Kamis, 30 Juni 2011

Aku Melihat Tuhan Bercinta Dalam Kamar Mandi

Kamar itu masih pengap, berantakan dan masih diterangi oleh lampu yang tidak bisa disebut terang. Kamar tanpa jendela itu adalah kamar ku, kamar yang selalu menjadi tempat membuang semua kekesalanku kepada anggota keluargaku yang selalu menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Tapi ada yang berbeda saat ini di kamarku, dua minggu mempersiapkan semua ini. Sebuah kamar mandi lengkap dengan bak air yang mengkilat, sebuah kamar mandi duduk, lantai keramik coklat, dan sebuah shower.
Tapi sayangnya tak ada yang memakai kamar mandi itu, padahal kebersihannya selalu ku jaga dan pintunya pun selalu terbuka. Keluargaku pun enggan untuk sekedar melihat kamar mandi buatanku ini. Memang aku bukan seorang pekerja bangunan atau insinyur.
Aku adalah seorang pengkhayal yang mendiami kamar yang pengap dan kotor. Menghayalkan sesuatu yang dianggap tidak penting oleh kebanyakan orang dan tak ku pungkiri aku sering menghayalkan hal yang jorok. Yah dari khayalanku aku mendapatkan uang, kanvas-kanvas hasil dari khayalanku kujual untuk keperluanku karena aku tak mau berebut uang dengan keluargaku yang lain.
Kamar mandi yang ku buat ini juga berasal dari kahyalanku, setelah aku mendengar kabar tsunami di Jepang. Aku mengkhayalkan bintang-bintang porno Jepang selamat dari terjangan tsunami dengan tubuh yang kotor, tapi mereka tidak menemukan tempat untuk membersihkan tubuh mereka, karena hampir semua air menjadi kotor terkena lumpur. Akhirnya aku tersentak berdiri dan muncul sebuah ide untuk membuat sebuah kamar mandi agar mereka bisa membersihkan tubuh mereka yang kotor.
Tapi aku benar-benar kecewa, karena setelah selesai tak ada yang mau memakai kamar mandi buatanku. Sudah satu minggu kamar mandi itu kubiarkan dengan kutambahkan beberapa perlengkapan lagi, yaitu beberapa sabun mandi beserta sikat giginya.Sudah lima hari berlalu setelah kutambahkan sabun dan perangkat yang lain, tapi tetap saja tak ada yang mau memakai kamar mandi buatanku itu. Sepertinya kamar mandi yang aku buat ini sudah lebih dari cukup dibandingkan dengan kamar mandi umum  atau yang kita sebut ponten yang ada di tempat-tempat umum.
Aku hanya berharap ada yang mau memakai kamar mandi buatanku. Padahal aku mebuat kamar mandi ini dengan niat baik ;  agar orang-orang yang badanya kotor bisa membersihkan dirinya, walaupun sempat terbersit ide jorok untuk bercinta dengan bintang porno jepang dalam  kamar mandi itu, menghunuskan si peni ke duburnya, ah tidak, dubur itu hanya untuk si mahatinja. Akan ku hunuskan saja ke vaginanya. Tapi bagaimana aku akan bercinta di dalam kamar mandi itu, sekarang saja tak ada satu pun orang yang mau melihat kamar mandi itu. Oh tuhan, apa yang kurang dari kamar mandi buatanku ini? Apa perlu kutambahkan penjaga yang siap diajak bercinta kapan saja?
Tuhan, ah ya tuhan. Jika yang pertama melihat kamar mandi buatanku ini adalah tuhan, pasti semua orang berbondong-bondong ikut  melihatnya. Dan aku bisa melihat kelamin tuhan, apakah dia mempunyai penis yang mencuat atau vagina yang masih rapat, atau jangan-jangan tuhan seorang banci. Tapi jika tuhan seorang perempuan, akan kuajak dia bercumbu dalam kamar mandi itu.
Oh tuhan, maukah kau menjadi yang pertama melihat kamar mandi yang aku buat ini?
Apa yang perlu ku persiapkan agar kau mau muncul di kamar mandi buatanku ini?
Karena aku ingin tahu kelaminmu tuhan!
Khayalanku semakin liar karena bayangan bercinta dengan bintang porno jepang sudah hilang, karena pasti lebih hebat jika aku bias bercinta dengan tuhan. Sudah 20 menit aku menunggu tuhan muncul di kamar mandiku, tapi tetap saja tak ada pertanda kedatangan apapun.
Tuhan penisku masih kendur
Apakah tuhan melihatku sekarang? Karena aku sedang telanjang menunggu kedatangannya.
Tuhan, apakah kau perempuan?
30 menit berlalu dan aku berhasil melihat tuhan dalam kamar mandi itu dengan kekecewaan, karena tuhan yang kugambar dalam lukisan kamar mandi itu adalah seorang lelaki dan dia sedang bercinta dengan bintang porno jepang idolaku.
Tapi akhirnya aku tersenyum gembira karena aku berhasil menambahkan pengguna kamar mandi itu dalam lukisanku.

