Foto Oleh Romdhi Fakthur Rozi - Petani Tembakau di Kalibaru |
Jika kita berbicara tentang Indonesia tentunya kita tak mungkin melepaskan pembicaraan mengenai budaya Indonesia. Indonesia adalah Negara yang mempunyai banyak suku dan kaya akan kebudayaan, antara lain tari-tarian, batik, dan banyak lainnya. Tapi sayang beberapa diantara kebudayaan Indonesia diakuisisi oleh Negara lain yang mengaku memiliki kebudayaan itu. Meski perdebatan mengenai kebudayaan Indonesia yang sering diakui oleh bangsa lain, Indonesia masih menjadi Negara yang kaya akan budaya, dan salah satu kebudayaan di Indonesia yang sekarang mengalami masalah adalah kebudayaan mengkretek.
Kebudayaan mengkretek sebenarnya sudah mendarah daging di Indonesia, bahkan kebudayaan mengkretek juga diceritakan dalam dongeng, sebut saja kisah Rara Mendhut yang ditulis oleh Ki Patraguna pada tahun 1791. Dalam kisah Rara Mendhut diceritakan bahwa Roro Mendut dibebani pajak oleh Tumenggung Wiraguna sebesar tiga real sehari yang disebabkan cinta Tumenggung Wiraguna ditolak oleh Roro Mendut. Lalu untuk membayar pajak yang dibebankan oleh Tumenggung Wiraguna maka Roro Mendut mencoba untuk memproduksi rokok. Alhasil rokok produksi Mendut diserbu peminat khususnya kaum pria, dan salah satunya adalah Pranacitra yang kemudian menjalin cinta dengan Mendut.(Legenda Roro Mendhut).
Selain kisah Roro Mendhut ada seseorang asal kudus yang mencoba meracik campuran tembakau dengan cengkeh untuk mengobati penyakit asmanya, dia adalah Haji Djamahri. Hasil racikan Haji Djamahri yang akhirnya mengawali lahirnya budaya mengkretek di Indonesia. Lalu setelah Haji Djamahri meninggal Nitisemito melanjutkan pemroduksian produk rokok kretek ini dalam sekala besar. Dua cerita tadi adalah awal budaya mengkretek di Indonesia di mulai, lalu mengapa mengkretek disebut sebagai budaya Indonesia? bukankah di Negara lain juga ada rokok yang sama dengan kretek?.
Budaya mengkretek di Indonesia tidak sama dengan budaya merokok di Negara lain dikarenakan bahan dasar kretek bukan hanya tembakau saja seperti rokok-rokok Negara lain. Bahan dari kretek adalah tembakau yang dicampur dengan cengkeh selain itu kertas yang digunakan membungkus juga berbeda dengan kertas rokok biasa. Klobot begitu para pengkretek menyebutnya, bahan dari kulit jagung yang sudah diolah itu dipakai sebagai pembungkus tembakau yang sudah dicampur dengan cengkeh.
Tak hanya proses menyampur tembakau dengan cengkeh saja yang hanya dimiliki oleh Indonesia, cara membungkus tembakau yang dilakukan sendiri oleh para pengkretek juga masuk dalam budaya Indonesia. Nggelinting sebutan untuk proses pembungkusan tembakau dan cengkeh menjadi kretek. Proses pembuatan dan bahan yang dipakai inilah yang membuat kretek bisa disebut sebagai budaya asli Indonesia, karena di Negara lain tidak ada proses seperti yang terjadi di Indonesia bahkan tembakau yang dipakai untuk meproduksi rokok di Negara lain pun diimport dari Indonesia.
Tapi sayangnya budaya mengkretek di Indonesia sekarang semakin dibatasi karena dianggap mengganggu kenyamanan di tempat umum serta asap yang dihasilkan dari budaya mengkretek dapan menyebabkan berbagai penyakit dalam. Tapi jika budaya mengkretek dihilangkan dari Indonesia berarti satu lagi kebudayaan Indonesia yang hilang dan tentunya para petani tembakau di Indonesia kanan segera gulung tikar karena mata pencaharian mereka dihilangkan.
Dan jika tidak ada petani tembakau bagai mana nasib tari Lahbako, sebuah tarian yang melambangkan pesta panen tembakau yang dilakukan oleh petani tembakau di Indonesia. Mengkretek adalah salah satu budaya yang paling lekat dengan Indonesia tak hanya banyak orang Indonesia yang suka mengkretek, juga karena banyak dari masyarakat Indonesia yang bertani tembakau juga banyak industri rumahan yang mengolah kretek.
Ada cerita yang membuat kretek begitu lekat dengan Indonesia. Kretek adalah salah satu faktor bangsa barat menjajah Indonesia, ladang tembakau yang melimpah mencolok mata para punggawa bangsa Barat untuk menjajah Indonesia. Dan menurut bangsa barat tembakau Indonesia adalah tembakau dengan kualitas nomor satu di dunia. Dengan bukti itu Indonesia sangat lekat dengan tembakau yang menjadi bahan utama kretek. Tak hanya cerita itu saja, seorang mentri asal Indonesia yang mengikuti konferensi antar Negara juga mempopulerkan budaya mengkretek asal Indonesia. Ketika mentri asal Indonesia itu menyalakan kreteknya, para mentri dari Negara lain tertarik dengan bau asap dari kretek produk asli Indonesia dan akhirnya para metri itu pun ingin mencoba kretek yang dinyalakan oleh mentri asal Indonesia itu.
Jadi jika para pakar kesehatan melarang kretek di Indonesia berarti mereka juga secara tidak langsung menghancurkan budaya Indonesia yang sudah dikenal di dunia. Sebagai rakyat Indonesia yang mencintai budaya asli Indonesia kita juga harus melestarikan budaya-budaya yang ada di Indonesia, termasuk kretek yang sangat lekat dengan masyarakat Indonesia sehari-hari. Dan jika kita berhasil melestarikan budaya mengkretek kita juga sekaligus memberikan lapangan pekerjaan bagi petani tembakau.
Jika di Jepang ada budaya melipat kertas atau origami di Indonesia juga ada budaya meracik dam membuat kretek dan kedua kebudayaan itu perlu dilestarikan di negaranya masing-masing. Jika kita sebagai bangsa yang mengenal budaya dan tidak mau memberdayakan kebudayaan itu berarti kita tidak mau menyelamatkan nasib bagsa kita sendiri, karena sebuah bangsa juga dibentuk oleh kebudayaan-kebudayaan yang ada dan upaya pelestarian budaya itu juga sangat penting untuk mempertahankan keutuhan bangsa. Jadi jika kita memberdayakan budaya mengkretek kita juga menyelamatkan kebudayaan Indonesia.[]