Senin, 11 Agustus 2014

Ramadhan Telah Usai

Ramadhan baru saja usai. aku ingin sekali keliling kampung yang sudah lama kutinggalkan.
Menemui orang-orang agar mereka memaafkanku. Di dalam rumah, aku melihat kedua orang tuaku menjelma sungai. Yang hilirnya tak bisa kutemukan. Bagaimana aku bisa memeluk dan meminta maaf jika kedua orang tuaku telah menjadi arus? Bagaimana aku bisa memegang dan mencium tangan mereka yg telah menjadi air?

Aku berpikir harus terjun ke sungai itu, lalu menerjang arusnya. Tapi aku bukan salmon. Dan salmon tak pernah mau menjadi diriku. Salmon tak pernah merayakan lebaran. Tak pernah saling memaafkan. Orang tuaku tetap menjelma sungai, arusnya semakin deras. Seperti sedang menggoncang pikiranku. Aku kembali berpikir tak mungkin aku melompat dan menerjang arus itu.

Aku bukan seorang yang pandai berenang. Aku sangat yakin. Aku tak mungkin mampu melawan arus seperti salmon. Tapi sungai itu adalah orang tuaku. Yang menjelma saat lebaran. Aku tetap harus memeluk mereka. Dan akhirnya aku tetap memeluk mereka. Lalu aku tenggelam. Biarkan aku tenggelam dalam-dalam. Biarkan aku hanyut di arus sungai yang serupa suara tangisan.

28/07/2014
;di hari raya yang senyap

Minggu, 27 Juli 2014

Ramadhan dan Hal-Hal yang Harus Dipikir Ulang

“Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, menjadi pertanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran ayat 190)

Sore ini keadaan kampung halaman saya begitu tentram. Banyak anak kecil yang bermain di depan rumah, tak terkecuali rumah saya karena kakak saya sudah punya dua anak. Kampung yang terakhir kali saya ingat begitu gersang dan panas sekarang jadi sederet kebun yang nyaman untuk berteduh pada setiap rumah-rumah warga. Berbagai macam tanaman dan bunga, juga jalan yang hampir tuntas dipermak membuat keadaan semakin menyenangkan bagi saya. Senyum warga, tawa anak kecil dan siapa yang tidak suka ada gadis-gadis remaja yang ngerumpi di depan rumah setelah mandi dan berias. Jujur saya menyukai pemandangan itu. Begitu lengkap. Begitu sejuk.

Tapi sore di rumah saya tak pernah berubah, hanya semacam sejarah yang acak seperti kata Foucoult. Sore ini ketika menulis, bapak dan ibu saya sedang duduk santai di depan rumah dengan obrolan yang selalu sulit saya mengerti. Padahal besok sudah hari raya, tak ada hubungannya sebenarnya tapi anggap saja kalimat ini tak penting.

Sore ini adalah akhir bulan ramadhan, tapi obrolan bapak dan ibu saya sepertinya sama sekali tak ada hubungannya dengan bulan ramadhan. Mereka sedang asik membicarakan pengaruh Pemilihan Presiden (Pilpres) dan invasi Israel terhadap Palestina. Tak aneh memang jika mereka membicarakan topik itu, karena keduanya sampai sekarang masih hangat bagai gedang goreng yang baru diangkat dari penggorengan. Tapi untuk ukuran orang tua dengan umur kurang lebih 60 sampai 70 tahun yang sedang tinggal di desa, tak terjamah konflik dan notabene tak terkena pengaruh yang signifikan, mengapa orang tua saya memikirkannya?

Saya tak mau ikut dalam lingkaran pembicaraan kedua rang tua saya. Saya tak pandai mencairkan suasana obrolan orang tua, kecuali kalau mereka punya tingkah laku seperti saya. Tapi saya masih heran mengapa mereka lebih memilih membicarakan Pilpres dan Gaza daripada pembicaraan tentang baju baru, jajanan apa yg harus dihidangkan besok dan tetek bengek tentang hari raya lainnya. Atau obrolan tentang saya yang sama sekali tidak dibelikan barang baru, entah baju atau apa. Tapi tak apalah masih ada baju yang lama.

Terdengar ibu saya nyeletuk “tapi kabeh kok kejadian nang wulan poso yo..” sembari menyisir rambutnya yang semakin memutih. Pada akhirnya saya sadar juga, konteks pembicaraan mereka bukan Pilpres dan Gaza sebenarnya. Tapi kejadian yang terjadi di bulan puasa kali ini. Ibu saya memang pencerah.

Entah sengaja atau tidak, memang banyak sekali hal-hal yang terjadi di bulan ramadhan. Piala Dunia, Pilpres, Invasi Israel ke Gaza dan beberapa hal kecil yang lain. Dan beberapa hal yang terjadi bebarengan dengan bulan puasa ini saya rasa menuai banyak kontroversi.

Piala dunia semisal. Brazil bisa dibilang sukses menjadi tuan rumah event empat tahunan itu. tapi ada beberpa kontroversi yang muncul. Banyak yang menyoroti masyarakat pinggiran Brazil yang hidup di lingkungan kumuh dan kurang terurus oleh pemerintah. Saya jadi teringan film City of God. Film yang berlatar di sebuah daerah pinggiran di Brazil. Film tentang kemiskinan, kekerasan dan kekumuhan yang terjadi di Brazil. Juga tentang perjuangan anak-anak kecil Brazil melewati hidup yang banal.

Lalu invasi Israel ke Palestina. Sudah berapa tahun dua negara ini bertikai dan sudah berapa orang yang jadi korban, entah saya tak tahu persis. Tapi perang antara Iserael dan Palestina kembali memanas ramadhan ini. Israel di kebanyakan orang dilambangkan sebagai yang jahat dan Palestina sebagai korbannya. Selalu seperti itu, tentang agama dan beberapa hal yang berbau teologi lainnya disangkut pautkan dengan pertikaian ini.

Sepasukan hiperbola tentang Bani Israel datang, kemudian semakin luas dan hampir seluruh dunia terbawa bahwa konflik Israel dan Palestina adalah konflik islam dan yahudi. Konsensus dibentuk tanpa kesepakatan. Yahudi jahat dan Islam jadi korban. Padahal sebagian masyarakat Palestina adalah yahudi dan begitu sebaliknya, di Israel masyarakat muslim bisa hidup dengan bebas.

Kemudian Pilpres yang sampai sekarang masih hangat pemberitaannya. Presiden sudah terpilih tapi masih ada yang tidak terima. Gugatan dilayangkan oleh pihak yang menganggap ada kecurangan dalam Pilpres 2014 yang memenangkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Barang bukti dikumpulkan dan gembar gembor penggugat bagai krakatau yang meletus, tapi sayangnya sampai sekarang tak menghasilkan apa-apa kecuali hanya memperkeruh keadaan.

