Sabtu, 30 April 2011

Revolusi Pengharapan(The Revolution of Hope)

Judul                       : Revolusi Pengharapan(The Revolution of Hope)
Pengarang              : Erich Fromm
Penerbit                  : Pelangi Cendekia
Tahun Penerbit      : 2007
Peresensi                : Sadam Husaen Mohammad


Apa yang dimaksudkan menjadi manusia modern yang humanis? Mungkin  begitu kira-kira yang ingin disampaikan oleh Erich Fomm (EF) melalui buku Revolusi Pengharapan ini.  Melalui ilmu pengetahuan manusia begitu sukses menguasai alam. Kemudian semangat manusia untuk memaknai dirinya sendiri berpusat pada kebutuhan teknis dan materi akhirnya manusia kehilangan spiritualitas dan keyakinan, manusia seperti menemukan Tuhan yang baru yaitu “kalkulasi impersonal” atau semua yang dapat dikalkulasikan, diramalkan, dan difaktualisasikan sehingga mesin dijadikan sebagai berhala dan pada akhirnya menentukan pemikiran manusia.

Mungkin sekarang kita sedang menghadapi  sebuah ancaman. Bukan ancaman yang remeh dan bukan juga komunisme ataupun fasisme melainkan masyarakat yang dimesinkan secara total untuk memproduksi dan mengkonsumsi. Manusia diberi makan dan hiburan secara pasif dan nyaris tidak punya perasaan, bahkan untuk mengungkapkan kesedihan dan kegembiraan pun sulit. Maka di sini EF menolak semua persepsi dan perspektif tentang pengharapan yang di setir oleh mesin dan kaum borjuis itu. Menurut EF pengharapan bukanlah hidup menghambur-hamburkan uang,serakah dan tak bermartabat tapi pengharapan adalah hidup yang disertai pengorbanan untuk mengupayakan kualitatif dan produktif sebuah kehidupan yang berkecukupan dan wajar agar dapat selamat di kehidupan.

Manusia menjadi tokoh fiksi dalam sebuah novel yang tak pernah jelas judulnya. Novel yang penuh dusta. Dusta kata-kata, dusta gerak gerik mata, dan dusta ekpresi wajah. Manusia inginnya selalu tampil dengan kesibukannya sendiri tanpa sadar mereka tidak menghasilkan apa-apa atau bisa disebut pasif. Mereka ingin dipahami, dipelihara dan dipuji. EF tidak setuju semua itu disebut sebagai proses pengharapan, berharapan bukanlah kesibukan yang akan mendapat pujian atau penghormatan. Pengharapan itu bersumber dari kekokohan batin yang bersentuhan secara erat dengan visi kehidupan yang prospektif.
Pada bab terakhir buku ini (BAB VI) EF menawarkan beberapa perubahan yang mendasar untuk menyelamatkan manusia dari modernisasi, antara lain perubahan pola produksi dan konsumsi sehingga aktivitas ekonomi menjadi sarana pemekaran dan perkembanagan manusia. Transformasi manusia yang sebelumya manusia hanya menjadi masyarakat yang pasif berubah menjadi masyarakat yang aktif, kritis dan bertanggung jawab. Dan suatu revolusi kultural yang didasari oleh gerakan humanisme radikal yang mencakup banyak ideologi yang berbeda dan kelompok-kelompok sosial. Dan semua itu untuk mendesain sebuah revolusi pengharapan yang bermuara pada humanisasi teknologi .
Manusia modern yang meletakkan teknologi sebagai pelayan bagi cita-cita humanis itu yang diinginkan oleh EF, tetapi di buku ini EF kurang  jeli melihat bahwa masyarakat  seluruh dunia selain butuh demokrasi dan humanisasi mereka juga membutuhkan peran birokrasi dan teknokrasi walaupun disamping itu ada rasa suka dan tidak suka pada diri mereka. Apabila EF bisa meramu semua antara birokrasi, teknokrasi, humanisasi dan demokrasi menjadi satu mungkin kehidupan masyarakat modern yang lebih humanis akan bisa dinikmati.
Tetapi buku revolusi pengharapan ini sangat layak untuk dibaca, karena cita-cita yang diinginkan semua Negara berawal dari pengharapan dan itu dibedah di sini oleh EF agar kita mengerti bagaimana menjadi masyarakat modern yang semakin manusiawi.[]

Poetry Hujan: Aku Melamuni Hujan

Aku melamuni hujan. .
Karna rintiknya mendatangkan kantuk, membuatku bergelut dalam hangatnya selimut
Aku melamuni hujan. .
Karna rintiknya menemani kesendirianku dalam kamar yang membuatku tenggelam dalam tumpukan senandung hidup
Aku melamuni hujan. .
Karna rintiknya mendinginkan hatiku yang sedang menggigil dalam panas amarah
Aku melamuni hujan. .
Karna rintiknya membunuhku

2009

(gambar dari google)

Puisi ini diikutsertakan pada Kuis “Poetry Hujan” yang diselenggarakan oleh Bang Aswi dan Puteri Amirillis