Minggu, 19 Juni 2011

Saat Saya Perokok (aktif) dan Kamu Perokok (pasif); Suatu Hari di Sekitar Kereta

~Tulisan ini saya ambil dari catatan mas Como Bacomboi (M. Komarudin) yang ada di flasdisk saya ~

Siang hari di salah satu stasiun besar di Kota Surabaya. Pada suatu Sabtu, entah Sabtu yang mana. Salah satu Sabtu di bulan lalu. Iya, bulan lalu. Saya bersama beberapa ratus orang menunggu jemputan kereta yang sama. Kereta Sritanjung jurusan Yogyakarta-Banyuwangi.
Saya tiba di stasiun sekitar pukul satu siang. Sesuai yang tertera ditiket kereta, jadwal kedatangan kereta pukul dua lebih sepuluh menit. Dan pasti akan terlambat. Saya bisa pastikan itu, pasti. Saya masuk ke ruang tunggu stasiun. Saya perokok (aktif). Saya langsung merokok. Di dekat tembok stasiun. Ruas kiri rel stasiun. Agak jauh dari tempat duduk orang-orang. Saya berpikir akan menghabiskan beberapa batang untuk menunggu kereta datang. Belum habis satu batang, ada petugas keamanan stasiun yang menegur halus, “Mas, kalau merokok di sebelah sana” ujarnya seraya menunjuk bagian pojok stasiun. Saya segera mematikan rokok saya yang hampir habis dan segera meminta maaf.
Saya memperhatikan bagian pojok stasiun yang dimaksud satpam. Agak jauh dari tembok yang saya sandari. Sepi sekali disana, tak ada seorang pun. Padahal saya yakin dari sekian ratus orang penunggu jemputan kereta yang disini pasti ada beberapa orang perokok (aktif). Artinya, ada beberapa orang perokok (aktif) senasib dengan saya. Harus menahan diri untuk tidak merokok sejenak. Setidaknya sampai kereta datang.
Pojok stasiun yang dimaksud satpam itu saya pastikan tak berfungsi, dan itu wajar. Karena; satu, bagian pojok stasiun itu sangat jauh dari rel kereta pemberhentian. Resiko ketinggalan kereta sangat besar. Paling sial, kehabisan tempat duduk. Dua, pojok kanan stasiun mirip tempat pengasingan. Jauh dari keramaian. Intinya, sangat diskriminatif dan sangat tidak nyaman. Pantas saja, toko-toko kecil di sebelah kanan rel kreta banyak yang tutup. Beda nasib dengan yang di sebelah kiri rel kreta, sebaris dengan tembok yang saya sandari.
Kereta datang sekitar pukul tiga kurang sepuluh menit. Telat. Pasti. Saya masuk belakangan karena kebetulan bawa banyak barang. Ada yang aneh. Tidak seperti biasanya, penumpang yang sudah didalam kereta agak sepi. Sangat langka untuk akhir pekan. Saya duduk dengan tiga perempuan. Sangat berbeda jauh dengan kursi penumpang sebelah kanan saya. Seorang perempuan, dengan lima orang lelaki dan dua bungkus rokok di meja kecil depan tempat duduk.
Kereta berangkat beberapa menit kemudian. Agak lama juga karena lokomotif harus pindah tempat. Saya mulai merasakan hembusan angin. Mencium bau asap kereta. Menghirup asap rokok. Dua dari lima lelaki kanan saya merokok. Si perempuannya, menutup hidung dengan tutup kepala jaket. Saya hanya membanyangkan kenikmatan setiap hembusan. Hukum aktif, minoritas harus menyerah pada mayoritas.
Stasiun pertama, lewat. Stasiun kedua, lewat. Si perempuan yang sendiri masih menutup hidung dan mulut dengan tutup kepala jaket. Ternyata sudah tiga lelaki yang merokok bersamaan. Seorang lagi makan, dan saya yakin lelaki itu akan merokok setelah selesai makan. Satu lelaki lagi entah kemana, mungkin ke kamar kecil. Saya, hanya bisa membayangkan.
Benar sekali. Si lelaki yang tadinya makan sudah merokok. Tiga lelaki masih merokok. Empat lelaki merokok bersamaan. Si perempuan yang sendiri masih menutup hidung dan mulut dengan tutup kepala jaket. Satu lelaki belum juga datang, entah kemana. Saya agak lupa dengan rokok. Saya sibuk ngobrol dengan perempuan di depan saya. Tepat di depan saya.
Si lelaki yang hilang akhirnya datang. Celaka bagi si perempuan yang sendiri itu karena lelaki itu ternyata datang dengan sebungkus rokok. Jelas sekali bila dia adalah perokok (aktif) juga. Penampilannya kelihatan berbeda dengan tiga lelaki yang lain; ia berpakain ala santri. Nampaknya mereka bertiga sudah saling mengenal satu sama lain.
Dia mulai menyalakan rokoknya. Kemudian ngobrol dengan lelaki yang baru selesai makan. Dan ternyata benar. Si lelaki berpakaian ala santri, memang salah satu santri dari pondok pesantren di daerah Jawa Tengah. Si perempuan yang sendiri masih menutup hidung dan mulut dengan tutup kepala jaket. Sementara saya sudah sangat gelisah sekali. Ingin merokok.
Perempuan yang berada tepat di depan saya sibuk baca buku. Dua perempuan lagi kelihatan capek sekali, berusaha tidur. Saya pergi ke lorong kereta Cepat-cepat saya menyalakan rokok di dalam kamar kecil. Susah menyalakan rokok di luar. Anginnya kencang sekali. Entah berapa batang rokok yang saya habiskan di lorong kereta. Saya kembali ke tempat duduk semula. Stasiun Jember sudah di depan. Semoga asap rokok saya tak terhirup olehmu. 
(Di tulis oleh M. Komarudin dalam rangka lomba essai tentang kretek)