Sebelumnya, pada masa kampanye pun banyak sekali permasalahan yang muncul. Menurut saya itu membuat kotor pikiran rakyat indonesia. Semua hal dijadikan senjata kampanye termasuk isu SARA yang sangat sensitif di indonesia. Mindset masyarakat dibentuk tanpa takut akan saling sikut. Dan pada akhirnya Pilpres selesai tanpa kekerasan, syukurlah.

Tapi dari ketiga kejadian yang berbarengan dengan bulan ramadhan itu, saya kira kita harus bisa move on dan menggunakan akal yang telah diciptakan oleh Tuhan. Seperti yang tersurat dalam Ali Imran ayat 190 “Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, menjadi pertanda bagi orang-orang yang berakal.”

Tuhan tak mungkin menciptakan akal tanpa menciptakan pula hal-hal yang bisa membuat akal itu digunakan. Maka pada ramadhan ini, tentang Piala Dunia, Israel dan Palestina juga tentang Pilpres tentu sudah diatur oleh Tuhan agar umatnya berfikir menggunakan akal sehat dan bisa segera move on dari kesalah kaprahan yang segaja diciptakan oleh beberapa pihak.


Sore ini obrolan bapak dan ibu saya ditutup dengan meminum es buah dan di akhir tulisan ini saya juga sempat menyeruput es buah. Es buah tak seperti kata yang masih menyimpan keretakan pada beberapa sisinya. Es buah memiliki kepastian; manis dan dingin. Tapi kata tentu masih mempunyai ketidakpastian yang bisa mebuat kita salah jalan. Dengan kata lain, kita harus tetap bisa menggunakan akal sehat kita untuk memaknai sebuah kejadian tanpa terbawa arus yang tercipta. Akhirul kalam, selamat hari raya Idul Fitri dan mari memaafkan diri sendiri.[]

Sabtu, 26 Juli 2014

Agama dalam Bayang-Bayang Negara*

“Tuhan adalah Ketiadaan sepenuhnya
Tak tersentuh Waktu dan Tempat:
Semakin kau tangkap Dia
Semakin ia lepas dari jerat?”

Angelus Silesius, seorang penyair cum mistikus asal salah satu daerah pedalaman Jerman menulis potongan puisi diatas. Angelus mengungkapkan bahwa dunia adalah bentuk kenihilan yang lain melalui puisinya. Nampaknya saat puisi itu ditulis, ia berpijak dari pengalamannya bertemu para pengungsi atas nama perbedaan iman. Seperti yang belakangan ini terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika agama dipersempit, lantas menimbulkan sebuah aforisme yang disebut ‘kebencian’. Kebahagiaan berubah jadi bengis. Frasa ‘kesatuan’ pun luntur. Bahkan nihil.

Mungkin Angelus juga tak lepas dari situasi perang antara kaum Protestan dan kaum Katolik yang berlangsung selama kurang lebih 30 tahun. Beberapa kemungkinan diciptakan agar perdamaian terjadi. Namun perang yang didasari perbedaan iman itu terus berlanjut dan semakin parah. Konflik atas dasar kepercayaan pun tak bisa lepas. Banyak darah, kesakitan, kepiluan, dan tentu kehilangan. Sejarah tentu mencatatnya sebagai sebuah refleksi agar tak ada lagi dendam ketika semua konflik itu berakhir.

Indonesia dengan julukan Negara Seribu Pulau, tentu memiliki banyak keberagaman. Baik dari segi suku, kepercayaan, budaya, bahkan yang paling kecil adalah warna kulit. Barangkali atas dasar itulah Bhineka Tunggal Ika dikukuhkan menjadi pedoman hidup bangsa Indonesia dalam mewujudkan konsep ‘bernegara’.

Keberagaman lah yang membuat Indonesia menjadi negara yang kuat. Seperti yang diungkapkan Bennedict Anderson lewat Imagined Community, yaitu sesuatu yang melebur menjadi satu tapi tetap memiliki sifat majemuk. Sifat majemuk inilah yang harusnya dijaga oleh Indonesia sebagai salah satu kekayaan yang mungkin tidak dimiliki oleh negara lain.

Tapi fakta yang lahir dewasa ini sangat berbeda, perbedaan dianggap sebagai pengusik yang harus segera dilebur. Minoritas harus dihancurkan dan mayoritas semakin merdeka. Konflik atas dasar segala perbedaan pun muncul, atau barangkali sengaja dimunculkan. Pemerintah kesulitan mengambil peran, mereka tersentak lalu hanya terdiam. Apa yang disebut Anderson sebagai Imagined Community semakin tipis dan kepentingan mayoritas semakin diagungkan. Lalu mau dibawa kemana kemerdekaan yang dibentuk atas nama keberagaman?

Konflik Atas Nama Perbedaan Keyakinan

Mungkin yang paling lekat dalam ingatan adalah konflik agama di Indonesia yang sampai sekarang belum juga terselesaikan. Kita ingat Ahmadiyah, Syuni-Syiah, dan yang paling rasial menurut saya adalah pengucilan masyarakat yang mempunyai kepercayaan kedaerahan. Tapi apakah masyarakat minoritas itu mendapatkan hak mereka sebagai manusia dan warga negara Indonesia?

Ahmadiyah adalah kaum minoritas yang dianggap menistakan islam. Tapi apakah mereka benar-benar menistaan agama islam? Apakah dengan dikucilkan permasalahan akan selesai? Barangkali jawabannya adalah ‘tidak’. Pengucilan jamaat ahmadiyah malah akan memunculkan kemungkinan mereka menyimpan dendam dan para penganutnya akan cenderung menyembunyikan identitas mereka sebagai jamaat ahmadiyah. Kemungkinan yang lain adalah para jemaat ahmadiyah akan kesulitan berkomunikasi dengan kelompok lain diluar kelompok mereka, walaupun kelompok lain itu tidak menganggap mereka menyimpang.

Manusia sebagai subjek yang penuh sadar akan dunia akan selalu mempunyai keinginan untuk membentuk sebuah kebahagiaan tunggal bagi dirinya. Tapi seperti yang disebutkan oleh Daniel Dhakidae dalam pengantar buku Imagined Community, Indonesia dalam sumpah pemuda dibentuk sebagai The Holy Trinity atau tritunggal suci yaitu bahasa, bangsa dan tanah air. Dari situ terlihat bahwa Indonesia bukanlah kelompok yang intoleran. Bagaimana kesepakatan sumpah pemuda menjadikan Indonesia yang beragam menjadi satu demi kebaikan berkehidupan dengan berbagai perbedaan dan pertimbangan yang matang.

Tapi semakin kesini perbedaan tampak sebagai yang banal dan mengancam. Beberapa kelompok yang berkepentingan dengan mudah membelokkan norma dan menjadikan gagasan mereka menjadi sesuatu yang universal, yang harus di amini oleh semua orang. Tapi  gagasan yang universal menurut Derrida, tidak selamanya harus menyingkirkan yang partikular. Maka kepercayaan lokal—yang tertanam turun temurun, adalah yang partikular. Disinilah nilai keberagaman lahir dan harus dihargai.

