut kemudian membakar gubuknya sampai habis. Beberapa bunga yang masih tersisa ia bawa ke kuburan istrinya. Ia titipkan karangan bunga pada centeng perkuburan. Ziarah tanpa melihat makam istrinya.

Setelah itu hidup pelukis semakin tak tentu arah. Ia seolah tak pernah percaya bahwa istrinya telah mati. Pagi harinya hanya digunakan untuk menunggu istrinya di tikungan entah tikungan mana dan malam harinya di tuangkan arak ke perutnya, memanggil Tuhannya, meneriakkan nama istrinya, menangis dan kemudian tertawa keras-keras. Hingga akhirnya datang opseter perkuburan yang meminta dia mengapur tembok perkuburan Kotapraja yang sebelumnya telah berbekas pamplet-pamplet polisi bahwa dia dicari.

Pelukis menerima tawaran itu dan esoknya ia mulai bekerja mengapur tembok perkuburan Kotapraja itu 5 jam berturut-turut tiap harinya, sedangkan opseter perkuburan mengintip dari rumah dinasnya. Pekerjaan baru Pelukis ini membawa perubahan tingkah laku pelukis sehingga membuat seluruh negeri geger. Hingga Walikota akan memberhentikan opseter perkuburan. Tetapi ketika mengantar surat pemberhentian kerja itu, Walikota malah mati sendiri karena kata-kata opseter tentang proporsi. Sebelumnya juga pernah terjadi kekacauan di negeri karena opseter pekuburan memakai rasionalisme dalam kerjanya dan hanya memberi instruksi kerja pada selembar kertas pada pegawainya.

Setelah beberapa hari pelukis mengapur tembok perkuburan, pada suatu hari dia bergegas pulang sebelum 5 jam berturut-turut. Opseter perkuburan heran kemudian mendatanginya dan ternyata pelukis ingin berhenti bekerja. Opseter kebingungan tetapi pelukis menjelaskan bahwa dia tahu maksud opseter memperkerjakannya. Bahwa selain untuk kepentingan opseter sendiri, opseter ingin pelukis menziarahi istrinya yang sudah tiada itu. Keesokan harinya opseter ditemukan gantung diri. Pekuburan geger, tetapi hanya sedikit sekali empati dari pegawai-pegawai pekuburan. Penguburan opseter berlangsung cepat. Setelah penguburan, pelukis bertemu maha guru dari opseter yang kemudian menceritakan riwayat opseter.

Pada akhirnya pelukis pergi ke balai kota untuk melamar menjadi opseter pekuburan agar ia dapat terus-menerus berziarah pada mayat-mayat manusia terutama pada mayat istrinya.[]

*)Tulisan ini hanya sinopsis dari novel Ziarah

Minggu, 03 Februari 2013

Tentang Obrolan Dengan Seorang Kawan


Membicarakan Tuhan tentu tidak akan ada akhirnya, Dia bukan sesuatu untuk dibicarakan tapi sesuatu untuk dimasukkan kedalam diri kita sendiri-sendiri.

Beberapa hari yang lalu, salah satu teman mengajak saya mengobrol tentang Roh Illah yang kita sebut sebagai Tuhan. Teman saya itu adalah seorang perempuan yang mempunyai darah Arab atau lebih mengerucut lagi; Yaman. Dia mengajak ngobrol saya setelah dia membaca tulisan saya yang berjudul ‘Minum’. Tulisan saya itu menjelaskan kegiatan minum minuman keras yang selalu dianggap jelek oleh kebanyakan orang. Tapi tentunya tulisan saya itu adalah tulisan yang benar-benar subjektif, saya hanya ingin membagi apa yang ada di pikiran saya tentang ‘minum’ bahwa kegiatan itu mempunyai segi positif bagi orang-orang yang melakukannya. Sisi positif dari kegiatan ‘minum’ itu saya tuliskan sebagai berikut “Minum, saya menganggapnya sebagai ritual yang sangat sakral, ritual yang akan memunculkan suasana kekeluargaan pada setiap botol dan setiap gelasnya.”

Teman saya yang notabene dari keluarga beragama islam tentunya langsung men-judge saya sebagai seorang yang tidak bermoral atas dasar hukum islam. Karena dalam hukum islam meminum minuman keras hukumnya adalah haram. Obrolan saya dan teman saya pun semakin melebar kemana-mana, tak hanya membahas tentang ‘minum’ tapi sampai membahas tentang agama apa yang saya anut dan apakah saya percaya bahwa Tuhan ada.

