Beberapa
hari ini saya menerima banyak sekali pesan di handphone saya yang menyerukan permintaan maaf karena sebentar lagi
bulan ramadhan akan datang. Entah apa yang ada di pikiran mereka yang
mengirimkan pesan itu kepada saya, karena saya tidak membalas pesan-pesan itu,
tidak bermaksud untuk menyombongkan diri atau tidak menghormati Tuhan dan
datangnya bulan ramadhan, tapi menurut saya permintaan maaf melalu alat
komunikasi seperti handphone itu
kurang begitu sopan (apabila tidak ada keperluan yang mendesak). Mengapa kita
tidak bilang langsung ketika kita berjumpa. Kemunculan handphone memang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia di abad
ke 20 ini, bagaimana tidak hampir separuh hidup kita tergantung oleh alat yang bisa
“membodohi” kita setiap saat itu. Seperti salah satu teman saya yang mengatakan
bahwa semua rahasianya ada di dalam handphonenya.
Saya
di sini tidak bermaksud membahas alat yang setiap hari kita pegang itu (handphone), tapi saya bermaksud untuk
membahas datangnya bulan ramadhan dengan diiringi oleh pesan-pesan permintaan
maaf di handphone.
Perlukah
permintaan –hanya- sebelum bulan ramadhan tiba? Bukan kah kita setiap hari
perlu mengucapkan permintaan maaf?
Yah,
tradisi meminta maaf sebelum bulan ramadhan ini mungkin sulit untuk di lepaska
untuk pemeluk agama Islam. Tapi apakah tidak menjadi kesalah kaprahan ketika
kita hanya mengucapkan permintaan maaf –hanya-ketika bulan ramadhan datang dan hari
raya idul fitri? Kesalahan itu terus menerus dilakukan setiap tahun tanpa ada
teguran dari siapapun.
Dengan
alasan “kebali ke fitri” kita melaksanakan adat bermaaf-maafan hanya di bulan
ramadhan dan di hari raya idul fitri, padahal kita mungkin bisa saja meminta
maaf sebelum hari itu (hari raya idul fitri) tiba. Tuhan tidak akan menunda belas kasihannya sampai hari raya idul
fitri, karena setiap hari kita di awasi oleh-Nya.
Mungkin
adat bermaaf-maafan setiap hari raya idul fitri dan sebelum ramadhan tiba bisa
kita rubah berawal dari diri kita sendiri, karena minal aidzin wal faidzin bukan hanya milik hari raya saja. Tapi mungkin
kita tidak bisa menghilangkan adat bermaaf-maafan ketika hari raya idul fitri,
tapi kita bisa mengucapkan kata maaf setiap hari kan.
Tak seperti biasanya, jalanan Porong yang biasanya macet hari itu rabu (20/07) lenggang dan lancar tanpa ada gangguan kemacetan. Kemacetan yang biasanya mengganggu perjalanan kita ketika melewati porong memang membuat beberapa orang emosi, apalagi bagi penumpang yang sedang terburu-buru.
Tapi para pedagang asongan dan pedagang keliling seperti mendapat beban yang sangat berat, wajah mereka lesu terlihat tak bersemangat. Ternyata kelancaran lalu lintas membuat pekerjaan mereka terhambat dan penghasilan mereka menurun. “Kalau tidak macet, jualan kita tidak bisa laku soalnya tidak ada kendaraan yang berhenti untuk membeli dagangan kita”. Ujar Pak Nursalim seorang pedagang minuman. Ternyata kelancaran lalu lintas benar-benar berpengaruh terhadap penghasilan mereka sehingga mereka harus bekerja hingga larut malam demi segenggam beras untuk keluarga mereka.
images from google : kemacetan yang biasa terjadi di sekitar porong
Beberapa kondektur bis yang sudah kenal dengan beberapa pedagang asongan juga tak bisa berbuat apa-apa karena mereka harus mengejar setoran bis mereka. Bukan hanya Pak Nursalim yang merasa penghasilan mereka menurun, ada Ibu Wagirah yang harus rela berjualan hingga jam 11 malam agar bisa membeli susu bagi anaknya ketika lalu-lintas di sekitar Porong lancar. “Biasanya kalau macet jam empat sore sudah habis dagangan saya mas, tapi kalu lancar gini yah harus nunggu sampai dagangan habis baru bisa pulang”.