Hanafi ; Kacang Lupa Pada Kulitnya

(Resensi Novel Salah Asuhan)
  images from google

“Kawin campur itu sesunguhnya banyak benar rintangannya Corrie!”
Di zaman Balai Pustaka siapa yang tidak tahu dengan novel Abdoel Moeis yang berjudul Salah Asuhan, novel yang secara tematik agak mendobrak genre angkatan Balai Pustaka ketika pertama terbit karena Abdoel Moeis dengan berani mengambil tema yang luar biasa, yaitu perkawinan beda bangsa, yaitu antara Hanafi seorang bumipoetra dengan Corrie yang berbangsa Belanda. Tema yang sangat dahsyat karena ketika itu, novel atau roman yang muncul kebanyakan mengambil tema perbedaan adat.
Hanafi seorang pemuda bumipoetra yang bersekolah di Betawi. Disekolahannya dia, dididik bersama dengan orang Belanda sehingga dia terbawa dalam kehidupan teman-temannya yang berkebangsaan Belanda. Sifat Hanafi tidak mencerminkan seorang bumipoetra walaupun dia sudah kembali ke kampung halamannya di Solok, Sumatra Barat. Seolah Hanafi tidak mau lagi dianggap sebagai bumipoetra.
Sifat Hanafi semakin menjadi ketika dia mulai mencintai Corrie sahabatya dari kecil yang berkebangsaan Belanda, tapi sayangnya Corrie tidak membalas cinta Hanafi ketika itu, karena Corrie sudah mengganggap Hanafi sebagai kakaknya sendiri. Hanafi tak berkecil hati walau cintanya ditolak, malahan dia semakin mengejar-ngejar Corrie, sampai akhirnya Corrie pun larut dalam cinta Hanafi. Ayah Corrie yang mendengar dari anaknya sendiri bahwa dia ingin menikah dengan seorang bumipoetra mencoba menyadarkan Corrie, bahwa perkawinan campur beda bangsa akan membawa bencana, karena tuan De Busse ayah Corrie sudah mengalami itu, dia diasingkan dari keluarganya karena menikahi seorang gadis bumipoetra. Akhirnya Corrie pun sadar dan memutuskan untuk meninggalkan Hanafi.
                Setelah itu Corrie kembali ke Betawi untuk meneruskan sekolahnya dengan melupakan percintaan Hanafi dengan dirinya. Setelah mendengar bahwa Corrie berangkat ke Betawi, setiap hari Hanafi terihat lesu karena cintanya tega pergi meningalkan dia. Ibu Hanafi yang tak rela melihat anaknya sakit karena cinta mencoba untuk menenangkan Hanafi dan juga menerangkan bahwa seorang mamaknya sudah menjodohkan dia dengan anaknya yaitu Rapiah.
Hanafi mula-mula tidak mau menerima lamaran dari mamaknya itu karena dia tidak mencintai Rapiah, tapi setelah mendengar penjelasan Ibunya bahwa dia mempunyai hutang budi yang sangat besar kepada mamaknya yang telah menyekolahkan dia di Betawi akhirnya Hanafi mau menikah dengan Rapiah, wlaupun dalam hati Hanafi tidak mencintai Rapiah.
Setelah perkawinanya dengan Rapiah, Hanafi tetap saja bersifat layaknya bukan seorang bumipoetra, dai tetap bergaul dengan orang-orang Belanda dan tak memperhatikan istrinya Rapiah. Akhirnya lahirlah Syafei, anak Rapiah dan Hanafi, tapi seperti tak megenal lagi orang bumipoetra, Hanafi memperlakukan Ibunya dan Rapiah layaknya pembantu.
Ibu Hanafi yang mulai bosan dengan perlakuan Hanafi terhadap Rapiah memutuskan untuk berbicara perihal hubungan keluarganya, Ketika terjadi perdebatan antara Hanafi dan Ibunya tiba- tiba seekor anjing gila menggigit Hanafi di bagian tangannya, Hanafi pun dibawa ke rumah sakit tapi, rumah sakit di Solok tak bisa menanggani sakit Hanafi, akhirnya Hanafi dibawa ke betawi untuk berobat lebih lanjut.
