Minggu, 26 Agustus 2012

Kenangan


Pada sepi yang tak kunjung reda
Kita mencipta cumbu di pojok kelas
Mengemas kenangan rapat-rapat dalam ingatan
Lantas membawanya pulang sebagai suatu senyuman

Pada bab kehidupan selanjutnya
Kita harus bertarung dengan kepulangan dan kepergian
Dan kenangan tentang cumbu
Masih membeku pada tiap marka jalan
Yang kita eja sebagai garis nasib

Pada sepi yang setiap hari mampir
Dalam ingatan tentang senyuman
Kita saling menatap pada bintang yang sendirian
Berharap kenangan tak segera menguap

Lalu ketika kita siap membuka masa lalu
Pada setiap kepulangan dan pertemuan
Kita tak lagi menemukan sisa cumbu di pojokan kelas
Semua rata, hancur bersama sekolahan dimana kita mencipta kenangan

Kamis, 23 Agustus 2012

Nikah

 ~tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu (Gie)




anak e paklekmu arep nikah suk sak durunge riyoyo besar.” apa saya tidak salah dengar dengan apa yang dikatakan ibu saya itu, sepupu saya mau menikah sebelum idul adha, padahal kabar terakhir yang saya terima ketika ke rumah paklek dulu, sepupu saya itu baru masuk kuliah di salah satu universitas islam di Lamongan. Ah, kenapa nasib begitu cepat berubah.

Saya memang selalu ketinggalan jika ada kabar pernikahan di keluarga besar saya, mungkin karena sifat apatis saya. Kabar pernikahan sepupu saya itu begitu menghantam jantung, lalu nafas keluar tersengal seketika. Sebenarnya sudah ada satu sepupu saya yang setelah lulus SMA dia menikah dan kemarin ketika bertemu, dia sudah menggendong anaknya yang berumur satu tahun, begitu cepat waktu menggiring nasib. Mendengar kabar sepupu akan menikah itu membuat saya kembali teringat masa-masa ketika masih sering menangis.

Ya, dulu ketika kami masih mengelap ingus dengan lengan baju, kami sering menghabiskan waktu bersama, berlari ke halaman tanpa pakaian, bermain sepeda dengan ugal-ugalan, bahkan saling menggosok badan ketika mandi bersama. Yah waktu itu belum ada nafsu ketika kami sama-sama melihat tubuh telanjang satu sama lain, yang ada hanya sifat kekanakan yang selalu dihiasi senyum dan tangisan.

Itu dulu, sekarang satu sepupu saya sudah menggendong anak, dan satu lagi akan menikmati bagaimana rasanya bergumul dengan suami. Kedua sepupu saya itu adalah wanita yang hebat, mereka mungkin mengenal Siti Nurbaya dan memaknai hidup sepertinya, tapi jika nasib sudah membuka pintu kita tidak akan bisa ingkar untuk melewatinya.

Satu lagi sepupu saya, seorang laki tapi bukan laki sial seperti saya yang masih harus memeras kantong orang tua. Sepupu laki saya itu sudah bekerja, walaupun dia hanya lulusan SMA dan dia sepertinya bahagia dengan pekerjaannya itu, dia sudah bisa membeli kendaraan untuknya juga untuk orang tuanya dan tentu dia juga siap untuk menikah dengan modal itu. Tapi sampai sekarang dia juga belum menikah.

Mungkin Gie tak salah mengatakan “tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu” dan kita pun tak akan pernah tahu walaupun kita selalu menentukan tujuan hidup kita sendiri-sendiri. Semua kembali pada pintu nasib yang akan terbuka natinya.

Ah, saya juga teringat bagaimana hampir 80% kawan SD saya sudah berkeluarga. Ketika saya pulang ke rumah saya melihat senyum-senyum menyembul dari wajah kawan SD saya yang sudah menggandeng seseorang di sisinya, dan saya pun membalas senyum mereka tentunya. Tapi ada seorang kawan SD yang mempunyai nasib sama seperti saya, masih tetap memeras kantong orang tua dan kami berdua sering sekali berbicara tentang masa lalu dan tentang gendongan anak-anak dari kawan-kawan kami.