Seperti halnya agama di Indonesia, kelompok agama mayoritas seperti ingin menghilangkan yang partikular. Tapi bukankah Tuhan adalah Ketiadaan sepenuhnya dan Tak tersentuh Waktu dan Tempat. Setiap manusia punya hasrat dan kerinduan spiritual yang berbeda dan tak terbahasakan kepada illah. Sempat ketika saya sedang nongkrong di warung kopi bersama salah seorang teman, ada beberapa pemuda yang sedang membicarakan tentang konflik Syiah-Sunni di Sampang. Salah seorang dari mereka berbicara tentang bagaimana kelompok Syiah beribadah tanpa menghadap Ka’bah dan menganggap hal itu merupakan sebuah penyimpangan.

Lantas seperti apa yang tidak menyimpang? Kalimat itu yang langsung muncul dalam pikiran saya ketika mendengar obrolan beberapa pemuda itu. Dari beberapa sudut pandang, adakah kebenaran tunggal? Bukankah perbedaan itu wajar ketika ada beberapa sudut pandang? Apakah ada sudut pandang lain yang harus dikoyak. Dimarjinalkan? Lantas dimana lagi keberagaman harus dijunjung?

Ada lima agama yang diakui oleh kementrian agama di Indonesia, tapi apakah kepercayaan-kepercayaan lain di luar lima agama itu harus dikesampingkan atau dihapuskan? Ada banyak sekali kepercayaan lain di luar agama yang belum diakui oleh negara. Bahkan di setiap pulau mempunyai kepercayaan tradisionalnya masing-masing, yang bersifat taken for granted dari pendahulu mereka.

Saya jadi teringat salah satu kalimat yang diucapkan oleh Derrida, “je ne sais pas, il faut croire”. Dalam kalimat itu derida mengungkapkan bahwa iman tak bisa dibahasakan atau dilihat secara umum. Iman hanya ada di dalam diri masing masing individu sebagai the wholly other yang tidak terterjemahkan. Bahkan melampaui pengetahuan.

Tapi sayangnya di Indonesia otoritas beragama dan berkeyakinan masih didominasi oleh aparatur negara. Bukan dipegang oleh individu-individu yang mempunyai imannya masing-masing. Barangkali Indonesia masih terjebak dalam zaman kosong sebelum renaissan di eropa dulu. Pada zaman itu gereja punya otoritas penuh atas apa yang dilakukan oleh para penduduknya. Gereja dianggap perlambangan tuhan yang bisa mengatur segala aspek kehidupan manusia. Tapi sepertinya yang terjadi di Indonesia sekarang lebih lunak atau bisa jadi lebih jahat. Kenapa saya mengatakan bisa jadi lebih jahat, karena sudah banyak konflik atas nama perbedaan kepercayaan yang dipenuhi darah, bahkan sampai merenggut nyawa manusia.

Sebuah Tawaran Baru Beragama

Barangkali ada sentimen besar, yang memicu terjadinya berbagai konflik agama di Indonesia. Atau mungkin juga konflik itu dipicu oleh kepentingan kelompok tertentu. Yang pasti saya belum bisa menjawabnya. Tapi Al-Fayyadl mungkin sudah bisa dibilang menemukan jawaban tentang sentimen yang timbul di Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul Derrida, Fayyadl menuliskan tentang ‘agama tanpa-agama’ yang dipikirkan oleh Derrida. ‘Agama tanpa-agama’ menurut Derrida ini tentunya bukan agama dalam pengertian yang harfiah dan konvensional.

Seperti yang ditulis oleh Fayyadl, ‘agama tanpa-agama’ tidak menafikan hadirnya institusi agama yang sudah ada dan sudah membuat sejarah, dalam hal ini Indonesia punya Kemnetrian Agama (Kemenag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). ‘Agama tanpa-agama’ lebih merupakan undangan menuju keberagaman baru dan bagaimana mencapai yang Illah dengan ketidakmungkinan yang berbeda-beda. ‘Agama tanpa-agama’ hanya ingin membebaskan pengalaman religius kita dari keterbatasan yang dibentuk oleh tradisi atau institusi agama, karena menurut Derrida tak ada iman yang selesai. Iman akan selalu berproses tanpa ada akhirnya.

Indonesia sebagai negara yang dibentuk dari keberagaman tentu seharusnya memberikan kebebasan terhadap pengalaman religius warganya dan menjaga agar tidak ada lagi konflik atas nama perbedaan. Keberagaman, entah itu dalam aspek kepercayaan dan budaya memang harus dijaga. Agar kalimat yang dicengkram burung garuda sebagai lambang negara Indonesia tidak ternoda. Dalam hal ini tanggung jawab yang besar ada pada pemerintahan Indonesia.

Saya kira warga Indonesia sangat mencintai keberagaman beragama dan dalam keberagaman menurut saya tidak akan ada kebenaran tunggal. Seperti yang ditulis Angelus bahwa Semakin kau tangkap Dia sebagai Tuhan atau kepercayaan, maka Semakin ia lepas dari jerat?, semakin kita tidak akan menemukan titik temu keberagaman. Maka jika saya ditanya apa agama saya, maka saya akan menjawab: “Agama saya adalah keberagaman.”[]

*) dimuat di Kolom LPMS Ideas tanggal 5 Juni 2014

Rabu, 25 Juni 2014

#3

Wanitaku,

Entah kenapa aku merasa ini adalah cinta yang sangat berharga. Banyak sekali tembok yang harus kulewati dan kuhancurkan tanpa sisa. Tembok yang sangat kokoh. Tapi aku tak pernah menyerah untuk mencintaimu. Itulah yang membuatku yakin bahwa ini bukan sekedar cinta monyet dua remaja. Mungkin setelah ini kau juga akan merasakannya.

Kamu sudah khatamkan buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu kan? Puthut begitu pintar bercerita tentang kesakitan juga cinta dalam bukunya itu. Dia meracik pengalamannya mempertahankan cinta, menjadikannya cerita yang nyaman kita baca. Mungkin aku pun seperti itu, tapi sayangnya aku bukan seorang sastrawan atau penulis handal. Aku hanya lelaki yang dididik oleh kesakitan dan belum menemukan penghujung yang entah. Tapi dari situ aku belajar mencintai. Mencintai secara tulus. Ditinggalkan dengan tulus. Juga menerima semua dengan tulus.

Kadang aku berpikir, kenapa dari dulu aku tak bisa menjadi lelaki yang tegas. Apalagi dalam hal mencintai. Aku begitu menghargai cinta. Dan aku juga pernah merasakan nyeri akibat cinta. Tapi sekarang aku mencintaimu sebagai yang ‘ada’. Sebagai puisi yang tidak akan pernah aku tuntaskan. Sebagai lembar-lembar halaman yang padanyalah hidupku akan menggoreskan nasib. Juga sebagai wanita yang semoga saja menjadi wanitaku yang sesungguhnya; istriku. Semoga Tuhan menjawab doaku ini. Doa hamba yang tak jarang menyepelekannya.