Tentunya saya menghargai semua pertanyaan juga penyataan yang dia ucapkan, karena background agama saya adalah agama islam yang diturunkan oleh orang tua saya. Tapi saya tidak melihat bahwa teman saya itu mau membuka pikirannya untuk menerima pendapat orang lain, dia mementahkan semua pendapat saya dengan alasan yang menurut saya absurd. Salah satunya ketika saya bertanya kepadanya tentang kata ‘Jancuk’. Dia menganggap kata ‘Jancuk’ adalah kata-kata yang tidak patut diucapkan, itu adalah umpatan, dan kata yang seharusnya dihilangkan. Saya tanya kembali kepada dia, mengapa menganggap kata ‘Jancuk’ itu jelek, dengan gugup dia menjawab “kan kata itu dari kata dasar ehmm.. itu mas yang dari surabaya.” Saya tau dia mau mengucapkan kata apa, tapi dia tidak mau mengucapkan kata-kata itu. Saya langsung menyahut “dari kata ‘Encuk’ kan?” nah saya merasa bahwa alasan itu benar-benar absurd. Apa yang salah dengan kata ‘Encuk’ atau dalam bahasa indonesia adalah bersenggama, apa yang tidak patut diucapkan, sedang itu adalah bahasa daerah dari Surabaya.

Begitu juga obrolan yang merujuk pada Tuhan, dia selalu mengurucutkan semua pada agama islam. Saya memang seseorang yang beragama islam tapi saya masih mau membuka pikiran saya untuk menerima ilmu yang tidak mungkin saya terima ketika saya terjebak dalam lingkaran yang diciptakan oleh sebuah agama. Bukan saya seorang yang kafir atau tidak beragama. Saya punya iman. Agama saya islam. Tapi saya hanya tak mau terbelenggu oleh agama ketika agama itu menghalangi kita untuk mempelajari sesuatu.

Saya tahu bahwa obrolan tentang Tuhan dan agama tentunya tidak akan ada habisnya, apalagi mengobrol dengan seseorang yang belum bisa keluar dari hegemoni dan dogma yang diciptakan oleh lingkungan juga keluarganya. Saya selalu menyimpangkan obrolan atau bisa saya sebut debat kusir karena lawan bicara saya yang tidak mau menerima pendapat orang lain itu dengan menelikungkan obrolan tentang Tuhan dan agama pada bahasan yang lain. Dan itu tidak berpengaruh, semua yang kita obrolkan selalu mengerucut pada agama islam.

Saya yang merasa perdebatan itu tidak sehat akhirnya menyerah dan mengakhiri obrolan yang selalu dikerucutkan itu. Saya tidak pernah memaksakan pendapat saya diterima oleh orang lain, tapi seperti hukum 3 Newton bahwa ada aksi tentunya ada reaksi. Ketika pendapat saya tidak diterima tentunya saya akan menelusuri dan mencari kebenaran pendapat lawan bicara saya.[]

NB: untuk teman saya, mari kita belajar bersama bukan memaksakan kehendak kita sendiri :) 

Jumat, 01 Februari 2013

Ayat Puisi


Pada Jibril kutitipkan ayat-ayat puisi yang tak pernah selesai
Tentang nasib yang telah ditentukan,
tentang hikayat manusia,
tentang rindu mereka pada surga
dan tentang lamaranku menjadi Tuhan

Selasa, 29 Januari 2013

Mencipta Sejarah, Menyimpan Kenangan



“...tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu”
(Hujan Bulan Juni-Sapardi Djoko Damono)

Sepertinya sudah bertahun-tahun aku tidak menuliskan sesuatu, aku seperti mati dalam ruangan nonproduktif entah karena apa. Beberapa puisi tidak selesai, beberapa janji tak terealisasi, juga beberapa rencana terbengkalai. Dan saat ini aku ingin memulai kembali melahirkan sebuah keteraturan hidup dengan menulis, walaupun hanya tulisan yang tidak begitu penting untuk orang yang mau membacanya.

Yah, aku menjadi seorang yang sedikit berbeda beberapa bulan ini, ini karena cinta. Ah kenapa aku menjadi lemah karena cinta, tidak pernah sebelumnya aku seperti ini. Aku mebiarkan semua bertanya ‘ada apa dengan sadam?’ dan membiarkan semua diserap akar pohon bunga itu. Seorang wanita dengan kelembutannya membuat kekalutan semakin tebal saja dalam kehidupanku. Wanita yang pernah membiarkan aku mapir sebentar di halte hatinya. Wanita dengan pandangan mata yang dalam.