Mari Membaca

"sadam sudah pintar, dia tidak perlu ikut diskusi seperti ini"
Ya seperti itu tepatnya kata-kata teman saya entah mengejek atau memuji, tapi sepertinya cenderung mengejek dan saya tahu itu. Memang saya terlalu bodoh untuk diejek, karena saya tak menganggap kata-kata teman saya tadi adalah sebuah ejekan. Mungkin tepatnya tidak disebut mengejek ya, menyindir sebenarnya, dan itu sudah sering saya dapatkan dari banyak sekali orang saya temui. Orang yang saya temui notabene adalah penggila membaca dan mempunyai pengetahuan luas, sedangkan saya hanya seseorang yang jarang sekali membaca, karena itulah saya selalu mendapat sindiran, "tahu sendirikan bagaimana rengekan yang dilandasi budaya literer dan tidak?" kalimat itu juga tidak langsung menohok kuping saya, karena saya selalu menrengek tanpa dilandasi oleh budaya literer. Budaya literer utau budaya membaca di Indonesia memang tak begitu bergeliat, karena banyak orang yang bilang kalau bangsa kita ini bangsa lisan atau oral, tapi kalau hanya lisan tanpa ada referensi dari membaca pastinya itu bisa jadi tidak valid. maka dari itu sekarang saya mulai mencoba intens untuk membaca dan memastikan bahwa kata-kata saya bisa dibuktikan dari hasil membaca saya.
Mungkin budaya membaca di Indonesia kurang digandrungi, karena lebih banyak media lain yang menjajikan kenikmatan lain daripada membaca, contohnya saja sekarang ada facebook, twitter, juga ada game online, memang dalam mengoprasikannya kita juga butuh membaca tapi sepertinya itu hanya menjadi panduan saja. Tidak seperti membaca buku yang tebalnya masa ampun. Ya membudayakan literasi memang agak sulit tapi sedikit demi sedikit pasti akn merubah segalanya, mulai dari kita dulu untuk merubah semuanya. Mari membaca!

Kamis, 28 April 2011

Aku berlindung dari ancaman nurdin yang terkutuk

 
"Aku berlindung dari ancaman nurdin yang terkutuk" Adalah kata-kata di sebuah kaos para pendemo yang menyuarakan aspirasinya di depan gedung PSSI untuk menun tut nurdin halid agar tidak merncalonkan dirinya lagi menjadi ketua PSSI. Akibat isu kasus suap yang terdengar setelah indonesia kalah di ajang AFF melawan malaysia, nurdin benar-benar terpuruk sebagai ketua PSSI. Indonesia yang sudah siap mengangkat tropy juara akhirnay menelan ludah menyaksikan malaysia merebut juara dalam ajang AFF itu.

Indonesia sudah berkali-kali masuk dalam laga final Piala AFF, tapi indonesia selalu kalah di ajang sepak bola seluruh asia itu. Semenjak tahun kepemimpinan Azwar Anas persepakbolaan Indonesia tidak mendapatkan buah manis prestasi, melainkan mendapatkan hantaman yang keras karena dilanda masalah yang semakin menambah keterpurukan Indonesia. Lalu setelah Azwar Anas ketua PSSI berpidah tangan kepada Agum Gumelar. Ditangan Agum Gumelar persepakbolaan indonesia tidak mengalami perubahan, timnas Indonesia yang berlaga di Piala AFF 2000 dan 2002 gagal dan menjadi sarang gol bagi musuhnya.

Seperti sulit sekali untuk maju persepakbolaan Indonesia selalu terpuruk, bahkan setelah kepemimpinan Agum Gumelar yang digantikan oleh Nurdin Halid.Bukan kegemilangan yang dibawa oleh Nurdin untuk timnas indonesia, sama seperti ketua-ketua sebelumnya, Nurdin memeberikan timnas kita kegelapan, bahkan terdengar isu suap ketika timnas Indonesia berhasil dikalahkan oleh timnas Malaysia dilaga final Piala AFF 2010 dengan score 3-0, di duga oknum PSSI membangun kesepakatan dengan bandar judi di Malaysia sebelum laga final berlangsung. Isu itu muncul setelah datangnya surat kaleng yang dialamatkan kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan ditembuskan kepada Menteri Olahraga, Ketua KPK, Ketua DPR, serta Ketua KONI. Surat itu dikirim oleh seseorang yang memakai nama Eli Cohen. Seperti yang kita ketahui Eli Cohen adalah seorang agen rahasia Mossad, Israel, dan diangggap sebagai salah satu mata-mata paling sukses setelah Perang Dunia II (Sumber : tribunnews.com). Surat yang berisikan pemberitahuan bahwa oknum PSSI melakukan kesepakatan dengan bandar judi di Malaysia itu menyebar luas di internet dan menyulut amarah masyarakat penggila sepak bola di indonesia, karena indonesia yang sudah di idam-idamkan sebagai juata dalam laga final itu, malah menelan pil pahit kekalahan.
Ini adalah isi surat yang beredar di internet:

From: eli cohen

Date: Sun, 30 Jan 2011 14:36:16 +0700

To: ; ;

Subject: Mohon Penyelidikan Skandal Suap saat Piala AFF di Malaysia

Kepada Yth. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia

Di Jakarta

Dengan Hormat, Perkenalkan nama saya Eli Cohen, pegawai pajak dilingkungan kementrian Keuangan Republik Indonesia. Semoga Bapak Presiden dalam keadaan sehat selalu.