Aku menulis surat ini pada dini hari yang dingin, suasana ruangan yang dingin dan wajahku yang mungkin dalam pengelihatanmu juga dingin. Aku sedang tidak mempermasalahkan apapun tentang kita. Walaupun aku tahu ada yang sedang tidak baik-baik saja. Tapi aku mencintaimu dan aku percaya bahwa kau juga mencintaiku. Aku hanya sedang rindu bada Ibu. Perempuan yang tak pernah terluka karena tingkah anaknya. Perempuan dengan kasih yang sangat tulus.

Aku rindu pada Ibuku. Jadi ketika kau menatapku tak usahlah berfikir bahwa aku sedang marah atau bersedih. Aku hanya terjebak rindu. Mungkin aku juga akan seperti ini jika rindu kepadamu. Pada wanita yang padanyalah cinta ini aku curahkan.

Suara Cristabel Annora yang menyanyikan Desember milik Efek Rumah Kaca sedikit membawa ketenangan padaku. Juga ditambah bayangan gurat senyummu yang masih aku simpan dalam ingatan. Aku tak ingin mengutip puisi atau lagu lagi dalam surat ini. Aku hanya ngin membiarkan semua yang ada dalam pikiranku sekarang tumpah pada baris-baris surat ini. Aku hanya ingin membaginya dengan wanita yang memutuskan menjalin hubungan denganku. Menjadi wanitaku dan mencintaiku.

Sebelumnya sempat terpikirkan olehku untuk menyerah. Menyerah pada nasib yang begitu kejam. Menyerah pada tembok-tembok yang begitu kokoh. Menyerah pada waktu yang serupa belati, juga masa lalu yang selalu kau nanti itu. Tapi aku tak bisa lepas mencintaimu. Sakit menyingkir karena keyakinan diri bahwa mencintai itu menyenangkan. Lalu semua kembali seperti biasa walaupun kau masih menyimpan beberapa hal lain. Aku tahu itu.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada yang kita sebut cinta. Aku hanya ingin mencintaimu tanpa memikirkan masa lalumu. Juga ketakutanmu mencintai kembali masa lalumu yang tanpa sadar aku begitu mengagumi hal itu. Aku tak hanya mencintaimu. Aku mengagumi beberapa hal yang kau miliki. Keluguanmu. Keceriaanmu. Matamu yang padanyalah aku menemukan penerjemah luka. Keseharianmu. Juga keteguhanmu, walaupun kadang kala kau tak bisa menyembunyikan kekalutan dan mendung pada wajahmu itu.

Aku tetap seorang lelaki yang sial. Tapi aku terus belajar. Belajar mencintai seorang wanita yang kuat dengan menjadi laki yang kuat juga tentunya. Dan aku selalu berharap ada keterbukaan antara kita. Karena ketika kita saling terbuka, mungkin kekuatan yang lain akan muncul. Kita tak perlu bersembunyi. Kita diciptakan sebagai makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan makhluk lainnya. Tapi aku tak mau memaksamu. Aku tak akan memaksamu lagi walaupun hanya agar kau sudi memakai jaket demi kesehatanmu. Mungkin aku hanya menyuruhmu sekali saja, entah kau akan lakukan atau tidak.

Mengapa pagi ini aku teringat momen dimana aku menghampirimu ke depan Indomaret ketika hujan dulu. Ketika itu aku merasa kita sedang berada pada posisi yang sangat renggang. Walaupun kita hanya terpaut jarak beberapa sentimeter saja. Kita berbicara tentang cinta saat itu. Juga bercerita tentang masa lalumu. Ketika itu aku bercerita tentang masa lalumu yang tidak lain adalah temanku.

Aku bercerita tentang temanku yang pernah membawa wanita lain ke kamarnya. Wanita yang bukan kekasihnya, karena yang ku tahu kaulah kekasihnya saat itu. Kau hanya tersenyum dengan tatapan kosong.  Tapi aku heran, rasa cintaku saat itu semakin bertambah. Kau bukan seorang perempuan pendendam, itulah yang membuatku semakin mencintaimu, juga mengagumimu.

Wanitaku, aku mencintaimu. Tanpa tedeng aling-aling apapun.

Aku menghabiskan pagi dengan menulis surat ini. Membuka-buka lagi surat balasanmu. Surat-surat yang mengendapkan cerita kita. Surat yang mungkin berbeda dengan kenyataannya.

Aku menjanjikan banyak hal padamu. Tapi semuanya belum bisa kupenuhi dan pada ulang tahunmu yang ke-19, yang tepat jatuh pada tanggal 19 Januari kemarin, aku tak bisa memberimu apa-apa. Bahkan sekedar ucapan pun aku tak memberikannya padamu. Mungkin kau tak pernah merasakan itu ketika kau mempunyai pacar dulu. Maafkan aku jika tak memberimu momen yang spesial di hari ulang tahunmu. Maafkan aku.

Tapi aku akan berusaha menepati semua janji yang terlontar dari mulut besarku ini. Ah sepertinya sudah waktunya tidur untukku. Karena adzan subuh sudah berkumandang dan aku tidak sadar menuliskan surat ini di hari valentine. Aku tak pernah merayakannya, tapi apa salahnya menghormati perayaannya? Maka di hari yang kata orang kebanyakan adalah hari kasih sayang ini aku ingin mengatakan padamu. Kalimat yang mungkin sudah terlalu sering kau dengarkan dan kau baca; Aku Cinta Padamu. Dan sekali lagi maafkan aku tak bisa memberikanmu apapun di hari kematian pendeta Valentino ini.

Dengan segenap rasa cinta,

Lelaki tengik

Senin, 23 Juni 2014

#2

Wanitaku,

Ketika kutulis surat ini, seorang teman di luar sedang memainkan Hey Jude milik The Beatles. Lagu itu tak sengaja melambungkan anganku padamu. Aku kutipkan dua baris liriknya untkmu;

“Hey Jude, don’t make it bad
Take a sad song and make it better”

Kau tentu tahu arti dua baris lirik itu kan? Dan tentunya kamu paham mengapa aku mengutip lirik itu. Semuanya karna kekalutanmu, juga airmata itu.

Tadi pagi aku mendapatkan surat balasan darimu. Kubaca berulang-ulang surat itu. Kubaca sekali, dua kali dan kubaca lagi tanpa sadar ada senyum muncul di mukaku. Lalu aku menulis surat ini sembari tersenyum. Aku tak lagi menulis surat dengan ditemani hujan. Tapi aku menulis surat ini dengan hangat sisa pelukan kita. Sebenarnya ada sedikit rasa takut dan malu ketika aku memelukmu. Aku gugup. Aku tak tahu harus mengucap apa. Sekejap waktu seperti berhenti, lalu hangat menyelusup ke seluruh tubuh. Aku baru pertama kalinya mendapat pelukan dari seorang wanita, kecuali ibuku.