Pernikahan, menurut gie hanya kontak malam antara laki dan perempuan. Pada hakikatnya memang seperti itu tapi ada yang kita tanamkan dalam sebuah pernikahan, entah apa itu tentunya para lelaki dan perempuan yang telah menikah pasti tahu itu. Seperti sepupu saya yang akan menikah sebelum idul adha nanti, dia pasti tahu apa yang akan dia lakukan dan dia tanamkan dalam keluarganya.

Yah semoga sepupu saya setelah menikah nanti masih mengingat bagaimana kita berlari tanpa pakaian di depan rumah, dan semua yang kita lakukan waktu kecil dulu. Dan tentunya semoga kau temukan keluarga yang bisa menanamkan kenangan dan membukakan pintu nasib untukmu.

Nah, barusan saya dapat sms dari teman yang senasib dengan saya dia mengajak saya ngopi dan tentunya dipenuhi obrolan tentang masa lalu dan “tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu.”

Minggu, 19 Agustus 2012

Jalan Terjal Pers Mahasiswa*


Judul              : Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
Penulis            : Moh. Fathoni
Penerbit          : Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia dengan Penerbit PT Komodo Books
Cetakan          : Cetakan ke-1, April 2012
Tebal              : xiv + 194 hlm
ISBN               : 978-602-9137-09-5


Membaca buku Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia ini seperti menyelami sebuah danau sejarah yang sangat dalam.  Pers mahasiswa ternyata mempunyai sejarah yang sangat panjang dan perjalanan yang tidak mulus di jelaskan dalam buku ini. Buku yang di susun untuk mengungkap sejarah pers mahasiswa sejak kemunculannya hingga sekarang ini dan perjalanan pers mahasiswa yang mengambil jalan perlawanan dan mungkin juga menggantikan peran pers umum pada tahun 1998.

Pemerintahan orde baru yang benar-benar otoriter dan usaha untuk membungkam fungsi pers umum dan terkesan menghalang-halangi gerakan mahasiswa juga begitu terang di jelaskan dalam buku ini. Para pegiat pers mahasiswa pada awal kemunculannya hingga sekarang dan data-data kegiatan juga pertemuan-pertemuan menjadi narasumber utama bagi buku ini.

Jalan Terjal
Buku yang ditulis oleh para alumni PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia) ini merekam perjalanan organisasi pers mahasiswa sejak bernama IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) yaitu gabungan dari dua organisasi pers mahasiswa yang terbentuk sebelumnya dalam konferensi pers mahasiswa I di Kaliurang pada 8 Agustus 1955, yaitu SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia) dan IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia). IPMI sebagai organisasi pers mahasiswa nasional pada saat itu melewati perjalanan yang sulit, sehingga tidak menjalankan funsinya dengan baik. IPMI kemudian jatuh dan tak menunjukkan eksistensinya semenjak pergantian rezim Orde lama ke rezim Orde baru.

Dituliskan dalam buku ini bahwa kepengurusan IPMI pada tahun 1980 semakin meredup, tidak ada lagi kegiatan ataupun pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan, bahkan pada saat itu beberapa media pers mahasiswa dilarang terbit. Kegelisahan para pegiat pers mahasiswa semakin menjadi karena IPMI tidak juga menunjukkan tajinya. Jalan yang terjal dilewati para pegiat pers mahasiswa, mulai dari kegiatan yang begitu dibatasi, pemberedelan media pers mahasiswa ada dimana-mana dan yang paling besar adalah dikeluarkannya kebijakan NKK/BKK, yaitu kebijakan penerapan penerbitan khusus, dan tindakan represif pemerintah melalui state apparatus-nya bisa jadi melemahkan dan merepotkan gerakan mahasiswa.