Di Betawi Hanafi yang sudah sembuh bertemu dengan Corrie yang sudah ditinggal wafat oleh Ayahnya dan akan mendapatkan warisan jika dia sudah berumur 21 tahun dan sudah menikah. Hanafi yang  masih menyimpan cinta kepada Corrie pun mencoba untuk mendekati Corrie lagi. Corrie yang sudah tak punya saudara lagi menerima kehadiran Hanafi dengan hati yang berbunga-bunga. Sementara di Solok Ibu Hanafi bersama Rapiah menunggu kabar dari Hanafi yang tak kunjung pulang, mereka berdua mulai mengkhawatirkan Hanafi, apakah yang terjadi pada Hanafi di Betawi.
Pertemuan Hanafi dan Corrie di Betawi lama kelamaan menimbulkan perasaan cinta dalam diri keduanya. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menikah tanpa diketahui oleh keluarga Hanafi di Kolok, karena Hanafi sudah diangkat sebagai pegawai yang setara dengan orang Belanda di Betawi dan boleh menikah tanpa ada perwakilan dari keluarganya. Pernikahan Hanafi dan Corrie pun dilakasnakan dengan pesta kecil kecilan. Hanafi yang dari pertama tidak mencintai Rapiah mengirimkan sebuah surat ke Solok yang diterima oleh Ibunya dan Rapiah, surat itu berisi bahwa Hanafi telah menikah dengan Corrie dan mengembalikan gadis pilihan Ibunya –Rapiah- yang tidak dicintainya. Ibu Hanafi dan Rapiah yang menerima surat itu langsung menjatuhkan airmata mereka, tidak disangka anak satu-satunya yang dia miliki mengkhianati istri dan Ibunya sendiri.
Pernikahan Hanafi dan Corrie yang dari pertama dilandasi oleh rasa cinta ternyata tidak berjalan harmonis, sifat Hanafi yang selalu ingin menang sendiri menjadi pemicu pertengakaran dalam rumahtanga mereka berdua. Tuduhan-tuduhan Hanafi kepada Corrie dan pertengkaran dalam rumahtangga mereka pun menjadi pedang yang akhirnya menyebabkan perpisahan yang tragis akhirnya terjadi antara Corrie dan Hanafi . Corrie pergi meninggalkan Hanafi sendiri, selama tiga tahun tak ada kabar dari Corrie dan akhirnya Hanafi memutuskan untuk pulang dan meminta maaf kepada Ibunya.
Dalam novelnya Abdoel Moeis mencoba untuk menekankan benturan budaya timur dan budaya barat, perbedaan kepercayaan, dan perbedaan tradisi yang kuat. Tapi sayang di jaman sekarang perbedaan itu seakan dilebur.  Novel-novel Balai Pustaka masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad 19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme.
Tak lepas dari tendensi karyanya, Abdoel Moeis tetap menjadi seorang sastrawan yang membuat gebrakan pada angkatan Balai Pustaka, karena selain dia belum ada yang berani mengambil tema untuk roman atau novel seperti Abdoel Moeis.  Tapi yang paling khas dari angkatan Balai Pustaka adalah akhir cerita yang selalu diakhiri dengan kematian, entah itu tragis atau tidak. Karena kebanyakan tokoh utama dalam roman Balai Pustaka pasti meninggal, contohnya saja Siti Nurbaya Cinta tak Sampai karya Marah Rusli. Tokoh utama dalam roman Siti Nurbaya Cinta tak Sampai yaitu Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri meninggal di akhir cerita.
Tapi kita tidak boleh melupakan roman-roman Balai Pustaka karena itulah tonggak sastra di indonesia walaupun masih dipengaruhi oleh sastra dari luar negri.