Minggu ini saya membaca majalah tempo, yang mengangkat tema khusus soal PSSI. Saya ingin menyampaikan informasi terkait dengan apa yang saya dengar dari salah satu wajib pajak yang saya periksa dan kebetulan adalah pengurus PSSI (maaf saya tidak bisa menyebutkan namanya) . Dari testimony yang disampaikan ternyata sangat mengejutkan yaitu adanya dugaan skandal suap yang terjadi dalam Final Piala AFF yang dilangsungkan di Malaysia.

Disampaikan bahwa kekalahan tim sepak bola Indonesia dari tuan rumah Malaysia saat itu adalah sudah ditentukan sebelum pertandingan dimulai. Hal ini terjadi karena adanya permainan atau skandal suap yang dilakukan oleh Bandar Judi di Malaysia dengan petinggi penting di PSSI yaitu XX dan XXX (ia menulis inisial dua nama, Red).

Dari kekalahan tim Indonesia ini baik Bandar judi maupun 2 orang oknum PSSI ini meraup untung puluhan miliar rupiah.

Informasi dari kawan saya, saat dikamar ganti dua orang oknum PSSI ini masuk ke ruang ganti pemain (menurut aturan resmi seharusnya hal ini dilarang) untuk memberikan instruksi kepada oknum pemain. Insiden “laser” dinilai sebagai salah satu desain dan pemicunya untuk mematahkan semangat bertanding.

Keuntungan yang diperoleh oleh dua oknum ini dari Bandar judi ini digunakan untuk kepentingan kongres PSSI yang dilangsungkan pada tahun ini. Uang tersebut untuk menyuap peserta kongres agar memilih XX kembali sebagai Ketua Umum PSSI pada periode berikutnya.

Saya bukan penggemar sepak bola, namun sebagai seorang nasionalis dan cinta tanah air saya sangat marah atas informasi ini. Nasionalisme kita seakan sudah dijual kepada bandar judi untuk kepentingan pribadi oleh oknum PSSI yang tidak bertanggung jawab.

Oleh karenanya saya meminta Bapak Presiden untuk melakukan penyelidikan atas skandal suap yang sangat memalukan ini.

Semoga Tuhan memberkati Negara ini.

Hormat Kami, Eli Cohen Pegawai Pajak

Tembusan 1. Menteri Olah Raga 2. Ketua KPK 3. Ketua DPR 4. Ketua KONI
(http://terselubung.blogspot.com/2011/01/pssi-tega-membuat-indonesia-kalah-telak.html)

Masyarakat pecinta sepak bola di Indonesia pun berbondong-bondang untuk meminta nurdin turun dari jabatan ketua PSSI, karena nurdin dianggap memberikan citra buruk terrhadap persepakbolaan Indonesia. Banyak sekali bentuk permintaan agar nurdin turun dari jabatan ketua PSSI, dari lagu, video, dan beberapa gambar yang menegaskan bahwa nurdin tak pantas menjabat ketua PSSI. Mungkin memang persepakbolaan di Indonesia perlu melakukan regenerasi, agar para pemain yang berusia muda lebih matang untuk berlaga di ajang yang lebih hebat dibanding ajang persepakbolaan lokal, lalu regenerasi itu juga perlu dilakukan dalam kepengurusan PSSI.

Mungkin bias saja dalam PSSI ada inisiatif menambahkan ketentuan maksimum menjabat menjadi ketua, agar regenerasi itu bias terus menerus update, agar persepakbolaan di Indonesia mendapatkan hawa yang berbeda dibandingkan dengan hawa yang dibawa ketua-ketua sebelumnya, dan agar PSSI bebas dari kasus suap dan semua keterpurukannaya. Amien.[]

(gambar dari google)