Aku punya cinta pertama dan tentunya cinta kedua, tapi berbeda dengan cinta yang ketiga ini. Cinta pertamaku hilang karena alasan yang benar-benar sepele walaupun akhirnya menyisakan sakit. Lalu cinta keduaku, cinta yang harus kujalani bersama jarak dan waktu yang begitu kejam, berakhir karena alasan yang benar-benar menyakitkan, alasan yang abu-abu dan membuat airmata membuncah dari tempatnya. Ah, tapi aku bukan seorang yang senang terlalu terlarut dan akhirnya memutuskan mengumpulkan kenangan masa lalu tentang luka dan bahagia itu pada kotak kenangan. Kotak kenangan yang semua orang tidak akan tahu bentuknya atau mungkin isinya. Aku mecoba terus mencoba menyimpan kotak kenangan itu pada tempat yang benar-benar tertutup rapat untuk orang-orang yang ada di sekitarku, juga untuk keseharianku selanjutnya, dan sedikit demi sedikit karena terus mencoba walaupun kadang kotak kenangan itu meledak bersama alasan dan luka yang membuatku kembali terjatuh. Tapi seperti apa yang dikatakan chairil “…ada yang tetap tidak terucapkan // sebelum pada akhirnya kita menyerah.” Dengan berusaha mencipta sejarah baru juga membiasakan diri dengan segala yang ada di depan, aku terus berjalan dan mengalirkan semua seperti hujan.

Lalu seorang wanita yang sempat tersenyum padaku 3 tahun yang lalu itu muncul, dan dia menjadi harapanku mencipta sejarah yang baru agar kotak kenangan itu semaki terkunci rapat. Aku mencintainya dan aku tahu harus mencintainya dengan segala apa yang dibawanya dari masa lalu dan aku melakukannya, sekali lagi aku harus berusaha dan bersiap untuk terjatuh lagi, mencipta luka lagi dan menjadi seorang yang rapuh lagi. Kami menjalin sebuah hubungan, hubungan yang berlandaskan kecocokan tanpa ada relationship. Aku tahu dia masih menyimpan bayang cinta pertama yang tidak lain adalah temanku ketika aku menginjakkan kaki di jember, dan pertemuan kami pun karena dia bersama temanku itu.

Aku tahu dia masih sering berkomunikasi dengan cinta pertamanya dan aku tak mempermasalahkan itu semua, ketika dia mau jujur tentang itu semua padaku. Tapi dia berubah, dia yang menyukai senja itu benar-benar berubah, dia bukan seseorang yang dulu, yang menemu hujan, yang mengumpulkan dan mengharap rindu, yang selalu ingin berbicara banyak. Entah apa yang terjadi padanya ketika aku meninggalkannya untuk pergi ke kampung halamanku selama beberapa hari. Aku benar-benar merasakan perubahan seseorang yang melukiskan cinta pada pandang matanya itu. Dan itu membuat aku juga berubah, bukan lagi seorang sadam yang tak mau terlarut menjadi seorang sadam yang mudah sekali mencipta kekalutan.

Ini cinta yang berbeda, juga kesunyian yang berbeda. Aku tak melihat pandangan mata yang melukiskan cinta itu lagi ketika sudah berada di jember lagi. Tapi aku tetap mencintainya. Mencintainya dengan segala apa yang dibawanya. Entah kenapa dia bisa membawa sejarah yang benar-benar baru dalam kehidupanku, sejarah tentang mengingat dengan kuat memori masa lalu yang malahan aku tidak ingin melakukannya.

Jika aku seseorang yang benar-benar bebal, mungkin aku akan mengekang dia agar dia tidak menjalin komunikasi dengan cinta pertamanya itu, tapi aku bukan seseorang yang seperti itu. Aku mencintai dia seperti merpati yang bebas terbang dan tau tempatnya kembali, tempat dimana dia mendapatkan hidup yang sebenarnya. Aku benar-benar berubah dengan mencintainya, entah dalam aspek apa, tapi aku merasa ada yang berubah. Sekarang aku hanya berharap pandangan mata penuh cinta itu kembali dan hujan tidak selalu datang karena kesedihan melainkan karena kebahagiaan.

Aku mencintai seorang perempuan yang menyukai senja bukan sebagai perpisahan, aku akan tetap mencintainya, sebelum dan setelah ini dan semoga dia tahu bahwa ada seseorang yang menunggu cintanya kembali dalam pandangan mata yang begitu dalam.

Tulisan ini diawali dengan kutipan puisi Sapardi, dan juga akan ku akhiri dengan sebuah puisi dari Sapardi untumu ‘senjaku’.