Semua kebijakan pemerintahan Orde baru yang mengebiri kegiatan mahasiswa khususnya pers mahasiswa dituliskan dalam buku ini. Data-data yang dulu kembali dimunculkan, sebagai pengingat dimana dulu pers mahasiswa menghadapi perjuangan yang tidak gampang karena sekarang tak ada lagi peraturan yang mengebiri kebebasan pers umum maupun pers mahasiswa.

Kemunduran demi kemunduran IPMI digambarkan pada buku ini, juga kegelisahan para pegiat pers mahasiswa yang butuh wadah baru pengganti IPMI yang semakin jatuh. Kejatuhan IPMI dan kegelisahan para pegiat pers mahasiswa menjadi sejarah awal terbentuknya PPMI. Pertemuan-pertemuan giat dilakukan oleh para pegiat pers mahasiswa untuk menghasilkan wadah baru, tapi pertemuan-pertemuan itu pun diawasi oleh pemerintahan Orde baru. Para pegiat pers mahasiswa tidak gentar. Kecerdikan para pegiat pers mahasiswa dituliskan di buku ini dengan diadakannya pertemuan-pertemuan yang ditutupi dengan kegiatan pelatihan jurnalistik mahasiswa se-Indonesia. Pertemuan dengan kedok pelatihan jurnalistik itu berhasil dan pada awal tahun 1990 terbentuklah organisasi dengan nama Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia yang akhirnya berubah menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia karena pertimbangan pada kerja yang dilakukan organisasi tersebut.

Tapi PPMI bukanlah anak atau turunan dari IPMI karena dalam buku ini dituliskan “Perlu dicatat pula, kelahiran PPMI bukan merupakan fase kelanjutan dari organisasi pers mahasiswa sebelumnya: Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Pun bukan berarti anti-tesa dari organisasi pendahulunya itu. PPMI lahir karena kehendak generasi zaman, dimana represifitas semakin menggila.” (Halaman 2).

Masih seperti IPMI yang melalui jalan terjal, PPMI juga harus bergelut dengan perintahan pada saat itu. Pertemuan demi pertemuan masih dibatasi oleh pemerintah karena PPMI bukanlah organisasi dengan legalitas. Tertulis dalam buku ini: “Kehadiran PPMI tidak dikehendaki penguasa kala itu karena terbentuknya PPMI tidak memiliki legalitas organisasi. Akhirnya, gerakan bawah tanah menjadi suatu pilihan.” (Halaman 2). PPMI sebagai wadah LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) yang berada dalam naungan kampus selalu berusaha dalam meperjuanangkan kebebasan pers mahasiswa, tapi usaha-usaha itu sangat sulit ketika berbenturan dengan pemerintahan pada waktu itu.

Gerakan Pers Mahasiswa
Periodisadi yang runtut menjadi salah satu kelebihan buku ini. Sejarah dituliskan sejak terbentuknya PPMI hingga usaha PPMI yang tak langsung ikut serta dalam penggulingan Soeharto pada pemerintahan Orde baru. Usaha-usaha para pegiat pers mahasiswa dalam PPMI untuk mendapatkan kebebasan mendapat dukungan dari para wartawan umum, salah satunya adalah Mochtar Lubis, ditulis dalam buku ini ketika Mochtar Lubis memberikan ceramah jurnalistik pada 2 Juli 1986 di Unas Jakarta, dia menyinggung mengenai kebebasan pers dengan berkata “Sudah Saatnya Pemerintah Lebih Terbuka kepada Pers,” (Halaman 30).

