Rabu, 13 Juni 2012

Kretek; Budaya Yang Lekat Dengan Indonesia

Foto Oleh Romdhi Fakthur Rozi - Petani Tembakau di Kalibaru

Jika kita berbicara tentang Indonesia tentunya kita tak mungkin melepaskan pembicaraan mengenai budaya Indonesia. Indonesia adalah Negara yang mempunyai banyak suku dan kaya akan kebudayaan, antara lain tari-tarian, batik, dan banyak lainnya. Tapi sayang beberapa diantara kebudayaan Indonesia diakuisisi oleh Negara lain yang mengaku memiliki kebudayaan itu. Meski perdebatan mengenai kebudayaan Indonesia yang sering diakui oleh bangsa lain, Indonesia masih menjadi Negara yang kaya akan budaya, dan salah satu kebudayaan di Indonesia yang sekarang mengalami masalah adalah kebudayaan mengkretek.


Kebudayaan mengkretek sebenarnya sudah mendarah daging di Indonesia, bahkan kebudayaan mengkretek juga diceritakan dalam dongeng, sebut saja kisah Rara Mendhut yang ditulis oleh Ki Patraguna pada tahun 1791. Dalam kisah Rara Mendhut diceritakan bahwa Roro Mendut dibebani pajak oleh Tumenggung Wiraguna sebesar tiga real sehari yang disebabkan cinta Tumenggung Wiraguna ditolak oleh Roro Mendut. Lalu untuk membayar pajak yang dibebankan oleh Tumenggung Wiraguna maka Roro Mendut mencoba untuk memproduksi rokok. Alhasil rokok produksi Mendut diserbu peminat khususnya kaum pria, dan salah satunya adalah Pranacitra yang kemudian menjalin cinta dengan Mendut.(Legenda Roro Mendhut).

Selain kisah Roro Mendhut ada seseorang asal kudus yang mencoba meracik campuran tembakau dengan cengkeh untuk mengobati penyakit asmanya, dia adalah Haji Djamahri. Hasil racikan Haji Djamahri yang akhirnya mengawali lahirnya budaya mengkretek di Indonesia. Lalu setelah Haji Djamahri meninggal Nitisemito melanjutkan pemroduksian produk rokok kretek ini dalam sekala besar. Dua cerita tadi adalah awal budaya mengkretek di Indonesia di mulai, lalu mengapa mengkretek disebut sebagai budaya Indonesia? bukankah di Negara lain juga ada rokok yang sama dengan kretek?.


Budaya mengkretek di Indonesia tidak sama dengan budaya merokok di Negara lain dikarenakan bahan dasar kretek bukan hanya tembakau saja seperti rokok-rokok Negara lain. Bahan dari kretek adalah tembakau yang dicampur dengan cengkeh selain itu kertas yang digunakan membungkus juga berbeda dengan kertas rokok biasa. Klobot begitu para pengkretek menyebutnya, bahan dari kulit jagung yang sudah diolah itu dipakai sebagai pembungkus tembakau yang sudah dicampur dengan cengkeh.


Tak hanya proses menyampur tembakau dengan cengkeh saja yang hanya dimiliki oleh Indonesia, cara membungkus tembakau yang dilakukan sendiri oleh para pengkretek juga masuk dalam budaya Indonesia. Nggelinting sebutan untuk proses pembungkusan tembakau dan cengkeh menjadi kretek. Proses pembuatan dan bahan yang dipakai inilah yang membuat kretek bisa disebut sebagai budaya asli Indonesia, karena di Negara lain tidak ada proses seperti yang terjadi di Indonesia bahkan tembakau yang dipakai untuk meproduksi rokok di Negara lain pun diimport dari Indonesia.


Tapi sayangnya budaya mengkretek di Indonesia sekarang semakin dibatasi karena dianggap mengganggu kenyamanan di tempat umum serta asap yang dihasilkan dari budaya mengkretek dapan menyebabkan berbagai penyakit dalam. Tapi jika budaya mengkretek dihilangkan dari Indonesia berarti satu lagi kebudayaan Indonesia yang hilang dan tentunya para petani tembakau di Indonesia kanan segera gulung tikar karena mata pencaharian mereka dihilangkan.


Dan jika tidak ada petani tembakau bagai mana nasib tari Lahbako, sebuah tarian yang melambangkan pesta panen tembakau yang dilakukan oleh petani tembakau di Indonesia. Mengkretek adalah salah satu budaya yang paling lekat dengan Indonesia tak hanya banyak orang Indonesia yang suka mengkretek, juga karena banyak dari masyarakat Indonesia yang bertani tembakau juga banyak industri rumahan yang mengolah kretek.


