Kamis, 27 Desember 2012

Diyah


“...ada yang tetap tidak terucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah.”(Chairil)

Sore ini setelah hujan, aku pulang ke sekret dengan memakai sepeda yang kau titipkan atau lebih bisa ku sebut kau hibahkan untukku. Sepeda yang dulu sempat kita naiki bersama manuju alun-alun kota Jember yang begitu riuh di hari minggu. Sepeda yang mengantar kita menuju tempat menggambar bersama beberapa teman kita yang lain. Sudah lama sekali peristiwa itu sepertinya, tapi semakin lekat di ingatanku ketika kau sekarang akan menetap di kota yang lain. Aku menulis catatan ini sepulangnya aku dari warung bulek, sembari membuka-buka lagi file gambarmu yang masih tersimpan rapi di laptopku, yang kita terbitkan bersama teman-teman kita sesama penyuka gambar.

2010 yang basah. Aku membayangkan mempunyai seorang sahabat yang suka menggambar sepertiku, dan Mas Kikik mempertemukan kita pertama kali di warung bulek. Mulai dari situ ikatan batin kita mulai terjalin. Kita menjadi sering mengobrol dan menggambar, juga membangun angan membuat sebuah media yang memuat gambar-gambar kita. Sehingga terciptalah Babebo Zine yang kita lahirkan bersama teman-teman penyuka gambar yang lain. Afwan, Umi, Diki, aku dan tentunya kau.

Kau dan Umi adalah dua wanita yang ada dalam tim menggambar kita dan tak semua dari kita bisa selalu bersama saat itu. Kita hanya sesekali menggambar bersama karena banyak kesibukan yang mencipta tembok yang kokoh. Yang tak pernah kulupakan darimu adalah aksen jawa yang kuat, juga cara berdandanmu yang tidak seperti wanita lain.

Tapi itu dulu, di masa kita masih sering menikmati malam di warung kopi pinggir jalan dengan obrolan yang tak jelas. Setelahnya aku mulai sibuk, juga teman-teman yang lain. Kau sering sekali mengirim pesan padaku hanya untuk sekedar mengajak ngobrol dan menemu malam di warung kopi, tapi selalu ada alasan yang menggagalkan rencana kita. Intetitas menggambar kita mulai berkurang, bahkan aku menyebutnya tidak ada perkembangan.

Andai kata kita tak pernah bertemu, tak pernah menggambar bareng, tak pernah gila bersama, jujur saja aku tidak akan menuliskan catatan ini dan kau hanya menjadi seberkas cahaya yang sekejap hilang bagiku. Tapi mungkin karena itulah semuanya menjadi berbeda. Ketika semua manusia modern menuhankan benda dan penampilan menjadi ukuran manusia, juga hidup yang harganya adalah kesenangan. Maka, kita mencipta semacam upaya untuk melawan semua kehidupan modern yang ranum itu dengan persahabatan yang ramai, yang abai pada semua kepentingan, dan hidup dengan saling mengulurkan tangan.

Di penghujung tahun ini, Desember 2012, di malam yang tak pernah lepas dari dingin, kau datang ke sekretariat LPMS tempatku menemu teduh. Kita bertemu dan seolah semuanya sedang baik-baik saja. Kau menjabat tanganku dengan wajah yang sepertinya mengucap perpisahan, mata yang siap menanggalkan airmata. Ternyata kedatanganmu adalah sebuah bentuk awal dari perpisahan. Kau mengatakan akan pulang dan tidak akan kembali ke Jember lagi karena surat pengajuan pengunduran dirimu sudah diterima oleh fakultas. Entah apakah memang hidup benar-benar kejam sehingga kau memutuskan untuk berhenti kuliah.

Seperti seorang bayi yang meninggal sebelum dilahirkan, kita tahu hidup selalu meminta permakluman, meyatimkan segala yang tak selesai dan bersiap menghadapi situasi selanjutnya. Kau tak menjelaskan alasanmu dengan rigid dan aku tak mempunyai hak menahanmu untuk tetap ada di Jember. Aku hanya seorang sahabat yang harus menghargai semua keputusanmu.

Diyah, atau lebih akrab kau ku panggil Nyu, panggilan yang kita gunakan setiap kali bertemu. Kau tentu tahu hidup kerap menjadi medan pertempuran yang menciptakan kekalahan dan kemenangan, juga sakit yang tak tertahankan. Tapi hidup juga riwayat tentang mencipta montase untuk keadaan di depannya. Dan di sanalah manusia mesti menentukan segalanya dengan kawanan titik dan koma.

Pagi itu, kau menyempatkan menikmati kopi bersamaku di warung bulek. Warung yang mempertemukan kita, yang mencipta segala riuh redan senyuman kita. Kita membicarakan banyak hal, tentang kuliah, tentang teman-teman kita, tentang dosen yang serupa Tuhan, dan pastinya tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu. Setelah itu kau titipkan sepeda ontelmu padaku, kau menyuruhku untuk menjaganya. Sepeda yang telah menyimpan banyak kenangan untukmu dan setelah ini akan juga menyimpan kenangan tentangmu untukku, mungkin juga sepeda ini akan meminjamkan harapan padaku bahwa kau akan sesekali mengunjungi Jember untuk bertemu kawan-kawanmu yang akan merindukanmu.

Ah, Nyu, jika kau masih punya waktu untuk sekedar berbosa-basi mengirim pesan singkat padaku atau membalas pesan singkatku pastinya aku akan sangat bahagia. Akan ku jaga sepeda ini Nyu, ku jaga seperti menjaga persahabatan kita yang akan menjadi kesunyian. 

