Rabu, 25 Januari 2012

Aku Mendakwah Hamka Plagiat: Sebuah usaha Mengingat Kembali


Muhidin M Dahlan penulis buku trilogi Lekra Tak Bembakar Buku adalah seorang penulis yang disegani di Indonesia. Pada tahun 2011 dia kembali menulis sebuah buku Saya Mendakwa HAMKA Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964. Dalam buku itu Muhidin mencoba menguak kembali skandal sastra Indonesia tentang tuduhan plagiat terhadap Haji Abdul Malik Amrullah (HAMKA) dalam roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Sebelum Muhidin menulis bukunya itu, terlebih dahulu H.B. Jassin bersama Amir Hamzah juga pernah menulis buku tentang kasus plagiat HAMKA itu, dalam buku yang berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijck Dalam Polemik. Tapi Muhidin dan H.B. Jassin ada di dua kubu yang berbeda, Jassin di kubu yang membela HAMKA bukan plagiat dan Muhidin di kubu yang menentang HAMKA.


Tahun 1963, skandal sastra mengenai plagiarisme HAMKA berkembang dan pada tahun 2011 isu itu kembali dianggkat oleh Muhidin M dahlan dalam bukunya Aku Mendakwa HAMKA Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1963-1964. Dalam bukunya muhidin mencoba menguak lebih dalam tentang plagiarisme HAMKA yang sudah habis-habisan dibahas oleh lembar lentera Bintang Timur. Muhidin menampilkan lagi artikel-artikel yang telah dimuat dalam lembar lentera mengenai plagiarisme HAMKA, selain itu Muhidin juga menampilkan Idea Script yaitu gagasan yang disarikan dari perbandingan kalimat demi kalimat yang tersusun berturut dan Idea Strip semacam metode yang berasal dari permainan jiplak anak-anak.

Tapi di dalam buku Muhidin ini lebih banyak membahas apa yang telah di lakukan oleh lembar lentera Bintang Timur, yaitu memuat artikel-artikel mengenai plagiarisme HAMKA yang diberi nama Varia HAMKA. Kebanyakan artikel-artikel yang dimuat lembar lentera dan kemudian ditampilkan lagi oleh Muhidin dalam bukunya bukanlah hasil analisis megenai novel karya HAMKA, melainkan cemooh-cemooh pedas yang ditujukan untuk HAMKA. Dari situ kita dapat melihat adanya unsur politik untuk menghabisi HAMKA.

HAMKA adalah seorang tokoh agama asal Minang. Roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah roman yang laris terjual pada angkatan pujangga baru, karena isinya yang mampu membuat pembacanya meneteskan air mata. Tapi ketika novel itu sudah terjual laris, ada kabar yang menyebutkan bahwa roman karya HAMKA itu adalah hasil plagiat dari novel Prancis Sous les Tilleuls, yang ditulis oleh Alphonse Karr dan telah disadur oleh Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi kedalam bahasa arab berjudul Majludin


Pramoedya Ananta Toer sebagai pemegang lembar lenteralah yang bertanggung jawab atas semua artikel yang masuk ke dalam lembar lentera, dan sebelum terjadi skandal plagiarisme ini ada sebuah perdebatan budaya antar lembaga kebudayaan yaitu Lekra dan Manikebu, Pram ada di pihak Lekra dan Jassin pembela HAMKA ada di pihak Manikebu, walaupun kasus HAMKA ini selesai karena keputusan pemerintah sebelum Manikebu lahir, tapi dari dapat dilihat Surat Kepercayaan Gelanggang, yang dikeluarkan oleh para seniman yang berbeda faham dengan Lekra.