Dalam remang dimana aku menulis surat ini, aku juga masih mengingat jelas senyummu. Aku seperti tak menemukan lagi kekalutan di raut mukamu. Malam itu, ketika kita bertemu adalah malam yang genap. Kita memulai pertemuan dengan mengejar matahari yang segera tergelincir di barat. Kita berdua tersenyum melihat kanvas senja itu. Senja yang selalu ranum di ingatan kita berdua.

Tapi aku tahu kau menyembunyikan sesuatu saat itu. Senyuman itu masih belum sempurna. Kau seperti mengutuki hari itu karena kau dipaksa mengingat masa lalu. Tapi ingatlah apa yang kukatakan, biarlah semuanya mengalir. Aku ingin melihatmu selalu tersenyum. Aku ingin kau selalu ceria. Dan aku akan selalu mengusahakan itu. Karena aku telah jatuh, aku jatuh. Jatuh cinta kepadamu.

Oh iya, tentang pertemuan pertama kita. Saat itu aku mengenalmu sebagai seorang wanita yang beruntung memiliki seorang pasangan. Dan aku selalu bahagia jika orang disekitarku bahagia. Ya, temanku yang dahulu adalah pasanganmu.

Di luar lagu yang dimainkan temanku berganti. Berdua Saja yang didendangkan oleh Payung Teduh. Dan aku ingat, lagu itulah yang menemani percakapan hangat kita malam itu. Setelah ini perlahan kita akan membangun ruang dimana kita punya tempat untuk bersama. Ruang yang kita sepakati sebagai cinta.

Tapi ingat, aku tidak akan pernah menopangmu, memapahmu atau menggendongmu. Aku hanya akan menggandengmu. Kita akan berjalan beriringan menelusuri setiap jalan yang ada. Entah berkelok. Jalan setapak. Jalan lurus bahkan jalan yang terjal sekalipun.

Pada titik ini aku butuh tempat berteduh, dan itu adalah kau. Semua kenangan masa lalu sudah kurapikan dan kusimpan dalam kotak ingatan. Aku tak mau membuangnya. Karena lupa adalah bagaimana kita mengingat sesuatu tanpa merasakan bahagia dan sakitnya yang pernah kita jalani. Kau bukan bayangan dari siapapun. Kau adalah tempat dimana sauhku akan kulempar.

Aku memilihmu karena pada mulanya adalah cinta, kemudian perjalanan dari hati ke hati. Barangkali jika kau tanyakan lagi mengapa aku memilihmu, aku tidak akan menjawabnya tapi aku hanya akan menggenggam erat tanganmu sembari memandang matamu. Lalu kau akan temukan sendiri jawabannya.

Aku begitu menyukai hujan, kau tau kenapa? Bukan karena kenangan. Aku menyukai hujan sedari kecil. Sebelum aku mengerti apa yang disebut orang-orang sebagai cinta. Aku menyukai hujan karena trauma masa kecilku. Trauma tentang beberapa  pukulan yang pernah mendarat di tubuhku. Trauma tentang sungai di mata ibuku. Dan pada saat itu hanya hujan yang membuatku tenang. Hujan juga menghapuskan trauma itu, walaupun pada akhirnya akan datang trauma yang lain.

Aku selalu ingin mencipta sejarah baru tentang hujan. Dan aku inin membuat sejarah bersamamu, juga hujan. Agar kau tak lagi takut tentang kehilangan, juga keterpurukan. Aku ingin memulai semua bersamamu. Hanya bersamamu yang memberanikan seorang laki sial ini mengucap kata cinta.

Malam itu akan segera awet dalam surat ini. Malam yang begitu menyenangkan. Tapi apakah kau benar-benar menerimaku? Entahlah, matamu berkata iya. Semoga saja tebakanku benar.

Aku akhiri surat ini dengan alunan suara Cholil Mahmud. Dia sedang menyanyikan lagu Jatuh Cinta Itu Biasa Saja;

“Jika jatuh cinta itu buta//berdua kita akan tersesat// saling mencari di dalam gelap// keduamata kita gelap// lalu hati kita gelap, hati kita gelap// lalu hati kita gelap”

Tertanda dan terucap sayang,

Lelaki tengik

Minggu, 22 Juni 2014

Malam

Perempuan itu
menyeruput sesuatu dalam gelas
lalu matanya menyipit
“Kenapa?”

“Rasanya seperti kopi.”

#1

Dear Perempuan..

Kutulis surat ini dalam sepetak kamar kosong dan gelap, tempatku menguapkan angan tentangmu. Diluar sedang hujan. Sangat deras dan aku suka itu.

Entah apa yang sedang kau lakukan disana. Apakah kau masih merajut kalut? Apakah kau masih mencoba menyingkirkan kenangan? Ataukah kau sedang mendengarkan senandung Is Payung Teduh?

Aku tulis surat ini seperti sungai yang mengalir lembut. Seperti perasaanku ada pada setiap kata yang aku tuliskan. Kulihat hujan di luar semakin lebat. Kubayangkan juga wajahmu membayang dalam derainya. Hari ini mungkin kau tidak lagi mengutuki matahari seperti biasanya. Karena hujan selalu membawa ketenangan. Bukankah begitu?

Hujan tak pernah senyinyir manusia. Hujan tau kapan dia harus datang dan kapan dia harus pergi. Hujan juga memberi kita ruang untuk berkontemplasi, ruang berteduh juga ruang untuk bersama dalam sebuah situasi. Dan aku masih menunggumu, seperti pelangi setia menunggu hujan reda.

Aku bisa saja mengirimu pesan singkat, tanpa berbelit-belit menulis surat seperti ini. Kita membuat janji untuk bertemu dan kita akan berbicara. Begitu mesra. Begitu lama. Seperti malam itu, masih ingatkah kau dengan malam itu? Malam dimana kau sandarkn kepalamu di bahuku. Begitu manja. Begitu hangat dan aku selalu inin hal itu berulang. Tapi, izinkanlah kali ini kutulis surat ini untukmu. Karena keinginan ini sungguh-sungguh menguasai hatiku. Keinginan untuk menjadikan suatu hal sebagai yang abadi. Walaupun hanya keinginan, tapi bukankah semua oreng boleh berkeinginan walaupun untuk hal yang sepele pun.tapi kadah hal sepele itulah yang akan menjadi indah. Seperti senja yang selalu sebentar menyapa kita, tapi dia membekas.

Masih ingatkah pertama kali kita bertemu? Di sebuah ruang di bagian dunia yang begitu ramai dengan obrolan para remaja. Saat pertama kali melihatmu waktu dihentikan oleh senyum kecilmu. Aku tak tahu maksud senyum itu tapi kubalas juga dengan sungging senyum bibirku. Lantas selanjutnya kita hanya berkomunikasi lewat media sosial. Tempat dimana jarak adalah waktu yang tak tercatat, dimana kita tak bisa saling sentuh. Hanya bisa meluapkan segalanya lewat frasa demi frasa penuh perasaan.