Nama; Sebagai Identitas atau Pembunuh Identitas

Nama adalah salah satu identitas bagi seseorang. Nama juga dapat membunuh identitas seseorang, lalu bagaimana nama sanggup membunuh identitas seseorang? Mungkin itu yang akan saya bahas di sini. Jarang sekali orang-orang menganggap nama sebagai status terpenting dalam bersosialisasi, nama di sini merujuk kedalam tingkatan strata sosial, sebut saja saya sebagai mahasiswa sastra yang belum dikenal banyak orang dibandingkan dengan dengan mahasiswa lain yang sudah mempunyai 'nama' di kalangan mahasiswa, tingkatan antara saya dan mahasiswa yang mempunyai 'nama' itu pun berbeda. Tapi sepertinya orang-orang menganggap itu sebagai hal yang lumrah, seandainya mereka tahu bahwa nama juga bisa membuat kita 'mati' tentu mereka akan berubah pikiran.
Seperti halnya saat W.S. Rendra membacakan puisi dengan gaya khasnya, duduk sambil memainkan tangan dan mukanya, itu sudah dianggap bagus oleh kebanyakan orang, tentu karena Rendra sudah mempunyai 'nama', tapi bila saya yang melakukannya -membaca puisi seperti rendra- rasanya tak ada yang terpikat bahkan kadang cemoohan yang keluar dari mulut mereka -orang-orang-. Saya sempat juga mengumpat "Apa bedanya ketika saya melakukan hal yang sama dengan orang yang sudah terkenal?" Setelah berkata seperti itu saya mulai berpikir bahwa 'nama' dapat membunuh atau mematikan karakter seseorang.
Tak seperti 'mati' yang cecep syamsul hadi deskripsikan dalam cerpennya yang berjudul saya tahu saya akan mati di laut, di situ cecep mencoba menjadikan kata 'mati' sebagai sesuatu yang lumrah dan menyenangkan, bahkan sang tokoh dengan santainya menjawab "semua orang akan mati kan" Ketika ada seseorang perempuan dengan mata bolong menyampaikan pesan bahwa dia akan mati tak wajar, tapi pada akhirnya sang tokoh tidak mati dan sadar dia sedang melakukan perjalanan di kapal dengan wanita cantik yang baru dia kenal di kapal itu. Saya merasa terpinggirkan oleh nama-nama yang dianggap kebanyakan orang tenar, kepercayaan diri hilang ketika menghadapi orang-orang bernama itu, tapi lebih lagi ketika saya termakan oleh omongan saya sendiri yang selalu dianggap salah dan mereka sepertinya lebih percaya kepada orang yang punya 'nama', tanpa sadar saya runtuh dan menangis tanpa airmata sambil mengais rasa malu yang tercecer dimana-mana, mungkIn rasa malu saya mengalahkan rasa malu Presiden Negara kita yang dipermalukan karena mengeluh dengan gajinya.
Di masa kecil kita pernah melewati tingkatan perkembangan yang dinamakan imitasi, tahapan itu dimulai saat anak-anak mengubah tingkah lakunya dengan meniru pergaulan di sekitarnnya bahkan tokoh idolanya, tapi proses ini tidak akan ikut berkembang ketika kita menirukan orang yang terkenal dalam masyarakat. Masyarakat akan mengatai kita dengan julukan plagiat ataupun epigon, karena yang mereka kenal adalah orang yang sudah terkenal dan mempunyai 'nama', bukan kita sebagai peniru, contohnya saja ketika grup musik d'massive meniru musik grup band asal luar negeri muse, fans mereka tidak mempermasalahkan itu, tapi seandainya kita atau saya yang meniru pasti banyak sekali gunjingan, karena saya belum punya 'nama' seperti grup band d'massive, seperti halnya Chairil Anwar yang menerjemahkan "The Young Dead Soldiers" Menjadi "Karawang Bekasi" Dan "a Song of the Sea" Menjadi "Datang Dara Hilang Dara"., Tentu ada beberapa masalah yang muncul tapi Chairil tak dapat julukan penyair plagiat, karena Chairil didukung oleh H.B. Jasin.dan akhirnya chairil menjadi pelopor sastra angkatan 45 di indonesia tentunya.
Ijinkan saya mengutip sedikit puisi terjemahan Chairil. Ini adalah satu bait puisi "a Song of the Sea" :
A SONG OF THE SEA
I
“Girl, girl alone,
Why do you wander
The twilight shore?
Girl, go home, girl!”
“No, I won’t go!
Let the evening wind blow
On the sands, in the glow.
My hair is combed bay the winds,
As I wander to and fro.”

Dan diterjemahkan Chairil menjadi "Datang Dara Hilang Dara" :
DATANG DARA, HILANG DARA
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
Chairil Anwar dan karyanya pun selalu diingat sampai sekarang bahkan karya terjemahannya.
Nama sebagai pembunuh rasa bisa disebut seperti itu, ketika kita kalah dengan orang-orang yang mempunyai nama besar di suatu tempat. Dan sekali lagi saya mengutip salah stu puisi dari buku "Kisah-Kisah Dari Tanah di Bawah Pelangi", yang berjudul "Sengketa Mayapada" karya indrian koto "Betapa berat mengangkat nasib yang sudah diketahui keburukannya." Mungkin seperti itu ketika kita sudah merasakan bagaimana 'nama' menjadi momok yang bisa mematikan rasa  dan semangat kita
Tentunya kita sebagai orang yang mempunyai nama tak mau menjadi sasaran dari nama orang lain, lalu bagaimana kita melakukannya? Mungkin dengan menciptakan karakter atau percaya pada diri sendiri adalah kunci untuk menghindari 'nama' sebagai pembunuh identitas, rasa dan semangat kita.[]

Kupilih Cara Mencintai Hujan*


Kupilih cara untuk mencintai hujan
Karna hujan telah menemani kesunyianku
Mengalahkan senja yang selalu dipuja
Hujan seperti mengerti kapan kesunyian menyergapku
Sunyi yang pecah bersama air mata

Langit temaran yang cerah
Karna hujan telah menculik senja
Daun-daun menari tanpa angin
Karna angin tak lagi menguap
Dan bulan bersama bintang pergi berlibur
Karna awan menggantikan tugasnya

Hujan, bila mala mini kau kuasai
Lalu bagaimana dengan esok?

2011
*puisi milik Sadam Husaen Mohammad ini telah dimuat di rubrik sastra dan budaya Radar Jember.