Kelangsungan hidup para pedagan asongan memang tergantung pada laku atau tidak lakunya dagangan mereka, jadi mereka harus merelakan waktu tidur, dan bersantai mereka agar dagangan mereka habis. Kemacetan yang sering terjadi diporong disebabkan oleh perbaikan tanggul semburan lumpur Lapindo. Kemacetan terjadi hampir setiap hari di daerah itu, sehingga mengakibatkan banyak permasalahan seperti : telatnya kedatangan kereta, kecelakaan dan kejadian lalu lintas lainya.
images from google : seorang ibu-ibu yang sedang berjalan di atas tanggul semburan lumpur lapindo
Semburan lumpur yang di akibatkan karena meledaknya pipa gas Lapindo tidak hanya berdampak pada kemacetan di sekitar Porong, tapi juga mengakibatkan rumah-rumah penduduk teggelam oleh semburan lumpur. Protes besar-besaran yang digalang warga dan dibantu oleh Organisasi-Organisasi setempat untuk menyudutkan Bakrie selaku pemilik Lapindo, tapi hal itu hanya membuahkan hasil yang tidak memusaskan karena banyak warga yang mengaku ganti rugi yang diberikan oleh pihak lapindo tidak sepadan dengan kerugian yang mereka derita.
Meledaknya pipa gas lapindo adalah kejadian yang luar biasa di Indonesia, karena sampai sekarang semburan itu belum juga berhenti dan penanggulangan yang dilakukan hanya sebatas membuat tanggul setinggi-tingginya di sekitar pusat semburan.
Semburan lumpur Lapindo tidak hanya menjadi sebuah bencana alam yang merugikan tapi untu beberapa orang yang pintar memanfaatkannya, itu bisa menjadi lumbung uang yang lumayan.
Hari Haran adalah seorang pelajar yang pandai tetapi miskin. Ia ingin ke ibukota untuk mengikuti ujian, tapi ia tidak punya uang. Ia mencoba mencari pekerjaan kesana kemari tidak ada yang menerimanya. Padahal waktu ujian sudah semakin dekat.
Suatu hari dalam perjalanannya mencari pekerjaan, ia melihat seorang laki-laki tergeletak di tengah jalan. Sepertinya ia sedang mengerang kesakitan. Laki-laki itu terluka. Wajahnya berdarah-darah. Tangan dan kakinya lebam-lebam.
“Apa yang terjadi pada Bapak?”
“Aku dirampok, tolong, aduh....” setelah mengucapkan kata-kata itu, bapak tua itu pingsan. Hari Haran yang yatim piatu segera membawanya pulang ke rumah dan merawatnya hingga sehat kembali. Sekarang Pak Krisnamurti, demikian nama bapak itu, itu ingin pulang ke rumahnya.
“Terimakasih anak muda. Siapa namamu?”
“Hari Haran.”
“Hari Haran, sebenarnya aku ini pedagang bakpau. Beberapa hari lalu aku berniat membeli bahan dagangan, tapi aku dirampok. Seluruh anak buahku melarikan diri. Untung kau lewat, jika tidak, mungkin aku sudah mati. Terimalah ini sebagai ucapan terima kasihku,” Pak krisnamurti itu beniat memberi Hari Haran uang, tapi Hari Haran menolaknya.
“Maaf Pak, saya ikhlas menolong, tidak ada keinginan memperoleh imbalan. Sudah kewajiban kita sebagai sesama manusia untuk saling menolong.”
Pak Krisnamurti kagum dengan sikap rendah hati Hari Haran. Ia ingin menjadikan anak muda itu sebagai penjaga salah satu toko bakpaunya.
“Bagaimana kalau kau ikut saja ke ibukota. Kau bisa menjaga salah satunya. Bukankah kau sedang membutuhkan biaya untuk ujian?”.
“Jika bapak mengijinkan, saya akan ikut.” Akhirnya Hari Haran mengikuti Pak Krisnamurti dan diberi amanat menjaga salah satu cabang tokonya yang baru berdiri. Ternyata nama toko Pak Krisnamurti sudah tersohor dimana-mana sehingga orang-orang tidak meragukan lagi kualitas bakpau yang dijualnya. Tapi karena toko yang dijaga Hari Haran masih baru, maka pembelinya belum seberapa banyak. Hari Haran lalu rajin berpromosi dan selalu ramah melayani pembeli yang datang. Ia selalu tersenyum meski kadang ada pembeli yang cerewet. Orang-orang jadi puas dengan pelayanan dari Hari Haran. Tiap hari toko selalu ramai dikunjungi orang-orang yang ingin menikmati lezatnya bakpau. Bahkan orang dulunya tidak suka bakpau menjadi penasaran dan akhirnya mencoba membeli.
Pak Krisnamurti senang sekali memiliki karyawan Hari Haran. Pemuda itu tidak hanya cermat dalam berdagang, ia pun jujur. Tak hanya itu, Hari Haran juga bersemangat tinggi dalam meraih cita-citanya. Jika siang hari ia sibuk di toko, waktu malam ia gunakan untuk membaca buku. Pak Krisnamurti juga tahu, Hari Haran selalu menabung uang upahnya dan tidak berfoya-foya membeli suatu yang tidak ada gunanya.
Tapi sayang, lalu negara di landa krisis moneter. Semua harga naik, BBM juga naik. Orang-orang jadi berhemat dalam belanja. Toko bakpau Pak Krisnamurti pun terkena dampaknya, jadi sepi pembeli. Begitupun toko yang dijaga Hari Haran. Padahal jumlah bakpau yang dijual sudah dikurangi, tetapi ada saja tiap hari yang tak terjual dan akhirnya mubazir basi.
Suatu hari, Hari Haran sedang terkantuk-kantuk di tokonya yang sepi ketika seorang nenek-nenek datang bersama seorang cucunya yang sedang menangis.
“Apakah kau yang bernama Hari Haran ?”
“Iya Nek, kenapa?”
“Kata orang kau sangat baik hati.”
“Ah Nek, biasa saja, Jangan memujiku seperti itu, nanti aku menjadi sombong. Allah tidak suka orang yang sombong. Apakah nenek mau beli bakpau?”
“Ya, cucuku ingin sekali makan bakpau, tapi aku tidak punya uang.” Nenek itu memelas, “Maukah kau memberiku sebuah saja.”
Tanpa banyak bicara Hari Haran segera membungkus 5 buah bakpau dan memberikannya pada cucu si nenek.
“Nah, terimalah adik kecil. Bakpau yang enak isi keju, kau pasti suka.”
“Tidakkah itu terlalu banyak? Apa kau tidak akan dimarahi pemilik toko?
Berapa aku harus membayar”
“Tidak usah bayar Nek. Nenek tenang saja. Anggap saja ini hadiah dariku.”
“Kalau begitu aku bayar pakai ini saja.” Sang nenek mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, ternyata sebuah uang dari kereweng yang dibentuk bulat.
“Anggaplah ini juga hadiah dariku.”
Hari Haran Cuma tersenyum, tapi diterimanya saja uang kereweng dari sang nenek yang segera mengajak cucunya pergi. Sepertinya cucunya sangat senang mendapatkan bakpau yang diinginkannya. Hari Haran segera menyimpan uang dari nenek itu ke tabungannya.
Ternyata keesokan harinya nenek itu datang lagi. Dan lagi-lagi ia meminta bakpau dan menukarkanya dengan uang kereweng. Lusanya pun ia datang lagi. Tiap hari dia datang. Tapi Hari Haran selalu dengan senang hati memberi bakpau padanya meski ia harus mengganti uang pembayaran bakpau dengan uangnya sendiri. Ia sudah cukup bahagia bisa berbagi dengan nenek dan cucunya itu. Dan selalu nenek itu berdo’a untuknya ketika hendak pergi.
“Semoga Allah membalas budi baikmu.”
“Amin.”
Sehingga terkumpullah uang kereweng pemberian si nenek dalam tabungan Hari Haran. Sampai ahkirnya suatu ketika tibalah waktu ujian dan Hari Haran harus pergi mengikutinya. Dengan berat hati ia mengatakan pada si nenek.
“Nek, mulai besok aku tidak berjualan, tapi digantikan orang lain. Aku harus ikut ujian.”
“Tapi apa aku masih boleh membeli bakpau dengan uang kereweng?”tanya si nenek sedih.’Nek mulai besok aku tidak berjualan sementara digantikan orang lain. Karena aku harus mengikuti ujian di ibukota.”
“Apakah aku masih boleh membeli bakpau dengan uang kereweng?”
“Jangan Nek penjualnya bisa marah. Begini saja ini aku ada uang. Nenek pakai saja uang ini untuk membeli bakpau selama aku pergi.” Hari Haran menyerahkan sebagian uangnya tabungannya pada si nenek. Nenek menerimanya dengan gembira.”Nah Nek do’akan aku lulus ya.”
“Tentu saja Hari Haran aku akan selalu mendoakanmu.”