Di dalam bukunya Muhidin menuliskan bahwa kabar roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck itu adalah saduran muncul pertama kali ketika harian Bintang Timur dalam lembar Lentera (lembar budaya dalam harian Bintang Timur) yang dipimpin oleh Pramoedya Ananta Toer memuat essai Abdullah SP, tentang kesamaan roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck dengan film yang Abdullah SP tonton ketika dia kuliah di Arab, film yang dia tonton berjudul Dumu El Hub (Air Mata Cinta) yang di ilhami dari buku Majludin. Abdullah menulis dalam esainya:


“…Di sini aku lihat, bahwa HAMKA memang hakul-yakin mentah-mentah menjiplak, apanya yang berbeda, temanya, isinya, napasnya, Cuma tempat kejadian dan tokohnya yang disulap dengan menggunakan warna setempat tentu…”(Dahlan, 2011:31)

Tidak hanya satu esai saja yang dikirimkan Abdullah SP. Selanjutnya dalam esainya Abdullah membandingkan roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya HAMKA dengan roman Majludin karya Al-Manfaluthi. Setelah lembar Lentera memuat beberapa esai Abdullah SP tentang plagiat HAMKA. Cercaan, makian dan belaan bertubi-tubi muncul dari penentang dan pembela HAMKA.


“…Salah satu suara sumbangan berpendapat bahwa ini semua adalah kecemburuan Pramoedya terhadap HAMKA yang bukunya  laris manis seperti kacang rebus: 80 ribu eksemplar…”(Dahlan, 2011:184)
             Dalam buku Saya Mendakwa HAMKA Pagiat Muhidin memuat beberapa belaan dari beberapa sumber, termasuk H.B. Jassin yang setelah skandal itu diakhiri oleh pemerintah meresmikan sebuah organisasi yang dinamainya Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang mengusung ideologi Humanisme Universal.

Ode Untuk Malam

Sebelum mentari pagi ini menorehkan luka pada mu malam. Sejenak aku ingin lunglai dan lemas, karna kau yang begitu manja dengan pekat mu yang berhiaskan gemerlap senyum bintang, karna kau membuatku tertawa dalam dinding-dinding waktu mu. Malam yang sembab tak semenyeramkan yang mereka bayangkan, malam yang sembab begitu manis dangan senyumnya yang lugu memeluk bulan yang lindap, bagai anak kecil dengan mata berbinar lekat menggemaskan. Malam, Bulan, dan Bintang. Mungkin aku bisa ada dalam barisan senyum kalian? Menikmati hitam pucat yang begitu lekat dengan kensunyian yang mendamaikan. Maka malam, tolong bawa aku dalam cahaya pucat mu yang paling ku rindu.

Aku mencintaimu malam

Selasa, 17 Januari 2012

Kita Pernah Berbicara Tentang Cinta


Kita berdua pernah berbicara tentang cinta
Cinta yang lebih dari sebuah kisah
Tentang dua orang yang merasakannya

Cinta yang begitu mesra
Bagaikan angin yang mejadi badai
Badai asmara yang begitu hebat

Kita memang remaja yang sedang di rasuki asmara
Tapi aku tak mau merumuskan cinta
Aku hanya ingin menyatakan dan mengalaminya

Karna kita tidak hanya bercinta
Tetapi kita menciptakannya bersama
Disela-sela hati kita

Sementara itu, aku selalu ingat ketika hujan dulu
Kita bergurau di bawah rintiknya
Tak perduli raga kita akan basah

Kau memelukku lantas kau mengucap;
            "Kita tak perlu mengucap kata cinta, karna cinta ada di hati kita"
Akupun menjawab;
            "Tentu, karena cinta adalah sebuah sesuatu yang paling kecil, tapi selalu indah bagi kita berdua"
Sembari ku usap wajahmu
Dari air hujan yang tak akan pernah melunturkan kecantikanmu

Lalu, seperti daun yang diterpa hujan
Kita berdua terjatuh dalam sebuah danau
Danau yang berwarna cinta

Tapi ada saat kita dipaksa selalu menunggu
Walaupun menunggu adalah bagian dari sebuah pertemuan
Namun menunggu tetaplah menunggu