Jumat, 17 Juni 2011

Zainudin dan Hayati ; Romeo dan Juliet di Indonesia


(Resensi Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck)
images from google
 

“Saya cinta akan dikau, biarlah hati kita sama-sama dirahmati Tuhan”(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck)
Itulah perkataan Hayati ketika menerima cinta Zainudin. Tentu kita ingat haya ti dan Zainudin, mereka adalah tokoh utama dalam novel karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Novel fiksi romantik yang berlatar di daerah Makassar, Minangkabau, Padang Panjang, Jakarta, Lamongan, dan Surabaya ini bertemakan perbedaan adat, tak jauh dari tema  di tahun angkatan Pujangga Baru.
Cerita dalam novel ini dimulai ketika Zainudin hendak pulang ke kampung halaman bapaknya -Pendekar Sutan- di desa Batipuh, Minagkabau. Zainudin yang berniat untuk belajar malah terjerumus ke dalam percintaan ketika dia bertemu Hayati. Tapi sayangnya Zainudin tak sanggup melawan adat warga kampung Batipuh karena dia dianggap orang asing dikarenakan Ayahnya dan satu lagi Zainudin dianggap tak ber-uang.
Akhirnya Zainudin memutuskan untuk pergi menuntut ilmu ke Padang Panjang. Tapi percintaan dia sejoli itu tetap tak bisa dielakkan karena antara Zainudin dan Hayati tetap berkirim-kirim surat, akhirnya Hayati pun memaksakan diri untuk pergi ke Padang Panjang dan dikarenakan Hayati mempunyai seorang sahabat yang tinggal disana, diizinkanlah Hayati untuk berangkat ke Padang Panjang. Khadijah nama sahabat Hayati yang bertinggal di Padang Panjang,  selama beberapa hari Hayati menginap di rumah Khadijah untuk memuaskan rasa rindunya kepada Zainudin.
Ketika suatu hari Hayati diajak oleh Khadijah dan kakanya Aziz untuk melihat pacuan kuda, bertemulah Hayati dengan Kekasihnya Zainudin tapi sayangnya Khadijah tak menghiraukan pertemuan kedua sejoli itu, malah Khadijah menyeret tangan Hayati dan meninggalkan Zianudin.  Tampaknya ada rasa tak suka di hati Khadijah kepada Zainudin. Akhirnya Khadijah yang tahu Aziz –kakaknya- menyimpan rasa kepada Hayati akhirnya mencoba menghasut Hayati agar dia meninggalkan Zainudin dan menikah dengan Aziz.
Setelah mendengar hasutan Khadijah, Hayati merasa bimbang dengan perasaannya kepada Zainudin, karena dibandingkan dengan Aziz, Zainudin lebih tak beruang. Setelah Hayati pulang ke desa Batipuh akhirnya pihak keluarga Aziz memutuskan untuk segera meminang Hayati. Setelah perdebatan panjang antara mamak-mamaknya, dengan segala rasa sesal Hayati menerima pinangan keluarga Aziz. Karena dalam pandangan mata mamak-mamak Hayati, Aziz lebih terpandang dibandingkan dengan Zainudin.
Zainudin yang mendengan kabar pinangan Aziz kepada Hayati seketika jatuh sakit. Dia terus mengigaukan nama Hayati. Akhirnya kedua induk semang yang menampung Zainudin dirumahnya yaitu Muluk dan ibunya memanggilkan dokter. Tapi  kata dokter, jika Zainudin tak dipertemukan dengan Hayati, Zainudin tidak akan sembuh. Dengan arahan sang dokter kedua induk semang itu membujuk keluarga Hayati agar Hayati diizinkan menjenguk Zainudin yang sakit dan ternyata keluarga Hayati mengizinkannya.