Ada cerita yang membuat kretek begitu lekat dengan Indonesia. Kretek adalah salah satu faktor bangsa barat menjajah Indonesia, ladang tembakau yang melimpah mencolok mata para punggawa bangsa Barat untuk menjajah Indonesia. Dan menurut bangsa barat tembakau Indonesia adalah tembakau dengan kualitas nomor satu di dunia. Dengan bukti itu Indonesia sangat lekat dengan tembakau yang menjadi bahan utama kretek. Tak hanya cerita itu saja, seorang mentri asal Indonesia yang mengikuti konferensi antar Negara juga mempopulerkan budaya mengkretek asal Indonesia. Ketika mentri asal Indonesia itu menyalakan kreteknya, para mentri dari Negara lain tertarik dengan bau asap dari kretek produk asli Indonesia dan akhirnya para metri itu pun ingin mencoba kretek yang dinyalakan oleh mentri asal Indonesia itu.


Jadi jika para pakar kesehatan melarang kretek di Indonesia berarti mereka juga secara tidak langsung menghancurkan budaya Indonesia yang sudah dikenal di dunia. Sebagai rakyat Indonesia yang mencintai budaya asli Indonesia kita juga harus melestarikan budaya-budaya yang ada di Indonesia, termasuk kretek yang sangat lekat dengan masyarakat Indonesia sehari-hari. Dan jika kita berhasil melestarikan budaya mengkretek kita juga sekaligus memberikan lapangan pekerjaan bagi petani tembakau.


Jika di Jepang ada budaya melipat kertas atau origami di Indonesia juga ada budaya meracik dam membuat kretek dan kedua kebudayaan itu perlu dilestarikan di negaranya masing-masing. Jika kita sebagai bangsa yang mengenal budaya dan tidak mau memberdayakan kebudayaan itu berarti kita tidak mau menyelamatkan nasib bagsa kita sendiri, karena sebuah bangsa juga dibentuk oleh kebudayaan-kebudayaan yang ada dan upaya pelestarian budaya itu juga sangat penting untuk mempertahankan keutuhan bangsa. Jadi jika kita memberdayakan budaya mengkretek kita juga menyelamatkan kebudayaan Indonesia.[]

Sabtu, 09 Juni 2012

Tentang Sebongkah Cinta dan Rindu

Long Distance Relationship (LDR) hanya untuk orang-orang yang hebat.

Saya selalu ingat dengan kalimat itu, kalimat itu dilontarkan oleh salah seorang teman yang sudah saya anggap sebagai kakak saya sendiri. Como begitu biasanya dia dipanggil, dia adalah orang yang menurut saya telah merasakan pedih dan bahagianya sebuah kehidupan cinta, dia yang selalu menasehati saya ketika masalah datang melanda karena dia tahu saya adalah orang yang mengalami Long Distance Relationship (LDR). Saya mengaku kepadanya bahwa saya adalah lelaki yang rapuh, mudah sekali menangis dan kalut. Tapi dia selalu menyediakan senyum untuk saya agar saya tidak luluh dalam air mata. Mas Como hanyalah salah satu orang yang mengetahui kepedihan sebuah hubungan jarak jauh saya, tapi hanya dia yang bisa memberikan sebuah pencerah dalam kegelapan bagi saya.

Minggu-minggu ini obrolan warung kopi dipenuhi dengan bahasan tentang cinta dan saya selalu terdiam dengan senyum yang menyembul dari wajah saya. Layaknya seorang laki-laki yang kuat saya mencoba untuk mendengarkan dan mereka terus membawa pembicaraan itu menuju sebuah bahasan cinta yang absurd, dan LDR termasuk kedalam jalinan cinta yang absurd menurut mereka. Tapi saya tidak pernah menerima sebutan jalinan absurd untuk LDR.

Jalinan cinta jarak jauh atau LDR memang selalu dianggap paling sulit dijalani karena jarak dianggap momok besar yang menghalangi rasa cinta. Padahal jika kita  telah menjalani hubungan jarak jauh itu, kita akan merasakan sebuah cinta yang sakral, semacam cinta platonik. Karena dari jalinan cinta jarak jauh itu akan muncul sebuah kesabaran, kepercayaan, rasa rindu, dan hal-hal lainnya yang membutuhkan kejujuran yang penuh.