Berulang kali aku jatuh dan bangkit dan secara perlahan kita dipertemukan lagi oleh waktu. Atau barangkali Tuhan sengaja memberikan sebuah takdir pertemuan dan perpisahan yang lain kepada kita? Perlahan kita bangun pertemuan demi pertemuan. Perbincangan demi perbincangan dan hal-hal yang bisa membuat kita tertawa bersama.

Aku mencoba menebak kau yang sekarang; seorang wanita yang kuat. Tapi semuanya salah. Kau kembali terjatuh. Kekalutan berkelindan. Wajahmu layu tapi beruntunglah aku tak ada sungai di matamu. Chairil pernah menulis dalam puisisnya ‘hidup adalah kesunyian masing-masing’. Kita tak bisa meramal hidup. Selalu ada luka dan bahagia. Seperti hujan, kadang dia ditunggu dan kadang dia begitu tidak diinginkan.
Entahlah kenapa hatiku mengatakan bahwa aku sedang jatuh, iya sedang jatuh. Bukan jatuh dengan pengertian harfiah. Tapi jatuh yang lain, jatuh yang membuatku selalu tersenyum, jatuh yang menjadi keinginan.

Sepertinya ada banyak hal yang berubah darimu. Banyak yang kau sembunyikan. Tapi malam itu senyumu menjawab semuanya, juga ketika kau menggigit bibirmu aku rasa semuanya sudah cukup. Semuanya harus diungkapkan walaupun aku tak tahu akhir seperti apa yang menungguku. Sedari kecil aku dididik dengan luka. Sampai akhirnya aku tak lagi takut terluka dan sakit. Saat ini aku sedang jatuh cinta, kepadamu.
Barangkali kita tak usah terlalu peduli dengan apa yang mengelilingi kita. Biarkan semua berjalam menemani waktu. Juga pertemuan kita, biarkanlah ini berjalan walaupun kita tidak ingin ada yang terluka, tapi itulah hidup.

Inilah suratku, surat seorang laki yang sial yang sedari kecil berjalan dan selalu tersungkur karena keluarga yang hampir hancur. Ah tak usah kuceritakan kepiluan di surat yang menyenangkan ini. Kita berdua, kita tak akan pergi kemana-mana. Percayalah kita akan hidup di dunia yang masih dibalut hujan dan senja. Percayalah!

tertanda dan terucap sayangku padamu.

lelaki tengik

Jumat, 06 Juni 2014

Sadar

Hari ini saya bangun pagi, jika tidak salah sekitar pukul 08.40 WIB itu masih pagi betul menurut saya. Di samping saya ada Dani yang masih memejamkan mata dan raut mukanya seperti kurang sehat. Entah tubuh atau psikologinya yang sedang kurang sehat. Setelah beberapa menit mencoba mengumpulkan kesadaran yang tadi malam saya lepas untuk sementara, akhirnya saya memutuskan untuk duduk di depan pintu sekretariat. Ya, sekretariat Ideas. Tadi malam saya tidur di sekretariat Ideas, sebuah ruangan yang mengajarkan saya tentang kehidupan yang banal. Lalu mencuci muka tanpa sikat gigi juga di kran depan sekretariat.
Tiba-tiba saja perut saya mulai manja, memaksa saya untuk segera mengisinya. Saya melihat Dani masih terkapar tidur, masih dengan muka yang kurang sehat. Tapi pada akhirnya saya pun membangunkan dani dan mengajaknya makan. Setelah kenyang kami memutuskan untuk bersantai sembari menghisap beberapa kretek di sekretariat.
Setelah dzuhur Dani pun meninggalkan sekret untuk mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Ah entah kenapa seorang pemuda revolusioner seperti Dani masih mau mengikuti UAS. Tapi entahlah, mungkin dia masih berpikiran bahwa kuliah ini bukan media belajar tapi media mencari ijasah dan pencitraan sebagai sarjana. Karena beberapa kali saya ngobrol dengan Dani tentang kuliah dan dia menurut saya berpikiran praksis. Dani berpikiran bahwa dia masuk kelas dan mengikuti kuliah serta ujian itu hanya untuk formalitas saja. Dia lebih suka dan lebih nyaman belajar di luar tanpa sekat-sekat yang ditentukan oleh pihak akademik kampus.
Saya pun sempat berpikiran sama seperti Dani, tapi hidup tak melulu tentang membedakan dan menyamakan sesuatu bukan. Tapi sampai sekarang saya masih tetap memegang teguh bahwa apa yang diberikan di perkuliahan tidak lebih baik daripada obrolan di warung kopi atau diskusi-diskusi kecil di emperan jalan. Saya selama ini masih merasa bahwa dosen yang mengajar itu hanya bersifat memberi, bukan bersifat komunikatif karena saya beberapa kali diusir dari kelas karena mempunyai pemikiran yang berbeda dengan dosen itu.
Seperti sistem di Brazil yang dikritik oleh Paulo Freire. Anak didik diibaratkan sebagai sebuah gelas yang digunakan untuk menampung segala rumusan atau dalil pengetahuan. Para anak didik tidak dianggap sebagai individu yang dinamis dan punya pemikiran yang bebas dan dalam posisi seperti ini pengajar lah yang diuntungkan. Karena semakin banyak isi yang dimasukkan kedalam gelas oleh pengajar, maka semakin terlihat pintarlah si pengajar dan semakin patuh anak didik maka semakin dijunjunglah dia.
Apa yang terjadi dan coba dikritik oleh Freire itu malah menurut saya semakin masiv di sekitar saya. Bagaimana para mahasiswa mencoba mendekati dosen dan menuruti apa saja yang dosen perintahkan, tanpa memikirkan itu rasional atau tidak. Seperti yang pernah saya alami, salah satu dosen memberikan tugas membuat cerpen 50.000 kata. Saya tercengang dan secara logika menolak untuk mengerjakan tugas yang tidak khayal itu. Sayangnya teman-teman saya hanya mengeluh dan masih mau saja mengerjakan tugas itu. Aneh kan?
Pada posisi seperti itu saya ingat apa yang disebut Freire sebagai kesadaran manusia, salah satunya adalah kesadaran naif. Menurut Freire kesadaran naif ini muncul ketika sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif. Jika dilarikan ke kondisi di sekitar saya maka kesadaran naif ini muncul ketika mahasiswa menjilat dosen agar mendapatkan nilai yang bagus atau demi kepentingan personal mahasiswa itu sendiri. Selain itu mahasiswa yang ada di sekitar saya juga lebih suka menerima yang instan tanpa memunculkan dialektika. Dan yang lainnya seperti berdebat tentang permasalahan kuliah dibelakang pengajar, itu juga bisa diidentifikasi sebagai kesadaran naif.
Lantas esensi pendidikan sebenarnya apa? Apakah sebagai sarana penyadaran atau sarana pembebasan berpikir? Saya kira pertanyaan ini sulit dijawab ketika kebanyakan mahasiswa hanya mampu menerima atau yang disebut Freire sebagai kesadaran kritis transitif belum muncul.
Ah entahlah, padahal saya sekarang sedang cuti kuliah tapi kenapa saya masih memikirkan kehidupan kampus. Malang sekali nasib saya. ketika menulis ini saya sedang rapat redaksi bulletin, Winda sedang memimpin rapat, Dani sedang bermain korek, Fyruz sedang jadi notulensi dan entah apa yang sedang dilakukan Nurul dengan tisu dan bolpoint yang ada di tangannya. Semoga beberapa mahasiswa yang sedang bersama saya sore ini segera sampai pada kesadaran kritis transitif agar kegelisahan yang dibawa oleh Freire tidak mengganggunya di akhirat sana.[]

