“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku.”
Bayangkan jika tidak memilih atau golput adalah suatu hal yang lumrah dalam pesta demokrasi Indonesia. Semuanya akan jadi biasa-biasa saja. Tak mungkin ada perdebatan tentang tidak tersebarnya surat suara dan surat undangan memilih. Tak ada warga yang merengek karena tidak masuk daftar pemilih. Tak ada kegiatan kampanye yang berlebihan dan tentunya pasti tak ada lembaga yang sembarangan mengeluarkan fatwa haram. Tapi sayangnya, Indonesia mungkin adalah negara yang belum lepas dari kebingungan-kebingungan yang diciptakan sejarah. Indonesia yang seharusnya sudah meninggalkan segala bentuk keterpaksaan, malah dalam kenyataannya semakin kelihatan sebagai negara oligarki.
Pesta demokrasi atau pemilihan umum (Pemilu) menjadi sebuah keterpaksaan bagi warga negara Indonesia. Banyak hal yang diatur secara purba dengan adanya fatwa haram tentang warga negara yang tidak memilih. Tapi apakah pemerintah memikirkan nasib warga negara yang tidak bisa menyampaikan suaranya ketika meng-iya-kan fatwa haram golput? Di Rumah Susun Jemondo Puspa Agro, Sidoarjo terdapat banyak warga negara yang ‘dipaksa’ golput. Mereka bisa dibilang dimarjinalkan. Hak mereka dikoyak. Mereka adalah warga Syiah Sampang, Madura yang dipaksa meninggalkan tanah moyang mereka karena konflik agama. Apakah warga Syiah Madura itu berdosa ketika tidak menyampaikan suara mereka dalam Pemilu 2014? Ataukah memang suara mereka tidak dihitung sebagai warga Indonesia? Ataupun dianggap sebagai bagian yang menurut Majelis Ulama Indonesia sebagai yang haram? Lantas di mana Tuhan ketika terjadi permasalahan seperti ini?
Pertanyaan pun menguap begitu saja, tak ada yang sempat menjawab. Tuhan pun mungkin sedang sibuk. Bahkan yang seharusnya menjawab, para calon legislatif dan para petinggi partai. Eh malah para petinggi itu, justru memilih menyibukkan diri dalam penjualan wajah dan janji-janji yang mengarah pada kekosongan belaka. Seperti sebuah film porno Pemilu di Indonesia sebenarnya sudah tuntas ketika pertama kali dimulai, setelahnya tak lebih dari dusta belaka. Sejarah mencatat banyak kegagalan dalam pemilihan. Manipulasi, kolusi, bahkan yang paling parah adalah sekarang. Tentang paksaan yang tidak berdasar.
Lantas apa yang dijadikan dasar ketika warga negara Indonesia dipaksa untuk tetap memilih? Apakah atas dasar wajah besar yang dipampang di pinggir-pinggir jalan? Amplop-amplop yang disebar malam-malam? Ataukah atas nama Tuhan yang sebisa mungkin dieksploitasi untuk alat penggalang suara? Kita sudah lebih dari setengah abad merdeka tapi pembodohan dari para elit politik tetap saja ada. Apakah kemerdekaan hanya diartikan terbebas dari jajahan bangsa lain dan bukan dari bangsa sendiri?