Tapi usaha untuk mendapatkan kebebasan itu malah berbalik, karena pemberedelan kembali terjadi pada media-media pers mahasiswa saat itu dengan alasan yang begitu sepele. Tabloid SAS (Sarana Aspirasi Mahasiswa) Fakultas Sastra Universitas Jember menjadi salah satu contoh media pers mahasiswa yang dibredel dalam buku ini. Tabloid SAS dibredel hanya karena memuat wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer dan mencetak tebal kata “rezim otoriter” pada tajuk rencananya.

Tak hanya Tabloid SAS, dalam buku ini disebutkan semua media pers mahasiswa yang diberedel pada saat itu, media umum yg diberedel pun juga disebutkan. Tapi PPMI tidak gentar menghadapi pemberedelan beberapa media itu, para mahasiswa yang ada di dalam PPMI semakin geram dan mencoba melawan.

Tragedi 1998 ketika pemerintahan Soeharto berhasil digulingkan juga dilukiskan dalam buku ini, khususnya peran pers mahasiswa pada saat tragedi 1998 itu. Pemberitaan demi pemberitaan juga pengawalan isu dilakukan oleh aktivis pers mahasiswa, walaupun mereka terus menghadapi halangan. Tak hanya pers mahasiswa saja yang menghadapi halangan dalam melakukan kegiatan, tapi semua kegiatan mahasiswa saat itu begitu dibatasi. Akhirnya para mahasiswa pun mempunyai satu musuh bersama atau common enemy yaitu pemerintahan Orde baru. Akhirnya semua aktivis mahasiswa dari segala kalangan termasuk aktivis pers mahasiswa pun bergerak dan berhasil menggulingkan pemerintahan Orde lama.

PPMI Masa Kini
Selain sejarah terbentuknya dan perjalanan PPMI dari awal, buku ini juga merekam berbagai kritik terhadap kinerja PPMI masa kini atau setelah terjadinya Tragedi 1998. Dalam buku ini dituliskan bahwa PPMI setelah tragedi 1998 seperti kehilangan orientasi karena tidak adalagi musuh bersama, bahkan dijelaskan pula permasalahan-permasalahn sepele yang mengguncang PPMI dari keluarnya beberapa LPM dari naungan PPMI sampai permasalahan internal yang begitu pelik dalam PPMI.

Tak hanya kritik yang ada dalam buku yang ditulis oleh Moh. Fathoni, dan kawan-kawan. Buku ini merekam semua semangat dan perubahan pada tubuh PPMI yang sampai sekarang masih bertahan sebagai organisasi yang membela kepentingan rakyat secara independen dan belum mempunyai legalitas. PPMI sebagai pers alternatif di samping banyaknya media umum karena tidak ada lagi undang-undang yang menghalangi kebebasan pers saat ini. “Pemberitaan dan isu yang diusung media persma harus mampu menyentuh persoalan-persoalan kerakyatan, bahkan lebih jauh harus mampu melakukan pembelaan.” (Halaman 172)

Buku dengan cover berwarna merah ini adalah salah satu buku yang harus dipunyai oleh para pegiat pers mahasiswa sekarang, karena dengan membaca buku ini kita akan mengetahui betapa terjal jalan sejarah yang harus dilewati oleh para pegiat pers mahasiswa dulu. Sayangnya dalam buku ini ada beberapa periodisasi tahun yang selalu diulang-ulang, sehingga mungkin membuat para pembacanya bingung dan bosan.

Tapi disamping itu buku ini sangat layak untuk dibaca karena masa depan adalah sejarah yang diulang, dan buku ini memuat sejarah panjang terbentuknya organisasi mahasiswa yang sedikitnya memberikan perubahan terhadap pemerintahan di Indonesia. Buku yang begitu bagus merekam kronik dari perjalanan terjal para mahasiswa yang mengabdikan hidupnya untuk berjuang dalam organisasi pers mahasiswa untuk melawan tirani kekuasaan yang dianggap tidak membela rakyat.


*)Resensi ini dimuat di Tabloid Prioritas

Rindu


Berikan semua airmatamu dan akan kugantikan hujan