Selasa, 08 April 2014

Tentang Memilih Untuk Tidak Memilih

“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku.” 

Bayangkan jika tidak memilih atau golput adalah suatu hal yang lumrah dalam pesta demokrasi Indonesia. Semuanya akan jadi biasa-biasa saja. Tak mungkin ada perdebatan tentang tidak tersebarnya surat suara dan surat undangan memilih. Tak ada warga yang merengek karena tidak masuk daftar pemilih. Tak ada kegiatan kampanye yang berlebihan dan tentunya pasti tak ada lembaga yang sembarangan mengeluarkan fatwa haram. Tapi sayangnya, Indonesia mungkin adalah negara yang belum lepas dari kebingungan-kebingungan yang diciptakan sejarah. Indonesia yang seharusnya sudah meninggalkan segala bentuk keterpaksaan, malah dalam kenyataannya semakin kelihatan sebagai negara oligarki. 

Pesta demokrasi atau pemilihan umum (Pemilu) menjadi sebuah keterpaksaan bagi warga negara Indonesia. Banyak hal yang diatur secara purba dengan adanya fatwa haram tentang warga negara yang tidak memilih. Tapi apakah pemerintah memikirkan nasib warga negara yang tidak bisa menyampaikan suaranya ketika meng-iya-kan fatwa haram golput? Di Rumah Susun Jemondo Puspa Agro, Sidoarjo terdapat banyak warga negara yang ‘dipaksa’ golput. Mereka bisa dibilang  dimarjinalkan. Hak mereka dikoyak. Mereka adalah warga Syiah Sampang, Madura yang dipaksa meninggalkan tanah moyang mereka karena konflik agama. Apakah warga Syiah Madura itu berdosa ketika tidak menyampaikan suara mereka dalam Pemilu 2014? Ataukah memang suara mereka tidak dihitung sebagai warga Indonesia? Ataupun dianggap sebagai bagian yang menurut Majelis Ulama Indonesia sebagai yang haram? Lantas di mana Tuhan ketika terjadi permasalahan seperti ini? 

Pertanyaan pun menguap begitu saja, tak ada yang sempat menjawab. Tuhan pun mungkin sedang sibuk. Bahkan yang seharusnya menjawab, para calon legislatif dan para petinggi partai. Eh malah para petinggi itu, justru memilih menyibukkan diri dalam penjualan wajah dan janji-janji yang mengarah pada kekosongan belaka. Seperti sebuah film porno Pemilu di Indonesia sebenarnya sudah tuntas ketika pertama kali dimulai, setelahnya tak lebih dari dusta belaka. Sejarah mencatat banyak kegagalan dalam pemilihan. Manipulasi, kolusi, bahkan yang paling parah adalah sekarang. Tentang paksaan yang tidak berdasar. 

Lantas apa yang dijadikan dasar ketika warga negara Indonesia dipaksa untuk tetap memilih? Apakah atas dasar wajah besar yang dipampang di pinggir-pinggir jalan? Amplop-amplop yang disebar malam-malam? Ataukah atas nama Tuhan yang sebisa mungkin dieksploitasi untuk alat penggalang suara? Kita sudah lebih dari setengah abad merdeka tapi pembodohan dari para elit politik tetap saja ada. Apakah kemerdekaan hanya diartikan terbebas dari jajahan bangsa lain dan bukan dari bangsa sendiri? 

Selasa, 01 April 2014

Suka Cita Perjalanan Pra Kongres PPMI di Bali #1

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni, begitu kata Sapardi. Tapi ketika saya dan beberapa teman saya hendak melakukan perjalanan, penanggalan belum menginjak bulan juni. Tapi hujan begitu tabah dan setia menemani perjalanan kami. Hari itu bertanggal 20-an februari 2014, saya dan 3 orang teman saya hendak melakukan perjalanan ke arah timur, tapi kami tidak sedang mencari kitab suci karena kami bukan biksu dan beberapa muridnya. Kami hanya empat orang pemuda yang rawan diserang kesepian.
Empat pemuda itu adalah Saya, Bill, Mas Teguh yang acap kali dipanggil Cetar dan Joko. Tujuan perjalanan kami adalah Pulau Bali, bukan untuk berlibur atau refresing tapi ada misi yang harus kami selesaikan, yaitu menghadiri undangan dari kawan kawan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Bali (PPMI DK Bali).
Perjalanan kami dimulai dari kampus tercinta yang akhir-akhir ini sering menyiksa kami; Universitas Jember (UJ). Sekitar pukul setengah empat saya, Mas Cetar dan Joko berangkat diantar oleh Faiz dan Yudha, tentunya ditemani hujan yang begitu tabah. Kami bertiga sampai di Stasiun Jember dan karena saya bonceng tiga ketika berangkat, tak ayal separuh celana saya basah kuyup. Di stasiun kami dipaksa menunggu dan masih ditemani oleh hujan yang semakin lama sepertinya semakin dibenci orang yang melakukan perjalanan. Kami harus menunggu Bill yang belum sampai ke stasiun karena dia berangkat dari tempat yang berbeda.
Untung saja di stasiun kami masih bisa menikmati wajah manis para calon penumpang kereta. Emosi kami bertiga terhadap bill dan mungkin juga kepada hujan agak mereda. Jadwal keberagkatan kereta kami adalah jam 16.00 WIB dan kurang 10 menit lagi kereta itu akan berangkat, sedangkan kami masih sibuk menunggu Bill. Pesan singkat dan telfon tak mendapat respon dari Bill dan tepat pukul 15.55 Bill datang diantar oleh Toni, puji Tuhan perjalanan kita tidak gagal karena satu orang.