Kita menunggu karna jarak
Jarak adalah waktu yang tak pernah tercatat
Jarak yang menciptakan sebuah rindu

Tapi kita juga pernah berbincang dalam sebuah rindu
Berbincang tentang hidup kita kelak
Berbincang dalam danau berwarna cinta kita

Kita berbincang tentang sebuah rumah kecil ditepi sungai yang terpencil
Sungai itu mengalir dengan tenang bagaikan kehidupan kita
Dan hamparan padang rumput yang hijau tersaji dihadapan kita

Kita berbincang tentang sebungkus nasi yang akan kita makan berdua
Serta kesederhanaan yang akan menggenggam hidup kita
Dan kau tak pernah mengeluhkan itu
Kau selalu tersenyum ketika kita berbincang
 Tentang kesederhanaan yang akan kuberikan padamu
Karena kau berkata yang penting adalah cintaku padamu

Tapi cinta dalam hidupku ada pada urutan kedua
Karena yang pertama dalam hidupku
Adalah keselamatanmu sayang

Kita berdua pernah berbicara tentang cinta
Cinta yang tak pernah kita ucapkan
Tapi selalu kita rasakan dalam denyut kehidupan.

Duka Yang Dalam Pada Bulan Januari


Masih ingatkah kita apa yang terjadi pada tanggal 15 Januari tahun 1974 di Indonesia dulu ? Sebuah peristiwa yang akhirnya dinamai “Peristiwa Malari”, peristiwa yang sedikit demi sedikit hilang dengan kematian Presiden Soeharto.
Peristiwa yang mengakibatkan Jakarta diselimuti asap itu berawal ketika ada kunjungan dari Perdana Mentri jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk empat hari, dari tanggal 14 sampai 17 Januari 1974. Kedatangan Tanaka yang dianggap oleh mahasiswa sebagai simbol modal asing yang harus dihilangkan itu mengundang aksi demonstrasi mahasiswa. Para mahasiswa menyambut kedatangan Tanaka dengan berdemonstrasi di bandara Halim Perdanakusuma, tapi aksi demonstrasi itu dijaga ketat sehingga para mahasiswa tidak bisa masuk ke pangkalan udara.

Setelah tidak berhasil menerobos bandara Halim Perdanakusuma, para mahasiswa kembali menggelar aksi long march dari salemba menuju Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat pada tanggal 15 Januari 1974. Aksi long march itu mengusung tiga tuntutan, yaitu: pemberantasan korupsi; perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing; dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden.


Tapi sayangnya aksi ini kemudian berubah menjadi sebuah kerusuhan. Massa yang mengaku dari kalangan buruh menyerbu Pasar Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Mereka melakukan aksi penjarahan serta membaka mobil-mobil buatan Jepang.
Tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak atau dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan, setelah peristiwa itu. Peristiwa yang tidak ketemu jluntrungannya ini tidak diungkap oleh media pada saat itu, karena kebijakan media ada di tangan Presiden Soeharto.
Sebagian besar korban peristiwa itu adalah mahasiswa, karena mahasiswa yang melakukan aksi pada saat itu dianggap melanggar Undang-Undang Antisubversi, tapi akhirnya mereka dibebaskan karena di pengadilan mereka tidak terbukti melakukan pelanggaran. Dan setelah itu Undang-Undang Antisubversi menuai banyak kecaman dari berbagai pihak.


Masih ingatkah kita pada peristiwa yang menjadi tonggak sejarah kekerasan Orde Baru itu pada tahun 2012 ini ? Apakah kita akan tetap memperingati tahun baru yang hanya berisi kesenagan belaka daripada hari dimana sebagian kecil masyarakat Indonesia hilang pada bulan Januari ?
Semoga kita tetap merasakan duka yang mendalam di bulan Januari daripada merayakan tahun baru yang tidak akan membebaskan Indonesia dari hutang luar negerinya.

Referensi: Jejak Soeharto : Peristiwa Malari “The Shadow of an Unseen Hand” 

Foto: Google.com