Membaca judul Laporan
Utama majalah Millenium edisi IX 2012 saya langsung mengerutkan kening. ‘Memetik
Identitas Batik Jember’ itulah judul dari Laporan Utama majalah Millenium. Kenapa
saya mengerutkan kening ketika membacanya, karena setahu saya, Jember adalah
kota yang tidak mempunyai identitas budaya yang khusus apalagi yang berhubungan
dengan kerajinan batik.
Saya pun melanjutkan
membaca Laporan Utama yang ditulis oleh M. Afwan Fathul Barry itu sampai
selesai. Pada paragraf awal atau sebut saja teras berita, dugaan saya mengenai
Jember yang tidak punya identitas budaya berhubungan dengan batik mulai luntur
sedikit demi sedikit. Afwan menjelaskan bahwa di Jember tak hanya ada JFC
(Jember Fashion Carnival) dengan pakaian modern mereka, tapi masih ada kearifan
lokal yang disimpan oleh kota yang terkenal dengan tembakaunya itu. Kearifan
lokal ini salah satunya terwujud dalam batik khas Jember.
Membaca tulisan Afwan,
mulai awal saya seperti diajak untuk berkeliling Jember. Banyak sekali nama
daerah yang dia tuliskan di awal tulisannya. Sumberjambe, Sumberpakem,
Ledokombo, Arjasa dan masih ada beberapa yang lain. Mungkin Afwan tak ingin
membingungkan pembaca dengan menyebutkan banyak sekali nama daerah di Jember. Tapi
dia ingin menceritakan perjalanan tim reportase Millenium yang menguras tenaga
ketika mendatangi desa Sumberpakem tempat dimana kerajinan batik khas Jember
dibuat.
Selanjutnya yang
ditulisakan Afwan adalah sejarah singkat batik khas Jember. Ada dua narasumber yang
disebutkan dalam sub judul ‘Segurat Sejarah’ yaitu Mawardi dan Haji Maskuri.
Mawardi dan H. Maskuri adalah dua orang yang mempunyai unit dagang batik di
desa Sumberpakem, mereka berdua adalah generasi penerus usaha batik warisan
dari orangtua mereka. Mawardi misalnya, dia memulai bisnis batiknya sejak
1930-an yang dia terima dari sang nenek sedangkan H. Maskuri adalah generasi
ketiga dari usaha batik keluarganya yang berdiri sejak 1935.
Ciri khas batik
Jember juga menjadi pembahasan dalam Laporan Utama majalah Millenium ini.
Jember sebagai kota yang dikenal dengan produksi tembakaunya berpengaruh pada
produk batiknya. Dalam motif batik hasil produksi Mawardi, daun tembakau
menjadi motif yang menawan. Tak hanya daun tembakau yang menjadi pilihan motif
bagi batik produksi Mawardi. Bunga kakao, buah naga, pohon bambu, pisang,
cerutu dan masih banyak pilihan motif yang dihasilkan dalam batik produksi Mawardi.
Afwan juga menuliskan
perbedaan batik khas Jember dengan batik keratonan. Batik keratonan adalah
batik yang sudah paten tidak boleh dirubah motifnya karena sudah mempunyai
pakem tersendiri, juga warna batiknya yang selalu coklat. Sedangkan batik khas
Jember tidak mempunyai pakem apapun. Warna dan motif batik khas Jember bisa
dibuat sesuai pesanan sang pembeli.
Selain dua pengusaha
batik yang menjadi narasumber dalam tulisan Afwan ini, ada juga Ridwan kepala
desa Sumberpakem dan Sulistyowati, salah seorang pekerja di unit dagang milik
Mawardi. Ridwan menjelaskan geliat batik Jember khususnya di desa Sumberpakem.
Ditulis dalam Laporan
Utama itu bahwa dua unit kerja yang memproduksi batik di desa Sumberpakem itu
lebih memilih mempekerjakan masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya,
karena alasan kesejahteraan lingkungan dimana unit kerja itu berada. Penduduk desa
Sumberpakem, terutama yang perempuan, sudah menjadikan industri batik itu
sebagai pintu nasib. Seperti halnya Sulistyowati yang diwawancarai oleh tim Millenium
untuk data dalam Laporan Utama majalah meraka itu.