Saya tidak pernah mendefinisikan arti cinta, dan tidak akan bisa. Karena cinta tidak untuk didefinisikan tapi untuk dirasakan dan itu saya terapkan dalam kehidupan saya. Saya akui saya adalah pengecut yang selalu takut berkata tentang cinta, tapi ketika bertemu seorang Santi saya luluh, saya meleleh dan tenggelam. Walaupun saya tahu kalau nantinya diantara saya dan Santi dibentangkan jarak yang sangat besar. Saya menaruh kepercayaan kepada Santi begitu pula Santi yang selalu membimbing saya kepada perjuangan mencapai cinta yang tidak sesaat. Seperti yang pernah dituliskan oleh Puthut EA dalam novelnya Cinta Tak Pernah Tepat Waktu

“…biarkan aku mencicipi cinta yang bukan sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar bersetia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang beruntung mendapatkannya.”

Saya tak hanya belajar untuk bersetia ketika menjalani LDR tapi saya juga ingin tenggelam di dalamnya, menyelami seluk beluk cinta yang dibatasi oleh jarak dan saya berhasil menjalaninya bahkan saya mendapatkan lebih dari sebuah jarak yang terbentang itu, yaitu rasa saling percaya yang melandasi sebuah cinta yang sakral dan hanya orang-orang hebat yang mampu mendapatkannya dengan mempertahankan hubungan jarak jauh mereka.

Saya selalu bangga memiliki Santi walau hubungan saya dengan dia begitu jauh dan saya menghargai jarak yang menciptakan sebuah rindu. Saya dan Santi jarang bersanding berdua dan itu yang membuat hubungan kita tidak berlebihan, hanya memupuk rindu yang akan kita tuang dalam sebuah pertemuan yang indah.

“Sepasang kekasih tidak usah selau bertemu, selalu berciuman, dan selalu bergumul untuk mempersatukan diri mereka. Cinta membuat sepasang kekasih saling merindukan, menciptakan getaran cinta yang merayapi partikel udara dan melaju ke tujuan yang sama dalam denyutan semesta.”

Itulah yang ditulis Seno Gumira dalam cerpennya yang berjudul Hujan, Senja, dan Cinta. Seno adalah seorang cerpenis yang pernah menulis cerpen paling romantis menurut saya, walaupun cerpen tentang Sukab dan Alina itu berakhir tragis. Tapi apa yang ditulis Seno itu adalah sebuah kebenaran dari cinta. Cinta bukanlah tentang berciuman, bermesraan, bergumul dan segalanya yang sekarang selalu dikaitkan dengan kata cinta. Cinta menurut saya adalah ketika kita tersenyum ketika melihat pasangan kita bahagia dan itu yang membuat kita merasa hebat dan bahagia. Seperti apa yang pernah dikatakan mas Como kepada saya “Tunjukan bahwa kau adalah seorang lelali yang hebat dengan cintamu”.

Saya dan Santi mengalami apa yang dituliskan Seno dalam cerpennya itu dengan menjalin hubungan jarak jauh. Saya dan Santi adalah sepasang kekasih yang saling merindu, mencipta dunia sendiri dalam setiap pertemuan yang akan datang dan menciptakan tujuan hidup dalam sebuah cinta.

Rabu, 06 Juni 2012

Duli Politik Dalam Kebudayaan*

“Manikebu meninabobokan seniman, karena dia mengajak seniman-seniman jangan berpolitik” (Harian Rakjat, 2 Maret 1964)

Sejarah adalah sesuatu yang musti kita ketahui jika kita ingin menuju ke masa depan, salah satunya adalah sejarah kebudayaan indonesia pada tahun 1950-1965. Sejarah kebudayaan indonesia pada tahun itu atau bisa disebut jaman orde lama sangat erat dengan politik, karena kebudayaan pada saat itu dianggap sebagai sarana paling sangar untuk mencapai tujuan-tujuan berpolitik. Hampir semua partai mempunyai lembaga kebudayaan, sebut saja PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasianal), NU (Nahdatul Ulama) dengan Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dan Partindo (Partai Indonesia) dengan Lesbi (Lembaga Seni Budaya Indonesia). Hampir semua produk kebudayaan di masa itu berbau politik, bahkan surat kabar yang terbit juga tak lepas dari tangan-tangan politik karena surat kabar pada saat itu juga dikuasai oleh partai-partai yang ada.