Kamis, 05 Juni 2014

System Of A Down dan Pengaruh Emosi Dalam Musik


Suatu saat, ketika saya sedang dalam keadaan galau maksimal, salah seorang teman saya memutarkan sebuah lagu yang aroma musiknya tidak asing bagi saya. Kemudian dengan nada suara  parau dan sedikit mengejek dia berkata “Daripada kamu mikir cinta yang macam tai kucing, mending kamu dengerin lagu ini.” Sembari meletakkan gelas bir yang baru saja menempel di bibirnya, teman saya itu kembali melanjutkan kalimatnya. “Lebih baik kamu memikirkan yang lebih penting macam pembantaian besar-besaran bangsa Armenia yang diceritakan lagu ini. Kegalauanmu bakal lebih berguna dibandingkan memikirkan wanita yg tidak aka nada habisnya.” Saya diam dan mencoba untuk mendengarkan dengan cermat lagu yang diputar oleh teman saya itu.
Akhirnya saya tahu, lagu yang diputar teman saya itu adalah lagu milik System Of A Down (SOAD) yang berjudul Holy Mountain. SOAD  adalah sebuah band yang memadukan musik underground trash metal dan musik alternative rock. Banyak pengamat musik mengatakan SOAD telah menciptakan aliran musik sendiri yang sangat unik, keras, tapi enak didengar1.
Akhirnya saya pun mengamini apa yang diungkapkan oleh teman saya dan kegalauan saya pun berputar 180(derajat) dari kegalauan karena cinta menjadi kegalauan karena sisi kemanusiaan. Tapi yang menjadi pertanyaan saya saat itu adalah, kenapa hampir setiap orang bisa begitu menghayati suatu musik dengan menyelaraskan kondisi psikolgis mereka? Misalnya saja, ketika sedang patah hati akan selalu ada lagu melankolis yang mengiringi keseharian kita. Begitu sebaliknya, ketika kita sedang bersemangat tentu lagu penggiring semangat yang akan diputar.
Tapi sepertinya teman saya mencoba merubah presepsi itu dengan mengganti lagu melankolis saya dengan lagu yang bisa membalikkan psikologi saya saat itu. Saya pun tidak lagi galau gara-gara cinta, tapi malah galau gara-gara memikirkan bagaimana musik bisa sangat berpengaruh pada diri pendengarnya. Selain itu saya juga memikirkan nasib bangsa Armenia yang ternyata sampai saat ini masih belum menemukan penyelesaian.

Selasa, 08 April 2014

Tentang Memilih Untuk Tidak Memilih

“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku.” 

Bayangkan jika tidak memilih atau golput adalah suatu hal yang lumrah dalam pesta demokrasi Indonesia. Semuanya akan jadi biasa-biasa saja. Tak mungkin ada perdebatan tentang tidak tersebarnya surat suara dan surat undangan memilih. Tak ada warga yang merengek karena tidak masuk daftar pemilih. Tak ada kegiatan kampanye yang berlebihan dan tentunya pasti tak ada lembaga yang sembarangan mengeluarkan fatwa haram. Tapi sayangnya, Indonesia mungkin adalah negara yang belum lepas dari kebingungan-kebingungan yang diciptakan sejarah. Indonesia yang seharusnya sudah meninggalkan segala bentuk keterpaksaan, malah dalam kenyataannya semakin kelihatan sebagai negara oligarki. 

Pesta demokrasi atau pemilihan umum (Pemilu) menjadi sebuah keterpaksaan bagi warga negara Indonesia. Banyak hal yang diatur secara purba dengan adanya fatwa haram tentang warga negara yang tidak memilih. Tapi apakah pemerintah memikirkan nasib warga negara yang tidak bisa menyampaikan suaranya ketika meng-iya-kan fatwa haram golput? Di Rumah Susun Jemondo Puspa Agro, Sidoarjo terdapat banyak warga negara yang ‘dipaksa’ golput. Mereka bisa dibilang  dimarjinalkan. Hak mereka dikoyak. Mereka adalah warga Syiah Sampang, Madura yang dipaksa meninggalkan tanah moyang mereka karena konflik agama. Apakah warga Syiah Madura itu berdosa ketika tidak menyampaikan suara mereka dalam Pemilu 2014? Ataukah memang suara mereka tidak dihitung sebagai warga Indonesia? Ataupun dianggap sebagai bagian yang menurut Majelis Ulama Indonesia sebagai yang haram? Lantas di mana Tuhan ketika terjadi permasalahan seperti ini? 

Pertanyaan pun menguap begitu saja, tak ada yang sempat menjawab. Tuhan pun mungkin sedang sibuk. Bahkan yang seharusnya menjawab, para calon legislatif dan para petinggi partai. Eh malah para petinggi itu, justru memilih menyibukkan diri dalam penjualan wajah dan janji-janji yang mengarah pada kekosongan belaka. Seperti sebuah film porno Pemilu di Indonesia sebenarnya sudah tuntas ketika pertama kali dimulai, setelahnya tak lebih dari dusta belaka. Sejarah mencatat banyak kegagalan dalam pemilihan. Manipulasi, kolusi, bahkan yang paling parah adalah sekarang. Tentang paksaan yang tidak berdasar. 

Lantas apa yang dijadikan dasar ketika warga negara Indonesia dipaksa untuk tetap memilih? Apakah atas dasar wajah besar yang dipampang di pinggir-pinggir jalan? Amplop-amplop yang disebar malam-malam? Ataukah atas nama Tuhan yang sebisa mungkin dieksploitasi untuk alat penggalang suara? Kita sudah lebih dari setengah abad merdeka tapi pembodohan dari para elit politik tetap saja ada. Apakah kemerdekaan hanya diartikan terbebas dari jajahan bangsa lain dan bukan dari bangsa sendiri? 