Kukirimkan Padamu

kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.

Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.
Namun ada.
(Sapardi Djoko Damono)

Rabu, 09 Januari 2013

Laporan Utama Majalah Millenium Dalam Penerawangan*


Membaca judul Laporan Utama majalah Millenium edisi IX 2012 saya langsung mengerutkan kening. ‘Memetik Identitas Batik Jember’ itulah judul dari Laporan Utama majalah Millenium. Kenapa saya mengerutkan kening ketika membacanya, karena setahu saya, Jember adalah kota yang tidak mempunyai identitas budaya yang khusus apalagi yang berhubungan dengan kerajinan batik.

Saya pun melanjutkan membaca Laporan Utama yang ditulis oleh M. Afwan Fathul Barry itu sampai selesai. Pada paragraf awal atau sebut saja teras berita, dugaan saya mengenai Jember yang tidak punya identitas budaya berhubungan dengan batik mulai luntur sedikit demi sedikit. Afwan menjelaskan bahwa di Jember tak hanya ada JFC (Jember Fashion Carnival) dengan pakaian modern mereka, tapi masih ada kearifan lokal yang disimpan oleh kota yang terkenal dengan tembakaunya itu. Kearifan lokal ini salah satunya terwujud dalam batik khas Jember.

Membaca tulisan Afwan, mulai awal saya seperti diajak untuk berkeliling Jember. Banyak sekali nama daerah yang dia tuliskan di awal tulisannya. Sumberjambe, Sumberpakem, Ledokombo, Arjasa dan masih ada beberapa yang lain. Mungkin Afwan tak ingin membingungkan pembaca dengan menyebutkan banyak sekali nama daerah di Jember. Tapi dia ingin menceritakan perjalanan tim reportase Millenium yang menguras tenaga ketika mendatangi desa Sumberpakem tempat dimana kerajinan batik khas Jember dibuat.

Selanjutnya yang ditulisakan Afwan adalah sejarah singkat batik khas Jember. Ada dua narasumber yang disebutkan dalam sub judul ‘Segurat Sejarah’ yaitu Mawardi dan Haji Maskuri. Mawardi dan H. Maskuri adalah dua orang yang mempunyai unit dagang batik di desa Sumberpakem, mereka berdua adalah generasi penerus usaha batik warisan dari orangtua mereka. Mawardi misalnya, dia memulai bisnis batiknya sejak 1930-an yang dia terima dari sang nenek sedangkan H. Maskuri adalah generasi ketiga dari usaha batik keluarganya yang berdiri sejak 1935.

Ciri khas batik Jember juga menjadi pembahasan dalam Laporan Utama majalah Millenium ini. Jember sebagai kota yang dikenal dengan produksi tembakaunya berpengaruh pada produk batiknya. Dalam motif batik hasil produksi Mawardi, daun tembakau menjadi motif yang menawan. Tak hanya daun tembakau yang menjadi pilihan motif bagi batik produksi Mawardi. Bunga kakao, buah naga, pohon bambu, pisang, cerutu dan masih banyak pilihan motif yang dihasilkan dalam batik produksi Mawardi.

Afwan juga menuliskan perbedaan batik khas Jember dengan batik keratonan. Batik keratonan adalah batik yang sudah paten tidak boleh dirubah motifnya karena sudah mempunyai pakem tersendiri, juga warna batiknya yang selalu coklat. Sedangkan batik khas Jember tidak mempunyai pakem apapun. Warna dan motif batik khas Jember bisa dibuat sesuai pesanan sang pembeli.

Selain dua pengusaha batik yang menjadi narasumber dalam tulisan Afwan ini, ada juga Ridwan kepala desa Sumberpakem dan Sulistyowati, salah seorang pekerja di unit dagang milik Mawardi. Ridwan menjelaskan geliat batik Jember khususnya di desa Sumberpakem.

Ditulis dalam Laporan Utama itu bahwa dua unit kerja yang memproduksi batik di desa Sumberpakem itu lebih memilih mempekerjakan masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya, karena alasan kesejahteraan lingkungan dimana unit kerja itu berada. Penduduk desa Sumberpakem, terutama yang perempuan, sudah menjadikan industri batik itu sebagai pintu nasib. Seperti halnya Sulistyowati yang diwawancarai oleh tim Millenium untuk data dalam Laporan Utama majalah meraka itu.