Akhirnya Hayati dan suaminya Aziz tiba di rumah yang ditempati Zainudin. Seperti mendapat mukjizat, Zainudin langsung bangkit dari tempat tidurnya dengan senyum yang merekah dari mukanya, tapi ketika melihat cincin kawin melingkar di jari Hayati Zainudin seakan meleleh dan menyuruh semuanya keluar dari kamarnya agar dia bisa menyendiri. Setelah kejadian itu Zainudin sadar bahwa Hayati sudah menjadi milik orang lain. Lalu Zainudin memutuskan untuk menempuh hidup yang labih baru tanpa Hayati, walaupun itu dirasa berat.
Bersama Muluk, Zainudin memutuskan untuk merantau ke Surabaya. Zainudin dan Muluk berjanji untuk setia bersahabat. Setelah sampai di surabaya Zainudin ternyata mendapat peruntungan dari keahliannya mengarang. Roman-roman romantis yang dia buat laris di pasaran. “Z” itulah nama samaran atau nama pena Zainudin.
Hubungan pernikahan Zainudin dan Hayati tidak berjalan harmonis, akhirnya mereka juga memutuskan untuk merantau ke Surabaya tanpa mengetauhi Zainudin ada disana. Pertemuan antara Zainudin, Hayati dan Aziz  berlangsung ketika ada undangan dari klub anak Sumatra, meraka semua diundang dalam acara itu. tapi seakan Zainudin sudah tak mengenali Hayati lagi ketika bertemu.
Ternyata setelah berpindah ke Surabaya, sifat Aziz yang suka mabuk-mabukan dan berjudi semakin menjadi, akhirnya Aziz mengalami kebangkrutan. Hubungan perkawinanya dengan Hayati pun semakin tidak harmonis. Sadar  telah melakukan kesalahan, Aziz mencoba untuk memperbaikinya. Dia menitipkan Hayati kepada Zainudin dengan menahan rasa malu dan memutuskan untuk ke Banyuwangi untuk mencari pekerjaan lain dan Zainudin pun setuju.
Tapi Zainudin masih bersikap seperti tak pernah mencintai Hayati. Karena frustasi dan depresi, Aziz bunuh diri. Berita itu diketahui oleh Zainudin dan Hayati dari surat kabar. Aziz  meninggalkan pesan agar Hayati menikah dengan Zainudin, tapi Zainudin malah menyuruh Hayati untuk pulang karena lebih baik Hayati bersama keluarganya di Batipuh. Sebelum pulang Hayati mencoba untuk mengetahui perasaan Zainudin yang sebenarnya kepadanya saat itu, akhirnya Hayati meminta bantuan kepada Muluk dan Hayati pun tidak sengaja menemukan sebuah foto besar di rung kerja Zainudin, foto itu adalah foto Hayati yang bertuliskan “Permataku yang Telah Hilang”. Tapi Zainudin mencoba berbohong bahwa dia masih mencintai Hayati.
Setelah itu Zainudin memberikan beberapa uang kepada Hayati untuk bekal pulang dan Zainudin tak bisa mengantarkannya pulang karena dia ada kepentingan mendadak di Malang. Akhirnya Hayati dengan hati bersedih memutuskan untuk pulang dengan membawa foto Zainudin yang sembunyi-sembunyi Hayati ambil dari ruang kerja Zainudin.