Selasa, 26 April 2011

Beberapa Contoh Puisi Lama

Puisi adalah sebuah suara hati, benarkah itu? ya definisi puisi memang berbeda-beda setiap orang, tapi puisi sekarang sudah mempunyai kebebasan dalam berbahasa ataupun kebebasan memilih kata-kata. beberapa penyair di Indonesia banyak yang sudah menggunakan kebebasan itu bahkan menciptakan kebebasan sendiri, contohnya Danarto dengan "puisi sembilan kotaknya", lalu Saut Situmorang dengan "sumpah pemudanya". mungkin kita bisa menoleh kebelakang dengan mengingat kembali apa saja yang ada sebelum puisi modern muncul. ada beberapa puisi lama yang mungkin perlu juga kita pelajari, antara lain:
Contoh Puisi Lama
1. Pantun
Tema: Adat
Air surut ikan geramai, 
Sudah dapat ikan tenggiri; 
Masa hidup kita berdamai, 
Mati nanti seorang diri. 
Tema: Jenaka
            Aku suka berumah tinggi, 
            Pelantar besar sudah roboh; 
            Aku suka beranak tiri, 
            Anak besar senang disuruh. 

Tema: Kiasan/Sindiran
            Anak Cina anak Yahudi, 
            Minum arak berpeti-peti; 
            Sejak bunga dipagar besi, 
            Kumbang di luar menghempas diri. 
2. Mantra  
Penggalan puisi mantra Persembahan Jamu Laut ala melayu,
Assalamualaikum, Aku kirim salam kepada jin tanah, Aku tahu asalmu, Kau keluar dari air ketuban, Bukan aku melepas bala mustaka, Sang Kaka Sang kipat, Melepas bala mustaka
Penggalan puisi mantra Siawang Lebih
Setentang dua tentang, Sebimbar dua bimbar, Siapa menentang siapa kasih, Siapa menentang siapa gila, Gila raja, gila menteri, gila dengan sebalai dirinya
Penggalan puisi mantra Tawar Bisa
Aku tahu asal mulamu Bisa darah haid siti hawa Surga akan tempatmu Cabut bisamu Naikkan bisa tawarku
Penggalan puisi mantra Simang Guru
Bulan bulan, bintang, matahari terbit di ubun-ubunku Bulan purnama di mukaku Bintang Tujuh di keningku Bintang penabur di dadaku.
www.suhuomtatok.wordpress.com

3. Talibun

Tengah malam sudah terlampau
Dinihari belum lagi nampak
Budak-budak dua kali jaga
Orang muda pulang bertandang
Orang tua berkalih tidur
Embun jantan rintik-rintik
Berbunyi kuang jauh ke tengah
Sering lanting riang di rimba
Melenguh lembu di padang
Sambut menguak kerbau di kandang
Berkokok mendung, Merak mengigal
Fajar sidik menyinsing naik
Kicak-kicau bunyi Murai
Taktibau melambung tinggi
Berkuku balam dihujung bendul
Terdengar puyuh panjang bunyi
Puntung sejengkal tinggal sejari
Itulah alamat hari nak siang
(Hikayat Malim Deman)

4. Seloka
contoh seloka 4 baris:
  • Sudah bertemu kasih sayang
  • Duduk terkurung malam siang
  • Hingga setapak tiada renggang
  • Tulang sendi habis berguncang
contoh seloka lebih dari 4 baris:
  • Baik budi emak si Randang
  • Dagang lalu ditanakkan
  • Tiada berkayu rumah diruntuhkan
  • Anak pulang kelaparan
  • Anak dipangku diletakkan
  • Kera dihutan disusui

5. Gurindam
Barang siapa tiada memegang agama
Segala-gala tiada boleh dibilang nama
Barang siapa mengenal yang empat
Maka yaitulah orang yang ma’rifat
Barang siapa mengenal Allah
Suruh dan tegaknya tiada ia menyalah
Barang siapa mengenal diri
Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri
Barang siapa mengenal dunia
Tahulah ia barang yang terpedaya
Barang siapa mengenal akhirat
Tahulah ia dunia mudharat

Barang siapa mengenal yang tersebut
Tahulah ia makna takut
Barang siapa meninggalkan sembahyang
Seperti rumah tiada bertiang
Barang siapa meninggalkan puasa
Tidaklah mendapat dua termasa
Barang siapa meninggalkan zakat
Tiadalah hartanya beroleh berkat
Barang siapa meninggalkan haji
Tiadalah ia menyempurnakan janji


6. Bidal
1.Bagai kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau
2. Ada ubi ada talas, ada budi ada balas
3.Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui
4 Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu
5. Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi

http;//culture.melayuonline.com
7. Karmina
Gendang gendut tali kecapi
Kenyang perut senanglah hati
Pinggan tak retak, nasi tak dingin
Tuan tak hendak, kami tak ingin


8. Syair
Contoh Syair Lagu Sedih
KICAU BURUNG BERNYANYI
TANDA BUANA MEMBUKA HARI

Angin tamparlah wajahku sekarang ini
biar segala belenggu yang menjeratku
hilang takberbekas dari dasar kalbuku
yang selama ini tersisa

Ombak hantarlah jiwaku sekarang ini
biar segala yang ada aku hadapi
aku sudah bosan hidup slalu tertipu
dengan mimpi-mimpi tak pasti

Hantar dan bawalah aku pergi mencari sepotong harapan
hantar dan bawalah aku pergi menggapai setitik bahagia
sisa dari segala kerakusan jaman ini
yang telah melumat kebebasan
 

Contoh Puisi Baru

Puisi-puisi Inez Dikara

1. DI SEPANJANG MICHIGAN AVENUE
daun daun begitu ingin
menyentuh ujung sepatuku
di sepanjang michigan avenue
gerbang sekolah
besi besi dingin
tempat kau selalu menungguku
pusat belanja dan jendela besar toko buku
di sana,
kau dan aku menghitung butir butir hujan yang jatuh
gegas kaki kaki kejar mengejar dengan waktu
riuh suara kendaraan
menambah ramai benak orang orang
tenggelam mereka dalam masing masing pikiran
: orang orang kesepian
di sepanjang michigan avenue
ada getar yang tertinggal
seransel kenangan letih di pundakmu
[Milis Apsas, 26 Januari 2007]

2.TANAHKU INGIN HARAKIRI
bumi bagai berhenti berotasi
hingga musimmusim menjadi abadi
matahari, teriknya membakar dada
di belahan yang lain
hati mati. membeku. dingin.
musim di tanahku abadi
di sana angin berhenti bernyanyi
daun daun kaku
burung burung sakit
dada pohon sunyi
tanahku
ingin harakiri.
[Milis Apsas, 02 Desember 2006]


Contoh Puisi Kontemporer
Sabda Hidup
Mungkinkah maut mencabut CInta
Pada jantung Golgota,
 sejatinya surga
Setelah darah anak domba
Mewarnai Salib ?
Bukan buah dari Rahim Malekat maut
Pada tepian Kafan hati
Tapi
Buah dari darah Nabi
Pemenuh JAnji Surga
(Sankt Augustin,  15 April 2005 )

Trigonal
Cawan darah Raja tergores
Pada Janji Zaman ketika  di mulai perang Troya
Pada permulaan janji memenuhi Tahta kemuliaan
Cawan darah Raja Tergores
Pada Janji Zaman ketika dewa Matahari
Menginginkan perawan.
Cawan darah Raja sekali lagi tergores
Pada permulaan janji Zaman
Ketika Kain dan Abel menginginkan Berlian
„ Kobarlah Perang, Troya Zaman“
(Manheim Haupt Bahnhoff 16 April 2007 )

http://gabrieladur.multiply.com
mungkin masih banyak lagi contoh puisi lama yang ada, kita bisa belajar membuat puisa dari puisi lama juga, mari belajar..

Jumat, 22 April 2011

Satu dalam sajakku


Satu merenggut melati yang terbawa oleh airmata
Hingga melati tak lagi mempunyai baunya
Hanya madu yang berceceran membasahinya
Tapi setelah itu Satu menemukan mawar berdarah di selangkangan
Mengerjai dan membauinya
Sayang setelah itu mawar berlalu dalam trotoar di bawah lampu sorot yang menelanjangi malam
Tak terhitung
Sepuluh
Seratus
Seribu
Sejuta
Dan berapa lagi?
Kupetik keperjakaan dalam isapan untuk Satu
Dan simpuhku pada rumpun melati
Mengingatkanku saat pertama Dia berbunga
Lalu ku seret Satu dam mematahkannya
Karna ku ingat Satu telah menggugurkan melati saat dia mekar