Selasa, 01 April 2014

Suka Cita Perjalanan Pra Kongres PPMI di Bali #1

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni, begitu kata Sapardi. Tapi ketika saya dan beberapa teman saya hendak melakukan perjalanan, penanggalan belum menginjak bulan juni. Tapi hujan begitu tabah dan setia menemani perjalanan kami. Hari itu bertanggal 20-an februari 2014, saya dan 3 orang teman saya hendak melakukan perjalanan ke arah timur, tapi kami tidak sedang mencari kitab suci karena kami bukan biksu dan beberapa muridnya. Kami hanya empat orang pemuda yang rawan diserang kesepian.
Empat pemuda itu adalah Saya, Bill, Mas Teguh yang acap kali dipanggil Cetar dan Joko. Tujuan perjalanan kami adalah Pulau Bali, bukan untuk berlibur atau refresing tapi ada misi yang harus kami selesaikan, yaitu menghadiri undangan dari kawan kawan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Bali (PPMI DK Bali).
Perjalanan kami dimulai dari kampus tercinta yang akhir-akhir ini sering menyiksa kami; Universitas Jember (UJ). Sekitar pukul setengah empat saya, Mas Cetar dan Joko berangkat diantar oleh Faiz dan Yudha, tentunya ditemani hujan yang begitu tabah. Kami bertiga sampai di Stasiun Jember dan karena saya bonceng tiga ketika berangkat, tak ayal separuh celana saya basah kuyup. Di stasiun kami dipaksa menunggu dan masih ditemani oleh hujan yang semakin lama sepertinya semakin dibenci orang yang melakukan perjalanan. Kami harus menunggu Bill yang belum sampai ke stasiun karena dia berangkat dari tempat yang berbeda.
Untung saja di stasiun kami masih bisa menikmati wajah manis para calon penumpang kereta. Emosi kami bertiga terhadap bill dan mungkin juga kepada hujan agak mereda. Jadwal keberagkatan kereta kami adalah jam 16.00 WIB dan kurang 10 menit lagi kereta itu akan berangkat, sedangkan kami masih sibuk menunggu Bill. Pesan singkat dan telfon tak mendapat respon dari Bill dan tepat pukul 15.55 Bill datang diantar oleh Toni, puji Tuhan perjalanan kita tidak gagal karena satu orang.

Ideas

Jika waktu adalah lembaran-lembaran kertas yang kosong, tentu perjalanan akan memenuhinya dengan berbagai cerita. Tapi perjalanan selalu layaknya sajak, ada yang ingin diungkap dan ada yang selalu tersembunyi. Bahkan kosong. Setiap perjalanan adalah suatu yang ambigu, yang mempunyai banyak makna, yang dalam setiap fragmennya memunculkan sesuatu yang lain. Layaknya sebuah sajak, di setiap perjalanan tentu kita akan menemukan kemuraman, ketegangan yang berlanjut, kegelisahan yang sulit dihentikan, dan perjuangan yang berat seperti yang diungkapkan Conrad Aiken dalam esainya yang berjudul Puisi dan Pemikiran Manusia.
***
Lembaga Pers Mahasiswa Sastra Ideas yang selanjutnya disebut LPMS-Ideas selalu menjalani hari demi hari dengan perjalanan yang semakin kesini semakin terjal, bahkan sesekali mengulang sejarah yang menurut Foucault selalu acak. Sebagai sebuah organisasi yang setiap hari anggotanya selalu dipaksa untuk berpikir, LPMS-Ideas menjadi organisasi yang memunculkan manusia-manusia yang liyan dari lingkungan sekitarnya ––mungkin setiap LPM akan menghasilkan produk manusia seperti itu. Selain itu LPMS-Ideas juga mencoba untuk menciptakan budaya baru, yang seharusnya semakin dekat dengan keseharian mahasiswa kekinian.Tapi pada kenyataannya LPMS-Ideas semakin tersungkur dan selalu mencoba untuk bangkit dengan tenaga-tenaga yang tersisa. Sampai pada akhirnya tahun 2013 tuntas. Sejarah memang akan berulang, seperti halnya Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilakukan selama 4 tahun sekali. LPMS-Ideas sebagai sebuah organisasi juga harus mengganti nahkodanya seperti Indonesia yang setiap empat tahun sekali mengganti presidennya. Musyawarah Tahunan Anggota (Mustang), begitu kami menyebut proses demokratis itu. Tentu perubahan pemikiran dan segala yang lebih nyaman lah yang kami harapkan.
“Akhir-akhir ini banyak sekali yang terjadi.Tapi aku malas ceritera tentang itu semua.” Begitu yang diungkapkan Gie dalam catatan hariannya yang bertanggal 10 Desember 1961. Seperti itu pula yang sedang terjadi di LPMS-Ideas. Sebagai sebuah keluarga kecil yang bermukin di sebuah bilik berukuran 6X6 meter, beberapa anggota LPMS begitu pandai menyimpan rahasia dan sakit hatinya. Sampai-sampai suatu saat beberapa anggota itu tidak sadar meneteskan bulir airmata mereka yang begitu berharga. Dinamika seperti ini dalam sebuah organisasi memang sulit untuk dihilangkan, kembali kepada Cornad Aiken tentang kemuraman, ketegangan yang berlanjut dan kegelisahan yang sulit dihentikan.Tapi disamping semua cerita yang selalu disembunyikan itu, sepertinya semua anggota LPMS-Ideas tidak pernah luput memikirkan kemajuan organisasi. Akhirnya malam yang bisa saya bilang sebagai malam terbesar bagi LPMS-Ideas pun tiba, setelah 14 bulan yang dijalani dengan terseok-seok akhirnya saya sebagai nahkoda LPMS pun harus digantikan.
Semenjak saya dibaptis sebagai seorang yang harus memimpin LPMS-Ideas, saya pun memutuskan untuk membangun LPMS dan Ideas mulai dari awal dengan merubah beberapa hal yang sudah menjadi kesepakatan bersama pengurus dan anggota-anggota LPMS-Ideas sebelumnya. Keberanian saya untuk merubah dan membangun kembali LPMS-Ideas muncul karena saya merasa tidak sendirian dan saya mempunya kawan-kawan yang menurut saya begitu mencintai LPMS-Ideas. Pada akhirnya semua refleksi masa lalu pun mulai dibenamkan dalam budaya dan ke-baru-an yang kami ciptakan. Tapi dalam menjalani ke-baru-an atau mengambil istilah Yasraf dunia yang lain, para awak LPMS-Ideas tidak pernah lepas dari dekadensi, karena semua hal sedikit demi sedikit dipaksa untuk berubah. Selain itu goncangan demi goncangan semakin membuat LPMS-Ideas harus memaksakan diri sebagai organisasi yang benar-benar kuat di dalam.
Ah, tak usah semakin mendayu dan mengutuki diri sebagai yang fana. Semoga ideas semakin keren dengan orang-orang yang keren juga.


Minggu, 30 Maret 2014

Hari Akhir

Malam yang basah
Kabut yang resah
Kemudian semua kembali pada arah
Dimana semua manusia dihitung sebagai zarrah


12/12/12

Petak Umpet

Tak usah kau bersembunyi
Karena pada ragamu pun
aku tak akan pernah menemukanmu

6/2/13