Dalam perjalanan pulang di kapal Hayati begitu gelisah, dipandanginya terus foto Zainudin yang dibawanya. Tanpa disadari ketika malam hari kapal yang ditumpangi Hayati yaitu kapal Van Der Wijck tenggelam. Sedangkan Zainudin sekembalinya dari Malang dia ingin menyusul Hayati, karena Zainudin tidak bisa membohongi hatinya bahwa dia masih mencintai Hayati. Tapi semua itu terlambat karena Zainudin tanpa sengaja membaca surat kabar yang menuliskan kecelakaan kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hayati di Tuban dekat Lamongan.
Besoknya Zainudin yang telah mengetahui berita itu segera menuju Lamongan. Saat itu Hayati sedang kritis. Zainudin pun mencoba mengungkapkan perasaan sebenarnya kepada Hayati. Hayati tersenyum dan mengatakan bahwa ia juga masih mencintai Zainudin. Setelah mengatakan itu, Hayati menutup mata untuk selamanya. Zainudin makin sedih dan depresi. Ia merasa bahwa Hayati meninggal adalah kesalahannya. Dia selalu berkunjung ke makam Hayati. Zainudin sering sakit- sakitan dan kurang produktif lagi dalam menulis roman. Tetapi sebenarnya dia sedang menyelesaikan karya besar. Enam bulan kemudian Zainudin meninggal. Karyanya sudah selesai dan dibukukan. Dan Zainudin dimakamkan di sebelah makam Hayati.
Itulah jalan cerita dari novel HAMKA yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Zainudin tak kuasa membohongi kesetiaan cintanya kepada Hayati dan Hayatipun tak bisa melupakan cintanya kepada Zainudin. Mungkin bisa disebut Zainudin dan Hayati adalah Romeo dan Juliet asal Indonesia karena kesetiaan cinta mereka, tapi yang coba disampaikan HAMKA di novel ini bukan hanya kisah cinta yang bisa membuat kita menitikan airmata ini. Perbedaan adat dan kekayaan itulah yang juga ingin disampaikan oleh HAMKA di novel ini.
Jiwa yang masih muda nampaknya tetap ada dalam diri HAMKA, walaupun dia sudah berusia 31 tahun saat dia menulis novel ini. Karena dia menulis sebuah karya dimana darah muda seseorang masih cepat mangalir dalam diri dan khayalan serta sifat masih bergelora dalam jiwa sang tokoh. HAMKA menuliskan novel ini dengan penuh kedalaman dan keluguan serta menyusun novel ini dengan rapi, sehingga menarik untuk dibaca.
Memang keseluruhan novel angkatan Pujangga Baru selalu mengangkat kisah percintaan, perbedaan adat yang kental dan perjodohan dan akhirnya tema-tema tersebut menjadi genre dari angkatan Pujangga Baru. Ditambah dengan bahasanya yang masih menggunakan bahasa melayu novel ini menjadi mendayu-dayu ketika dibaca. Pantas  jika Zainudin dan Hayati kita juluki sebagai Romeo dan Juliet asal Indonesia karena belum sempat mereka melangsungkan pernikahan, kematian sudah memisahkan mereka dan seperti tak ingin kehilangan Hayati Zainudin menyusulnya ke alam kubur, sama seperti juliet yang rela minun racun untuk menyusul romeonya. Tapi kita tidak bisa menyamakan novel ini dengan kisah Romeo dan Juliet karena novel ini memiliki tenden yang dahsyat ketika di masa Pujangga Baru.