2010

Kamis, 21 April 2011

Surga Ani


Ia diam-diam saja di kursinya, seolah ia tak pernah ada di antara saudara-saudaranya. Ia tak tahu. Di ruang sebelah, televisi menyala menayangkan Termehek-mehek. Tapi sepertinya tak ada yang peduli. Siapa pula yang peduli dengan jenis acara senorak itu. Anak-anak lebih tertarik bermain Monopoli daripada memelototi orang yang merengek-rengek mencari orang yang tak jelas. Mereka lebih asik belajar berbagi lewat lemparan dadu, seolah benar-benar akan ada sesuatu yang akan ditemukan dalam setiap lemparan itu: barangkali sekedar kebohongan. Sebab itulah Ani enggan ikut bermain, karena baginya, setiap kebohongan selalu sia-sia.
Ia masih tetap saja diam di kursinya tanpa merasa bahwa dia dikucilkan dari saudara-saudaranya. Di ruang sebelah televisi masih menyala, tapi sudah berganti dengan acara Mamamia, dan seorang anak yang sedang bermain Monopoli menyebar semua uangnya seperti politikus busuk yang sedang membeli suara.
Ia tetap duduk tanpa ada rasa ingin membaur dan bersenang-senang dengan saudaranya. Orang mungkin mengira ia sedang melamun, atau jangan-jangan autis? Tidak mungkin. Sejauh ini ia baik-baik saja—dan sama sekali tak cacat.
Ia adalah Ani, anak bungsu dari empat bersaudara: Shanti, Ranti, Rina. Dia adalah anak yang paling cantik dan paling disayang. Apakah karena itu dia dikucilkan saudaranya? Kenapa mereka tidak membunuhnya saja atau membuangnya ke sumur seperti cerita Nabi Yusuf As? Mungkin mereka masih punya rasa sayang padanya walaupun mereka iri melihatnya.
Hanya ada mereka bertujuh dan Bik Iyung, pembantu sekaligus pengasuh mereka. Mereka sudah sudah terbiasa dengan Bik Iyung karena orang tua mereka pergi ke luar negeri untuk bekerja. Orang tua mereka jarang pulang. Kadang satu bulan sekali. Pernah juga hanya satu tahun sekali.
Ani memandang kosong ke depan dan masih duduk di kursinya yang mengarah ke pintu, entah apa yang dilihatnya. Sebuah mobil oranye tiba-tiba mengisi pandangan Ani, tapi ia tetap diam dalam ketegangannya menanti sang orang tua. Seorang laki-laki lalu bergegas keluar mobil dan menghampiri Ani.
“Permisi, adek apa benar ini rumah bapak Subur Subagyo?”
Ani masih dalam pandangan kosongnya, tapi seolah pandanganya kabur setelah laki-laki itu mengulangi pertanyaannya.
“Oh iya pak, betul ini rumah bapak Subur Subagyo. Ada apa ya pak?” dengan sifat lugu seorang anak berusia enam tahun Ani mencoba melayani pertanyaan laki-laki itu.
“Ada kiriman dari bapak Subur dek,” sembari menyodorkan sebuah kotak.
“Terima kasih pak, lalu kapan mereka pulang?” dengan lugu ia bertanya pada laki-laki itu
“Saya tidak tahu dek, saya hanya jasa pengantar barang,” tiba-tiba raut wajah Ani berubah muram dan ia langsung masuk ke dalam tanpa berucap.
“Dek, tanda tangan dulu!” Teriak laki-laki itu.
Ani berbalik dan kembali menuju laki-laki itu tapi ia tidak keluar, ia menggapai gagang pintu dan menutupnya. Entah apa yang ada dipikiran Ani saat itu.
Ia kembali duduk di kursinya sambil sesekali membalikan kotak kiriman dari ayahnya.
“Apa itu dek?” suara Bik Iyung menjatuhkan kotak dari tangan Ani.
“Tidak tahu Bik tadi ada orang pakai pakaian oranye mengantarkan ini, katanya dari ayah,” jawab Ani ketika Bik Iyung merunduk mengambil kotak itu.
“Mungkin ini hadiah buat adek dan yang lain,” sahut Bik Iyung.
Tapi Ani masih tetap setia dengan wajah muramnya, dia tidak mau hadiah, dia mau orang tuanya pulang dan menetap di rumah.
“Kenapa dek? ayo cepat panggil yang lain lalu buka hadiah ini!” Tegas Bik Iyung sambil bergegas meninggalkan Ani.
Ani menghapus wajah muramnya dan mencoba membuka kotak dari ayahnya tanpa memanggil saudara-saudaranya. Ia tampak ragu membukanya. Atau ia memang tak tahu cara membukanya? Tak mungkin. Ani bukan anak kecil yang masih terkurung dalam umur. Ia sudah belajar banyak saat kesendirian menyelimutinya. Di kamarnya berserakan buku yang sepertinya lebih sulit dipahami daripada buku pelajaran untuk anak seumurnya, tapi ia bisa memahaminya tanpa bimbingan dari siapapun. Ia berhasil membuka kertas pembungkus kotak, namun ia tampak ragu-ragu membuka kotak itu. Yang ada di benaknya, kotak itu berisi surat yang memberitahu bahwa orang tuanya pulang bulan depan. Satu demi satu penutup kotak itu ia tanggalkan. Seperti melihat cahaya yang menyilaukan mata, Ani kaget, ternyata benar kotak itu berisi surat, ia bergegas mengambil surat itu dan berlari ke kamar bagai burung camar yang terbang di atas air laut. Ia berlari tanpa melihat sekitarnya.
“Bruuaak..!” Ani terjatuh tersandung mainan saudara-saudaranya, tapi Ani segera berdiri dan berlari lagi.
Ani masuk ke kamar dengan wajah yang berbeda dari semula, bergeletakan di atas kasur. Kasur itu dipenuhi gambar anak-anak kecil yang terlihat bahagia bergandengan dengan ayah ibunya.
Ani memandang surat yang masih dipegangnya lalu dibuka. Perlahan ia keluarkan isi surat itu sambil berdoa ramalannya benar lagi seperti tadi. Tapi, raut wajahnya kembali muram. Surat itu bukan dari ayahnya, tetapi dari asuransi kecelakaan ayahnya yang memuat beberapa kalimat yang tak bisa ia terima: orang tuanya telah meninggal. Ani—semakin muram.
 Dengan dada yang berat, ia lanjutkan juga membaca surat itu. Orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat perjalanan pulang. Mereka masih sempat menulis surat warisan untuknya dan saudara-saudaranya sebelum kecelakaan itu. Anehnya, Ani tak menangis saat membaca surat itu. Ia malah tersenyum dan kembali memasukkan surat itu kembali ke amplopnya kemudian meyimpan di laci lemarinya.