Ideas

Jika waktu adalah lembaran-lembaran kertas yang kosong, tentu perjalanan akan memenuhinya dengan berbagai cerita. Tapi perjalanan selalu layaknya sajak, ada yang ingin diungkap dan ada yang selalu tersembunyi. Bahkan kosong. Setiap perjalanan adalah suatu yang ambigu, yang mempunyai banyak makna, yang dalam setiap fragmennya memunculkan sesuatu yang lain. Layaknya sebuah sajak, di setiap perjalanan tentu kita akan menemukan kemuraman, ketegangan yang berlanjut, kegelisahan yang sulit dihentikan, dan perjuangan yang berat seperti yang diungkapkan Conrad Aiken dalam esainya yang berjudul Puisi dan Pemikiran Manusia.
***
Lembaga Pers Mahasiswa Sastra Ideas yang selanjutnya disebut LPMS-Ideas selalu menjalani hari demi hari dengan perjalanan yang semakin kesini semakin terjal, bahkan sesekali mengulang sejarah yang menurut Foucault selalu acak. Sebagai sebuah organisasi yang setiap hari anggotanya selalu dipaksa untuk berpikir, LPMS-Ideas menjadi organisasi yang memunculkan manusia-manusia yang liyan dari lingkungan sekitarnya ––mungkin setiap LPM akan menghasilkan produk manusia seperti itu. Selain itu LPMS-Ideas juga mencoba untuk menciptakan budaya baru, yang seharusnya semakin dekat dengan keseharian mahasiswa kekinian.Tapi pada kenyataannya LPMS-Ideas semakin tersungkur dan selalu mencoba untuk bangkit dengan tenaga-tenaga yang tersisa. Sampai pada akhirnya tahun 2013 tuntas. Sejarah memang akan berulang, seperti halnya Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilakukan selama 4 tahun sekali. LPMS-Ideas sebagai sebuah organisasi juga harus mengganti nahkodanya seperti Indonesia yang setiap empat tahun sekali mengganti presidennya. Musyawarah Tahunan Anggota (Mustang), begitu kami menyebut proses demokratis itu. Tentu perubahan pemikiran dan segala yang lebih nyaman lah yang kami harapkan.
“Akhir-akhir ini banyak sekali yang terjadi.Tapi aku malas ceritera tentang itu semua.” Begitu yang diungkapkan Gie dalam catatan hariannya yang bertanggal 10 Desember 1961. Seperti itu pula yang sedang terjadi di LPMS-Ideas. Sebagai sebuah keluarga kecil yang bermukin di sebuah bilik berukuran 6X6 meter, beberapa anggota LPMS begitu pandai menyimpan rahasia dan sakit hatinya. Sampai-sampai suatu saat beberapa anggota itu tidak sadar meneteskan bulir airmata mereka yang begitu berharga. Dinamika seperti ini dalam sebuah organisasi memang sulit untuk dihilangkan, kembali kepada Cornad Aiken tentang kemuraman, ketegangan yang berlanjut dan kegelisahan yang sulit dihentikan.Tapi disamping semua cerita yang selalu disembunyikan itu, sepertinya semua anggota LPMS-Ideas tidak pernah luput memikirkan kemajuan organisasi. Akhirnya malam yang bisa saya bilang sebagai malam terbesar bagi LPMS-Ideas pun tiba, setelah 14 bulan yang dijalani dengan terseok-seok akhirnya saya sebagai nahkoda LPMS pun harus digantikan.
Semenjak saya dibaptis sebagai seorang yang harus memimpin LPMS-Ideas, saya pun memutuskan untuk membangun LPMS dan Ideas mulai dari awal dengan merubah beberapa hal yang sudah menjadi kesepakatan bersama pengurus dan anggota-anggota LPMS-Ideas sebelumnya. Keberanian saya untuk merubah dan membangun kembali LPMS-Ideas muncul karena saya merasa tidak sendirian dan saya mempunya kawan-kawan yang menurut saya begitu mencintai LPMS-Ideas. Pada akhirnya semua refleksi masa lalu pun mulai dibenamkan dalam budaya dan ke-baru-an yang kami ciptakan. Tapi dalam menjalani ke-baru-an atau mengambil istilah Yasraf dunia yang lain, para awak LPMS-Ideas tidak pernah lepas dari dekadensi, karena semua hal sedikit demi sedikit dipaksa untuk berubah. Selain itu goncangan demi goncangan semakin membuat LPMS-Ideas harus memaksakan diri sebagai organisasi yang benar-benar kuat di dalam.
Ah, tak usah semakin mendayu dan mengutuki diri sebagai yang fana. Semoga ideas semakin keren dengan orang-orang yang keren juga.