Minggu, 16 Desember 2012

Perempuanku, Airmata Itu…



Saya lupa kapan terakhir kali saya meneteskan airmata bahagia, atau bahkan saya sudah lupa bagaimana menangisi kebahagiaan. Tapi malam ini (sabtu, 15/12/12) entah kenapa airmata begitu mudah menderas dari kelopak mata ketika memandang mata seseorang yang ada di depanku, dekat sekali di depanku.

Mata itu adalah mata seorang wanita yang begitu lembut, mata seorang penerjemah luka, saya tahu itu. Tapi disitulah kenapa saya begitu menyayanginya. Saya seorang yang bisa membaca luka itu dari pandangannya. Saya juga tahu bahwa dia adalah wanita yang begitu menghargai pasangannya, dan tentunya saya begitu beruntung menjadi pasangannya.

Malam ini begitu berbeda dibanding malam-malam sebelumnya ketika kami bersama. Malam itu saya menjadi seorang yang benar-benar cengeng, saya menangis, saya seorang lelaki yang tak bisa menahan airmata. Dia bertanya tentang satu kalimat yang ada dalam surat yang saya tuliskan untuknya. “perasaan yang begitu aneh setelah membaca postingan terakhir di blogmu.” Dan saya tak bisa menjawabnya karena saya tak bisa menerjemahkan perasaan aneh itu dalam kata, ah kenapa saya begitu melankolis. Pada saat itu saya hanya bisa memandang matanya begitu dalam dan tanpa saya sadari airmata sudah merembes di sekitar mata saya. Saya malu benar-benar malu padanya, tapi itu bukan airmata sedih melainkan airmata karena saya begitu bahagia memilikinya. Saya bahagia bisa menjadi seorang yang menggandeng tangannya dan membelai lembut rambutnya.

Malam ini saya bisa menangis bahagia karenanya, karena seorang perempuan yang saya sayangi. Terimakasih sayang, terima kasih karena kau, cinta menjadi sebuah penghargaan yang begitu besar. Karena kau juga airmata ini menjadi sebuah kenangan yang indah dengan rasa sayang yang saya percayai begitu besar.

Saya yakin dia tentunya begitu menyayangi saya dengan pandangan mata yang begitu dalam itu dan semua perasaan aneh itu pun segera hilang. Saya yakin dan percaya bahwa dia adalah pasangan yang begitu hebat, dia adalah perempuan yang kuat, saya percaya itu. Saya ingin merasakan kehidupan masa depan dengannya, saya tidak hanya berangan tapi saya akan  berusaha. Tak ada luka lagi bagi keterasingan dalam hidup ini. Dan pada malam yang sama saya menuliskan sebuah sajak, sehabis menyeruput kopi di cak ipul. Sajak tentang keterasingan dan tentunya tentang kehidupan.


Hidup

Lalu kita hirup aroma kehidupan, bersama ngilu nasib
Juga berjuntai-juntai kenangan
Yang tak pernah habis di makan hari
Atau bahkan tahun

Namun tak ada yang lebih kejam
Selain bersanding dengan kesalahan
Juga kelindan penyesalan

Hidup tak perlu melulu mendaki gelisah
Sebab setelahnya adalah sajak-sajak yang kelam
Yang kita panggil sebagai
-keterasingan

11/12/12

Ah, pasanganku tentunya kita akan berjalan bersama, bergandengan tangan dalam keterasingan hidup ini. Saya yakin hidup masih sebagai kesunyian masing-masing. Juga airmata ini adalah kemenangan yang menghapus segala perasaan aneh yang kurasakan. Sekali lagi terima kasih perempuanku.

Jumat, 14 Desember 2012

Takdir


Bersama jembut-jembut bapak yang rontok
Ibu sedang menyulamkan baju nasib untukku
Untuk anaknya yang tak akan pernah lahir
Sebagai seorang lelaki yang utuh

Mereka berdua tahu
Anaknya adalah kegelisahan yang urung
Dan kegembiraan yang sirna

Bapak tak pernah mencukur jembutnya
Sedang ibu tak pernah berhenti menyulam
Dan aku juga tak pernah rampung menjadi seorang perjaka

12/12/12

Rabu, 12 Desember 2012

Tersilam

; N.D. Vindriana

Di pantai itu matahari berlayar menepi
Pada tanjung yang tak juga karam
Juga rasa sakit yang kau lipat dalam senyum
Yang kau sebut itu
-kenangan
Menjelma kepiluan yang tak pernah usai

Sayang, kau tak usah memaksakan kepalsuan
Hidup adalah kesakitan yang tak pernah usai
Maka rubahlah semua kenangan menjadi bayangan

12/12/12

Selasa, 11 Desember 2012

Balada Perpisahan

Ketika sunyi siap menepi dalam tangis yang hampir usai, kau serupa sauh yang tak hendak diangkat
Lalu waktu membatu di sekitarmu menepis fajar yang hendak menampakkan senyum keemasannya.
Kita tak pernah benar-benar menjadi tua kawan, kita juga tak penah benar-benar akan mati
Yang terlalui hanyalah semua yang hanya akan menjadi masa lalu, dan kita akan tetap hidup pada masa lalu.
Hidup sebagai kenangan yang tak pernah tidur dan tak pernah bangun, bagai mendung yang menyimpan hujan.
Menangislah, dan buang semua airmata itu lalu kita kemas semua kenangan dan masa lalu
Dan bersiaplah untuk melangkahkan kaki kita pada bab kehidupan yang lain, yang lebih kejam dari padang kurusetra dan lebih luas dari gurun sahara.
Kawan, pada pintu nasib kita menggantungkan hidup layaknya hiasan yang bergemerincing
Jika nantinya kita akan menjadi tua dan mati, tentunya hanya tubuh kita yang terhempas olehnya
Dan jika kita harus berpisah, pasti perpisahan yang indah akan terhidang sebagai santapan perjamuan terakhir kita.