Selanjutnya yang
dibahas dalam Laporan Utama ini adalah omzet usaha batik Jember. Data-data yang
diperoleh oleh tim Millenium adalah data hasil penjualan unit dagang milik
Mawardi dan H. Maskuri. Kedua unit dagang yang berada di desa Sumberpakem itu
kira-kira sebulan dapat meraup pendapatan kotor sebesar Rp. 37.500.000. Tapi
walaupun omzet besar didapatkan oleh produsen batik Jember, perhatian
pemerintahan tidak menjadi lebih besar. Dalam tulisan Afwan dijelaskan bahwa
banyak kendala yang dihadapi oleh unit dagang yang ada di desa Sumberpakem,
salah satunya adalah akses yang sulit dijangkau untuk mendapatkan batik khas
jember.
Dua pendapat yang
berbeda juga dituliskan oleh Afwan dalam Laporan Utamanya. Pertama, pendapat
dari H. Maskuri yang menganggap kurangnya perhatian pemerintah daerah pada
batik khas Jember. Kedua, pendapat Mawardi yang mengungkapkan bahwa perhatian
dari pemerintah daerah sudah cukup dengan membantu mempromosikan, bantuan modal
dan berbagai pelatihan.
Pendapat dari pihak
pemerintah juga dimasukkan dalam Laporan Utama majalah Millenium ini, yaitu
pendapat dari Kepala Industri, Logam, Mesin, Kimia, Aneka (ILMKA) dan Kepala
Kantor Pariwisata.
Laporan Utama Majalah
Millenium edisi IX 2012 ini penuh dengan data tapi sayangnya banyak sekali
bahasa yang membuat saya harus berkali-kali mengulang membacanya. Bahasa yang
digunakan oleh Afwan dalam beberapa paragraf mengecoh saya karena munculnya
ambiguitas bahasa. Seperti dalam sub judul ‘Segurat Sejarah’ paragraf ke tiga “…kami mendapati sosok dari balik kaca hitam
di dalam rumah sedang menuju ke arah kami.” Saya bingung membaca kalimat
ini dan sampai saya menuliskan sinopsis ini saya belum mengerti apa maksud dari
kalimat ini.
Masih banyak lagi kalimat
yang membuat saya merasa menjadi seseorang yang tidak mengenal kalimat dan
frasa. Hal lain yang menurut saya ganjil adalah penulisan umur narasumber yang
hanya ada pana nama Sulistyowati, sedangkan yang lain; Mawardi, H. Maskuri
tidak diberi keterangan umur. Juga penulisan jam yang tidak diikuti oleh
keterangan waktu bagian mana. Penulisan beberapa kata yang dimiringkan juga
kurang diteliti, ada dua kata speedometer dan yang diketik miring hanya satu.
Dan banyak juga salah ketik yang terjadi.
Selain beberapa
kekurangan dalam penulisan ada juga hal lain yang mengganggu saya yaitu caption foto yang fontnya sama dengan
font tulisan. Menurut saya font caption foto
seharusnya lebih kecil daripada font tulisan utama. Tingkat kehitaman foto juga
sepertinya kurang diperhatikan karena ada beberapa foto yang terlalu gelap
dipasang dalam Laporan Utama majalah Millenium.
Penempatan paragraf
menurut saya juga kurang rapi, ada beberapa paragraf yang terpotong ke halaman
selanjutnya dan hanya meninggalkan satu baris dalam paragraf sebelumnya.
Contohnya pada sub judul ‘Segurat Sejarah’ paragraf ke lima. Hanya satu baris
yang tertinggal pada halaman 9 yaitu “Sekitar
tahun 1999, Mawardi tergerak untuk…” saya merasa terganggu dengan itu. Tidak
hanya pada sub judul ‘Segurat Sejarah’, banyak sekali kasus yang sama pada
tulisan Afwan. Contoh lain ada pada sub judul pertama ‘Menuju Sumberpakem’
paragraf ke tiga, ada beberapa kata yang nggandol
di kolom paragraf kedua, dan itu
membuat saya kurang nyaman dalam membaca.
Terakhir adalah judul
Laporan Utama yang ditulis Afwan ‘Memetik Identitas Batik Jember’. Dalam
tulisan Afwan, saya tidak menemukan isu atau tema yang berhubungan dengan
identitas Jember, yang saya temukan malah produsen batik khas Jember yang kurang
dikenal oleh masyarakat Jember sendiri.
Tapi lepas dari semua
itu Laporan Utama Majalah Millenium edisi IX 2012 ini cukup memberikan
informasi pada pembacanya dengan alur yang ditata rapi oleh penulisnya; Afwan
Fathul Barry.[]
*)Tulisan ini menjadi juara 2 dalam lomba sinopsis laporan utama Majalah Millenium edisi IX 2012