Maka begitulah Hari Haran segera berangkat ke ibukota Dia harus berada disana satu minggu lamanya. Pak Krisnamurti memberinya sedikit uang untuk bekal. Semula Hari Haran menolak tapi Pak Krisnamurti bersikeras, ia berharap Hari Haran bisa lulus dengan nilai yang terbaik. Sementara Hari Haran menitipkan kaleng tabungannya yang berisi uang kereweng pada Pak Krisnamurti.
Setelah seminggu mengikuti ujian tiba-tiba Hari Haran mendengar kabar buruk. Toko bakpau Pak Krisnamurti yang terbesar dilahap si jago merah hingga tak bersisa. Karena sedih memikirkannya, Pak Krisnamurti jadi sakit keras. Mendengar berita itu Hari Haran jadi bingung ia ingin menjenguk Pak Krisnamurti tapi ujiannya baru akan selesai seminggu lagi. Ketika ujian selesai bergegas ia pulang ke rumah Pak Krisnamurti. Ternyata penyakit Pak Krisnamukti begitu parah. Ia sudah berobat kesana kemari tapi belum ada obat yang bisa menyembuhkannya. Demi biaya pengobatan Pak Krisnamurti sudah menjual semua tokonya. Pak Krisnamurti menjadi sangat miskin sekarang.
Hari Haran ingin membantu tapi ia juga tak punya uang. Tabungannya sudah habis untuk membayar biaya ujian. Padahal ia sudah menganggap Pak Krisnamurti sebagai ayah sendiri. Sedih rasanya melihatnya kurus kering tergolek di tempat tidur tak mau makan dan minum.
Hari Haran diberitahu seorang temannya yang juga mengikuti ujian bahwa ada seorang tabib dari negeri seberang yang bisa mengobati segala penyakit. Ia memberitahukannya pada Pak Krisnamurti.
“Hari sebenarnya aku sudah mendengarnya juga. Aku ingin kesana tapi aku tak punya uang lagi. Aku ingin memakai uangmu, tapi kaukan tidak ada. Jadi aku menunggumu pulang untuk minta izin”
Hari Haran terkejut mendengar kata-kata Pak Krisnamurti. Seingatnya ia sudah tidak punya uang tabungan lagi.
“Tetapi saya tidak punya tabungan apapun.”
“Apa kau lupa kau telah menitipkan tabunganmu padaku? Aku masih menyimpan tabunganmu itu. Bolehkah aku meminjamnya untuk berita berobat. Jika nanti aku sehat kembali aku berjanji akan mengembalikannya.” Hari Haran jadi bingung. Ia ingat bukan uang yang ada dalam kaleng tabungannya tapi uang kereweng yang dikumpulkannya dari nenek yang meminta bakpau.
“Tapi....“
“Aku masih menyimpan tabunganmu di bawah kolongku, ambillah.”Pak Krisnamurti menyuruh Hari Haran mengambil kaleng dari kolong tempat tidurnya. Hari Haran bingung, bagaimana nanti komentar Pak Krisnamurti mengetahui isi tabungan itu hanyalah uang kereweng tentu ia akan sangat malu sekali.
Hari Haran dengan gemetar mengambil kaleng tabungannya yang terasa lebih berat dibanding ketika ia menyerahkannya pada Pak Krisnamurti dulu. Sambil menahan nafas ia membuka tutup kaleng tabungannya dan langsung terkejut. Ia sampai terbelalak melihat isinya. Bukan kereweng tapi koin-koin emas yang berkilauan.
“Aku heran kau bisa menabung begitu banyak.”Kata Pak Krisnamurti. Hari Haran hanya diam. Dalam hati ia mengucap syukur pada Allah yang Maha Kuasa. Pasti Dialah yang melakukan ini. Dia mengganti apa yang diberikan Hari Haran pada nenek peminta bakpau itu dengan yang lebih banyak
“Ya Pak. Semoga ini bisa dipakai bapak berobat dan bapak bisa sembuh seperti sediakala.”
Ahkirnya dengan koin-koin emas itu Pak Krisnamurti berobat ke tabib. Ia sembuh dan bisa kembali merintis usaha bakpau yang sempat bangkrut. Sementara Hari Haran juga berhasil lulus dengan nilai terbaik. Ia diangkat menjadi pegawai di ibukota.
Tapi sayang ketika Hari Haran mencari keberadaan sang nenek dan cucunya yang dulu suka meminta bakpau, tapi ternyata tak seorangpun yang mengaku mengenalnya.