PKI adalah partai yang paling dominan memegang kondisi politik saat itu dan menyebut diri mereka sebagai kaum kiri, progresif revolusioner dan pancasilais sejati. Sampai-sampai kehidupan budaya dan pers harus membuat garis batas pada pemikiran mereka jika tidak inggin dianggap sebagai kaum kontrarevolusioner, reaksioner dan anti-pancasila. Akhirnya pada saat itu berbagai kelompok kebudayaan, cendekiawan dan pers terbentuk menjadi dua kelompok yaiti kaum kanan dan kaum kiri. Kaum kiri adalah mereka yang mendukung komunisme dan revolusi, sedang kaum kanan adalah penentangnya, antara lain adalah partai dengan dasar agama.

Manifes kebudayaan yang selanjutnya disebut Manikebu oleh kaum kiri baru terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1963 setelah keluarnya Manifesto Politik (Manipol) yang dibacakan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959. Manipol didukung oleh kaum kiri yang juga didukung oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai kaum nasionalis seperti PNI dan Partindo. Para kaum kiri menyebut Manifes Kebudayaan dengan Manikebu bukan tanpa sebab, yang dimaksud Manikebu berasal dari kata Mani dan Kebo alias sperma kerbau, saling olok terjadi tapi bukan hanya itu, pertentangan antara orang-orang Manikebu dan para organ revolusioner terus berlanjut.

Orang-orang yang berada di balik pembuatan Manifes Kebudayaan antara lain adalah H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, Bur Rustanto, A. Bastari Asnin, Soe Hok Djin (Arief Budiman), Ras Siregar, D.S. Moeljanto, Sjahwil dan Djufri Tanissan. Mereka memutuskan untuk mengusung Humanisme Universal dalam Manifes Kebudayaan dan itu bertentangan dengan ideologi yang dibawa oleh Lekra yaitu Realisme Sosialis, tapi perdebatan antara Manifes Kebudayaan/Manikebu dan Lekra sebenarnya bukan hanya atas dasar ideologi mereka. Masalah politiklah yang mendasari semua perdebatan antara Lekra dan Manikebu. Lekra benar benar mengusung propaganda revolusi pada semua produk kebudayaan sedangkan Manikebu tidak se-extreme Lekra, orang-orang manikebu menganggap bahwa karya sastra harus lepas dari propaganda politik walaupun yang menjadi bahasan dalam karya sastra itu adalah kehidupan bermasyarakat.

Orang-orang Manikebu atau Manikebuis tidak menolak revolusi, para Manikebuis tetap mendukung revolusi dengan ideologi Humanisme Universal mereka. Universal yang dimaksud para Manikebuis adalah perjuangan manusia sebagai manusia sebagai totalitas dalam usahanya mengakhiri pertentangan antara manusia dan kemanusiaan. Tapi itu tidak diterima oleh orang-orang Lekra, Humanisme Universal dianggap tidak relevan dengan Manipol dan tujuan revolusi dan yang lebih cocok adalah Humanisme Sosialis. Perdebatan demi perdebatan mengenai kebudayaan pun semakin deras terjadi sejak kemunculan Manikebu dan diadakannya KKPI (Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia) yang didalamnya berkumpul para Manikebuis. Lekra semakin geram dengan gerakan kaum Manikebuis, akhirnya cemoohan-cemoohan pun dilontarkan untuk KKPI.

Selain ribut lewat guntingan Pers, surat-surat kepercayaan dan kegiatan. Perdebatan antara Lekra dan Manikebu juga terlihat dari karya-karya kebudayaan yang ada, contohnya saja roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka yang dituduh hasil plagiat dari karya Alphonse Kaar. Walaupun memang mirip dengan novel karya Kaar tapi aroma politik sangat tercium dari skandal sastra itu, karena hamka adalah salahsatu anggota partai Masyumi yang dilarang oelh Presiden soekarno. Bukan Cuma Hamka, masih banyak pengarang-pengarang yang diserang oleh Lekra karena alasan politik.

Manifes Kebudayaan pun akhirnya dilarang oelh Presiden Soekarno karena alasan bersebrangan dengan Manipol, juga atas intervensi yang dalam dari Lekra kepada Presiden Soekarno. Tapi walaupun Manifes Kebudayaan sudah dilarang perdebatan budaya masih berlanjut antara para kaum kiri atau Lekra bersama lembaga kebudayaan revolusioner lainnya dan kaum kanan yaitu mantan anggota Manifes Kebudayaan. Perdebatan-perdebatan mengenai kebudayaan yang di dasari politik itupun berakhir ketika terjadi Gerakan 30 September PKI.

*Tor diskusi kebudayaan di LPMS IDEAS