Sabtu, 04 Juni 2011

Tembakau: Penguat Gigi dalam Budaya Nginang

“Sek, mbah durung nginang le, ben untune mbah kuat kanggo mangan (sebentar, nenek belum nginang nak, biar giginya nenek kuat buat makan)”

Itulah kata-kata yang terlontar dari nenek saya ketika saya mengajaknya makan, saya salut dengan nenek saya itu karena diusianya yang tidak muda lagi alias sudah 74 tahun masih kuat makan makanan yang keras seperti kerupuk dan yang lainnya. Budaya nginang, itu yang membuat gigi nenek saya tetap utuh dan kuat memakan makanan yang keras. Nenek saya mengaku bahwa dia sudah melakakukan budaya nginang sejak dia kecil, karena budaya nginang diwariskan turun temurun dari neneknya yang notabebne petani tembakau. Nginang adalah mengunyah sirih dan berbagai campuran antara lain kapur sirih, buah pinang yang masih muda, daun gambir dan yang terakhir adalah tembakau sebagai alat pembersih setelah mengunyah sirih sudah ada sejak dulu dan dipercaya sebagai kegiatan yang menyehatkan menurut orang-orang yang melakukannya, disamping itu juga menambah kecantikan dengan memberi warna merah di bibir, karena di jaman dahulu ada asumsi yang menyatakan bahwa wanita yang mempunyai bibir merah itu cantik. Tapi itu dibantah beberapa pihak kesehatan, karena sepertihalnya kretek, nginang juga menggunakan tembakau sebagai campurannya. Seperti dilansir dari ncbi.nlm.nih.gov, sebuah penelitian pernah dilakukan oleh National Board of Health and Welfare (1997) untuk melihat hal itu. Ternyata pada smokeless tobacco (produk tembakau non-rokok) termasuk nginang, dijumpai risiko kesehatan yang sama dengan merokok meski sedikit lebih kecil. Indonesia jelas sulit sekali menerima asumsi pihak kesehatan itu, walaupun di sisi lain Indonesia mendukung hari anti tembakau yang jatuh pada tanggal 31 Mei, tapi di Indonesia masih banyak masyarakatnya yang berbudaya nginang seperti yang dilakukan Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu menggelar tradisi nginang untuk menyambut datangnya Maulid Nabi Muhammad SAW.

 image from google

Yang menjadi permasalahan sebenarnya bukan budaya nginang, tetapi nginang campuran tembaku pada kegiatan nginang yang menjadi polemik pihak kesehatan. Sepertihalnya bahaya tembakau pada rokok. Tembakau pada kegiatan nginang juga mempunyai akibat pada kesehatan, tapi itu belum terbukti, karena beberapa orang yang melakukan kegiatan nginang bahkan mengaku kalau nginang itu menambah kesehatan mereka. Salah satu contohnya adalah Ibu Siami, (99). Nenek yang berumur hampir satu abad itu rela mengikuti sidang tentang bahaya tembakau sambil nginang, menurutnya dengan nginang dia tetap sehat sejak dia muda dulu sampai sekarang. Bambang Giatno Rahardjo, Kepala Badan SDM Kemenkes lah yang mengajukan Ibu Siami dalam rangka pembuktian pasal 113 ayat 1,2 dan 3 tantang bahaya tembakau itu salah, karena buktinya Ibu Siami masih kuat melakukan kegiatan sehari-hari seperti masyarakat yang lain walaupun dia menggunakan tembakau dalam kegiatan nginang.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah dampak negative nginang, walaupun pihak kesehatan sudah mengeluarkan aumsinya tentang dampak negative nginang, tapi asumsi itu masih dapat dibantah oleh para pegiat nginang dengan keadaan mereka yang sehat wal afiat bahkan gigi mereka tetap kuat seperti nenek saya. Tapi  pihak kesehatan tidak sepenuhnya salah, karena nginang masih mempunyai dampak negative, tapi tidak pada klesehatan tapi pada lingkungan, karena sering dijumpai para pegiat nginang membuang ludahnya yang berwarna merah itu sembarangan, tapi masalah itu sudah dapat diatasi dengan munculnya tempolong sebagai wadah air ludah bekas nginang.

 image from google

Nenek saya dan Ibu Siami adalah dua bukti wanita yang melakukan budaya nginang tetapi masih sehat dan kuat, lalu apakah pemerintah tega mengebiri hak mereka sebagai warga Negara Indonesia dikarenakan tembakau yang mereka gunakan sebagai campuran budaya nginang. Apa mereka harus meninggalkan budaya yang sudah diwariskan turun temurun dari nenek mereka gara-gara tembakau. Sepertihalnya kretek yang menggunakan tembakau, nginang juga perlu dilestarikan, karena nginang  sekarang sudah mulai ditinggalkan. Pelestarian budaya mengkretek atau nginang ini tidak merugikan siapa-siapa melainkan kita malah membantu para buruh tembakau dan buruh pabrik rokok, maka dari itu mari kita lestarikan budaya  asli Indonesia bukan hanya nginang dan kretek saja tapi kebudayaan yang lain agar kita tidak lagi kehilangan kebudayaan asli Indonesia.