****

Hari itu berbeda sekali, kursi yang biasanya menemani Ani ditinggalkan olehnya. Ia  membaur dangan saudara-saudaranya bermain dan bergurau, tak seperti Ani yang biasanya.
“Kemana Bik Iyung ya?” Shanti bertanya.
“Tadi pamit mau ke pasar kak!” jawab Ranti.
“Wah bakalan makan enak kita hari ini dek,” sahut Shanti. Karena biasanya Bik Iyung hanya berbelanja di tukang sayur keliling di depan rumah.
Lalu mereka mulai bergurau dan merajut beberapa tawa di dalamnya, tapi tiba-tiba Rina menangis.
“Kenapa Rina?” Shanti heran melihat adiknya yang tiba-tiba menangis.
“Aku kangen ayah dan ibu kak,” sambil mengusap parit matanya yang basah.
“Iya kak, kapan ayah dan ibu pulang lagi?” sahut Ranti. Shanti mencoba menenangkan adek-adeknya dengan beberapa belaian, padahal disamping itu Shanti juga menyimpan berjuta rasa rindu pada orang tuanya.
“Ayolah dek, kita harus belajar mandiri. Ayah dan ibu pasti pulang kok, kita berdoa saja,” Shanti mencoba menekan rasa rindunya dan mulai membujuk adek-adeknya, karena Shanti adalah anak paling tua.
“Aku juga kangen ayah dan ibu Kak, tapi mereka di sana bukan senang-senang. Mereka bekerja untuk kita Kak! Kita harus berdoa untuk mereka karena cuma itu yang bisa kita lakukan. Mari kita berdoa kak!” Ani mulai ikut dalam pembicaraan sendu itu.
Merekapun mulai berceloteh memohon kepada Tuhan agar mereka cepat bertemu dengan orang tua mereka.
“Amien!” Suara mereka berempat serempak.
“Kapan Bik Iyung datang ya? Aku mulai lapar,” kata Shanti setelah mereka berdoa.
“Sebentar Kak, biar aku ambilkan beberapa camilan di kulkas,” dengan rela Ani berjalan mengambilkan saudara-saudaranya makanan.
“Hanya ada ini di dalam kulkas,” Ani menyodorkan beberapa camilan dan minuman yang sudah di tuangnya ke teko.
“Okelah, mari kita makan bersama, mungkin setalah ini Bik Iyung pulang dan memasakkan kita makanan enak,” kata Ranti bersemangat.
“Terima kasih ya Ani!” Sahut Rina, sambil tersenyum Ani berdiri dan meninggalkan saudara-saudaranya menuju kamar. Dia mengambil surat dari lacinya.
“Ayah ibu, semoga kami bisa bertemu dangan kalian di surga,”  Ani berbicara sambil mendekap surat itu seperti dia sedang merangkul ayah dan ibunya.
Sambil tetap mendekap surat itu Ani kembali ke saudara-saudaranya, tapi semua saudaranya sudah tertidur dengan posisi yang berantakan.
“Ayah ibu, aku dan kakak-kakak akan menyusul kalian ke surga,” Ani menenggak minuman yang tinggal separuh karena sudah diminum saudara-saudaranya.
“Tunggu kami ayah ibu!” Ani mulai mengambil posisi tidur di dekat saudara-saudaranya.
Setengah jam kemudian Bik Iyung datang. Ia berjalan dengan langkah berat karena beberapa barang belanjaan yang dibawanya.
“Anak-anak?” suara Bik Iyung dari depan pintu.
“Wah mereka tidur semua, baiklah! akan kubuatkan mereka makan enak biar nanti saat mereka bangun bisa makan banyak,” Bik Iyung berjalan menuju dapur sambil menenteng barang belanjaanya. Sesampainya di dapur Bik Iyung menemukan sebuah botol obat sakit jantung yang tercecer di lantai.
“Apa ini? Kenapa botol ini ada di sini? Ini kan obat tuan subur yang sudah expired.” Bik Iyung heran.
“Siapa yang menaruh ini sembarangan,” Bik Iyung menggerutu sembari membuang botol itu ke tempat sampah karena obat itu sudah tidak layak untuk digunakan.
“Anak-anak ayo bangun! makanan sudah siap!” teriak Bik Iyung sembari menghampiri Ani dan saudara-saudaranya, tapi Bik Iyung kaget saat melihat Ani bersama saudara-saudaranya yang tadinya tidur pulas tanpa ada kejanggalan berubah, dari mulut mereka keluar busa.
     “Ani bangun nak! Ada apa dengan kalian?” Bik Iyung manggoyang-goyangkan tubuh Ani dan saudara-saudaranya, tapi pandangan Bik Iyung tertuju pada amplop yang dipegang oleh Ani, Bik Iyung heran dan bergegas mengambil amplop itu. Ia kemudian membuka dan membacanya.

Bik, kami mau menyusul ayah dan ibu ke surga, Kami ingin bahagia bersama di surga. Amplop ini berisi surat dari asuransi kecelakaan ayah, juga berisi surat warisan dari ayah yang mungkin bisa membantu Bik Iyung. Selamat tinggal Bik, terima kasih sudah menjaga kami.
                                                                             Ani

Seperti tersentak beberapa irama tembakan Bik Iyung kaget sembari meneteskan bulir air mata setelah membaca isi amplop itu, dipeluknya Ani erat-erat seperti seorang Ibu yang tak rela kehilangan anaknya.
Astaghfirullah, anak-anak……!”

****

Pagi itu ada banyak orang berpakaian hitam dan tujuh liang kubur siap untuk diisi di sebuah taman pemakaman. Itu adalah pemakaman keluarga Subur Subagyo. Satu keluarga yang serentak dipanggil Tuhan. Tujuh nisan juga telah siap dipasang, masing masing bertuliskan nama keluarga Subur Subagyo. Yang pertama dikuburkan adalah Subur Subagyo, yang kedua adalah Anisa Anshori, istri Subur Subagyo, kemudian berturut-turut anak anak mereka, Shanti Ashori Subagyo, Ranti Ashori Subagyo, Rina Ashori Subagyo, Ani Ashori Subagyo, dan yang terakhir adalah Rayung Kuncoro alias Bik Iyung—yang juga ingin ke surga.