Selanjutnya yang dibahas dalam Laporan Utama ini adalah omzet usaha batik Jember. Data-data yang diperoleh oleh tim Millenium adalah data hasil penjualan unit dagang milik Mawardi dan H. Maskuri. Kedua unit dagang yang berada di desa Sumberpakem itu kira-kira sebulan dapat meraup pendapatan kotor sebesar Rp. 37.500.000. Tapi walaupun omzet besar didapatkan oleh produsen batik Jember, perhatian pemerintahan tidak menjadi lebih besar. Dalam tulisan Afwan dijelaskan bahwa banyak kendala yang dihadapi oleh unit dagang yang ada di desa Sumberpakem, salah satunya adalah akses yang sulit dijangkau untuk mendapatkan batik khas jember.

Dua pendapat yang berbeda juga dituliskan oleh Afwan dalam Laporan Utamanya. Pertama, pendapat dari H. Maskuri yang menganggap kurangnya perhatian pemerintah daerah pada batik khas Jember. Kedua, pendapat Mawardi yang mengungkapkan bahwa perhatian dari pemerintah daerah sudah cukup dengan membantu mempromosikan, bantuan modal dan berbagai pelatihan.

Pendapat dari pihak pemerintah juga dimasukkan dalam Laporan Utama majalah Millenium ini, yaitu pendapat dari Kepala Industri, Logam, Mesin, Kimia, Aneka (ILMKA) dan Kepala Kantor Pariwisata.

Laporan Utama Majalah Millenium edisi IX 2012 ini penuh dengan data tapi sayangnya banyak sekali bahasa yang membuat saya harus berkali-kali mengulang membacanya. Bahasa yang digunakan oleh Afwan dalam beberapa paragraf mengecoh saya karena munculnya ambiguitas bahasa. Seperti dalam sub judul ‘Segurat Sejarah’ paragraf ke tiga “…kami mendapati sosok dari balik kaca hitam di dalam rumah sedang menuju ke arah kami.” Saya bingung membaca kalimat ini dan sampai saya menuliskan sinopsis ini saya belum mengerti apa maksud dari kalimat ini.

Masih banyak lagi kalimat yang membuat saya merasa menjadi seseorang yang tidak mengenal kalimat dan frasa. Hal lain yang menurut saya ganjil adalah penulisan umur narasumber yang hanya ada pana nama Sulistyowati, sedangkan yang lain; Mawardi, H. Maskuri tidak diberi keterangan umur. Juga penulisan jam yang tidak diikuti oleh keterangan waktu bagian mana. Penulisan beberapa kata yang dimiringkan juga kurang diteliti, ada dua kata speedometer dan yang diketik miring hanya satu. Dan banyak juga salah ketik yang terjadi.

Selain beberapa kekurangan dalam penulisan ada juga hal lain yang mengganggu saya yaitu caption foto yang fontnya sama dengan font tulisan. Menurut saya font caption foto seharusnya lebih kecil daripada font tulisan utama. Tingkat kehitaman foto juga sepertinya kurang diperhatikan karena ada beberapa foto yang terlalu gelap dipasang dalam Laporan Utama majalah Millenium.

Penempatan paragraf menurut saya juga kurang rapi, ada beberapa paragraf yang terpotong ke halaman selanjutnya dan hanya meninggalkan satu baris dalam paragraf sebelumnya. Contohnya pada sub judul ‘Segurat Sejarah’ paragraf ke lima. Hanya satu baris yang tertinggal pada halaman 9 yaitu “Sekitar tahun 1999, Mawardi tergerak untuk…” saya merasa terganggu dengan itu. Tidak hanya pada sub judul ‘Segurat Sejarah’, banyak sekali kasus yang sama pada tulisan Afwan. Contoh lain ada pada sub judul pertama ‘Menuju Sumberpakem’ paragraf ke tiga, ada beberapa kata yang nggandol  di kolom paragraf kedua, dan itu membuat saya kurang nyaman dalam membaca.

Terakhir adalah judul Laporan Utama yang ditulis Afwan ‘Memetik Identitas Batik Jember’. Dalam tulisan Afwan, saya tidak menemukan isu atau tema yang berhubungan dengan identitas Jember, yang saya temukan malah produsen batik khas Jember yang kurang dikenal oleh masyarakat Jember sendiri.

Tapi lepas dari semua itu Laporan Utama Majalah Millenium edisi IX 2012 ini cukup memberikan informasi pada pembacanya dengan alur yang ditata rapi oleh penulisnya; Afwan Fathul Barry.[]

*)Tulisan ini menjadi juara 2 dalam lomba sinopsis laporan utama Majalah Millenium edisi IX 2012