Rabu, 14 Maret 2012

Asmarandana dan Dua Penyair Yang Berbeda (1)

Saya bukanlah seseorang yang pintar dalam berpuisi, apalagi untuk menafsirkan apa arti dari sebuah puisi. Tapi saya agak gelisah ketika Halim Bahris mentag saya dalam kirimannya di Facebook, dan isi dari kirimannya adalah sebuah puisi berjudul Asmarandana. 

Belum sempat untuk membuka blog Halim saya langsung teringat kepada seorang penyair yang tidak pernah membacakan puisinya, yaitu Goenawan Mohamad. Seingat saya sudah lama sekali saya membaca sajak Goenawan yang berjudul Asmarandana di blognya, dan saya juga masih ingat ada semacam penjelasan dari Goenawan di akhir puisinya itu.

 “…’Asmaradana’ ini berdasar sebuah opera Jawa, (yang mengisahkan) tentang Damarwulan, yang salah satu bagiannya, dalam bentuk tembang asmaradana. (Kisah ini) sangat bagus bagi saya. Damarwulan mengucapkan selamat tinggal pada Anjasmara, kekasihnya, karena dia mau berangkat perang dan dia tahu akan kalah. Saya bertolak dari sana. Dan kemudian sajak ini berkembang sendiri, tentu saja. Tentang perpisahan, tentang kefanaan, dan tentang –barangkali– persiapan kita menghadapi semuanya.”

Setelah mengingat semua mengenai Asmarandana milik Goenawan saya langsung saja membuka blog Halim dan tidak lupa juga membuka blog Goenawan. Saya baca dan saya cermati kedua sajak dengan judul yang sama itu. Ada yang berbeda dan ada yang sama persis. Entah Halim bisa di sebut menyadur atau tidak, tentunya saya tidak tahu.

Saya terlebih dahulu membaca lagi Asmarandana milik Goenawan, dan saya selau merasa ada unsur epic yang kental dalam membaca puisi Goenawan. Dan inilah Asmarandana milik Goenawan:

Asmaradana
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang
jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.

Beberapa puisi Goenawan yang pernah saya baca adalah puisi yang mengandung unsur sejarah dan beberapa lagi cerita pewayangan seperti Gandari dan Dongeng Sebelum Tidur. Goenawan dalam puisinya tidak menggunakan aku lirik sebagai seorang yang mengalami hal itu, tapi si aku lirik dalam Asmarandana milik Goenawan ini sebagi seorang yang melihat kegelisahan antara Anjasmara dan Damarwulan yang akan berpisah, itu terlihat dari bait pertama pada baris terakhir “Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.” Baris itu menunjukan bahwa aku lirik melihat bahwa ada suasana sunyi diantara Ajasmara dan Damarwulan.

Aku lirik tak terlihat lagi sebagai orang yang melihat dan menceritakan kembali pada bait terakhir, karena menurut saya aku lirik pada bait terakhir mencoba memunculkan percakapan antara Damarwulan dan Anjasmara.

Asmarandana milik Goenawan memang sebuah puisi yang kental dengan cerita pewayangan, tapi bagaimana dengan Asmarandana milik Halim ? Saya kemudian langsung membaca Asmarandana milik Halim dengan seksama, walaupun nantinya saya kurang mengerti apa yang ingin diungkapkan halim dalam puisinya itu.

 Ini adalah Asmarandana milik Halim:

 

ASMARADANA

: Dari GM Bukan Untuk GM

_Ia dengar ringkih jangkrik dan tarian angin meresahi
daun-daun yang dingin, yang diguyur hujan tak berkesudahan.
Ia dengar tong sampah yg terguling, ngiau kucing, sengau
dari keran yang tak sempurna dimatikan. Ketika denyut
jantung berdegup dari bangkai waktu
yang telah dikerumuni dendam. Tapi,
diantara mereka berdua, saling bertukar desah
lewat telinga masing-masing.


_Ia ucapkan pengusiran itu,  ketegaan itu. Ia melihat peta,
nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang
tak semuanya disebutkan,
lalu Ia membuka pintu.


_Ia tahu perempuan itu akan lebih cepat berjalan.
Sebab esok pagi, bila pada rumput halaman
ada tapak yang menjauh ke utara,
Ia takkan menyampaikan penyesalan menjadi maaf.
Sejak itu, Ia tutup lagi pintu,
Lalu mulai mencatat tapak demi tapak


_ Nier Indra, kakakku, tinggallah, seperti dulu.

Tahun pun gegap dalam angka,  lalai menghitung hati.

Lewat renyuh dan ketaksampaian, kulepaskan wajahmu

melepaskan wajahku.

                                 ____________
Masih Di sekitar tahun yang keruh
: 2012

Terlihat sekali bahwa halim megambil inspirasi puisinya ini dari Goenawan, karena Halim menuliskan “: Dari GM Bukan Untuk GM”. Kita tahu bahwa GM adalah inisial dari nama panjang Goenawan Mohammad. Tapi apa yang dimaksud Halim menuliskan pesan itu saya kurang mengeri.

(Tulisan ini sengaja saya penggal karena ada beberapa kalimat yang harus dibenarkan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar