Minggu, 03 Februari 2013

Tentang Obrolan Dengan Seorang Kawan


Membicarakan Tuhan tentu tidak akan ada akhirnya, Dia bukan sesuatu untuk dibicarakan tapi sesuatu untuk dimasukkan kedalam diri kita sendiri-sendiri.

Beberapa hari yang lalu, salah satu teman mengajak saya mengobrol tentang Roh Illah yang kita sebut sebagai Tuhan. Teman saya itu adalah seorang perempuan yang mempunyai darah Arab atau lebih mengerucut lagi; Yaman. Dia mengajak ngobrol saya setelah dia membaca tulisan saya yang berjudul ‘Minum’. Tulisan saya itu menjelaskan kegiatan minum minuman keras yang selalu dianggap jelek oleh kebanyakan orang. Tapi tentunya tulisan saya itu adalah tulisan yang benar-benar subjektif, saya hanya ingin membagi apa yang ada di pikiran saya tentang ‘minum’ bahwa kegiatan itu mempunyai segi positif bagi orang-orang yang melakukannya. Sisi positif dari kegiatan ‘minum’ itu saya tuliskan sebagai berikut “Minum, saya menganggapnya sebagai ritual yang sangat sakral, ritual yang akan memunculkan suasana kekeluargaan pada setiap botol dan setiap gelasnya.”

Teman saya yang notabene dari keluarga beragama islam tentunya langsung men-judge saya sebagai seorang yang tidak bermoral atas dasar hukum islam. Karena dalam hukum islam meminum minuman keras hukumnya adalah haram. Obrolan saya dan teman saya pun semakin melebar kemana-mana, tak hanya membahas tentang ‘minum’ tapi sampai membahas tentang agama apa yang saya anut dan apakah saya percaya bahwa Tuhan ada.

Tentunya saya menghargai semua pertanyaan juga penyataan yang dia ucapkan, karena background agama saya adalah agama islam yang diturunkan oleh orang tua saya. Tapi saya tidak melihat bahwa teman saya itu mau membuka pikirannya untuk menerima pendapat orang lain, dia mementahkan semua pendapat saya dengan alasan yang menurut saya absurd. Salah satunya ketika saya bertanya kepadanya tentang kata ‘Jancuk’. Dia menganggap kata ‘Jancuk’ adalah kata-kata yang tidak patut diucapkan, itu adalah umpatan, dan kata yang seharusnya dihilangkan. Saya tanya kembali kepada dia, mengapa menganggap kata ‘Jancuk’ itu jelek, dengan gugup dia menjawab “kan kata itu dari kata dasar ehmm.. itu mas yang dari surabaya.” Saya tau dia mau mengucapkan kata apa, tapi dia tidak mau mengucapkan kata-kata itu. Saya langsung menyahut “dari kata ‘Encuk’ kan?” nah saya merasa bahwa alasan itu benar-benar absurd. Apa yang salah dengan kata ‘Encuk’ atau dalam bahasa indonesia adalah bersenggama, apa yang tidak patut diucapkan, sedang itu adalah bahasa daerah dari Surabaya.

Begitu juga obrolan yang merujuk pada Tuhan, dia selalu mengurucutkan semua pada agama islam. Saya memang seseorang yang beragama islam tapi saya masih mau membuka pikiran saya untuk menerima ilmu yang tidak mungkin saya terima ketika saya terjebak dalam lingkaran yang diciptakan oleh sebuah agama. Bukan saya seorang yang kafir atau tidak beragama. Saya punya iman. Agama saya islam. Tapi saya hanya tak mau terbelenggu oleh agama ketika agama itu menghalangi kita untuk mempelajari sesuatu.

Saya tahu bahwa obrolan tentang Tuhan dan agama tentunya tidak akan ada habisnya, apalagi mengobrol dengan seseorang yang belum bisa keluar dari hegemoni dan dogma yang diciptakan oleh lingkungan juga keluarganya. Saya selalu menyimpangkan obrolan atau bisa saya sebut debat kusir karena lawan bicara saya yang tidak mau menerima pendapat orang lain itu dengan menelikungkan obrolan tentang Tuhan dan agama pada bahasan yang lain. Dan itu tidak berpengaruh, semua yang kita obrolkan selalu mengerucut pada agama islam.

Saya yang merasa perdebatan itu tidak sehat akhirnya menyerah dan mengakhiri obrolan yang selalu dikerucutkan itu. Saya tidak pernah memaksakan pendapat saya diterima oleh orang lain, tapi seperti hukum 3 Newton bahwa ada aksi tentunya ada reaksi. Ketika pendapat saya tidak diterima tentunya saya akan menelusuri dan mencari kebenaran pendapat lawan bicara saya.[]

NB: untuk teman saya, mari kita belajar bersama bukan memaksakan kehendak kita sendiri :) 

3 komentar:

  1. Sadam, kalau aku sih lebih terrtarik sama "ceramah"-mu tentang tatakrama berjimak. Apalagi waktu kamu membacakan beberapa ayat dalam buku tatakrama berjimak tsb.

    #ngakak

    BalasHapus
  2. uasyuuu! iki nulise sembarangan broo cuma dari hasil obrolan tanpa referensi. hahaha

    BalasHapus
  3. setip org punya pertanyaan'', khyalan dan pikiran yg cukup liar, bahkan meloncat''. batok ora cukup menampungnya. tidak hanya tentang tuhan sj yg selalu menjadi pertanyaan yg tidak pernah selesai, melainkan tentang agama, bahkan sampai pd tentang hidup. dulu, ketika aku bersemayam (lebih tepatnya sekadar bersemedi) di penjara, aku pernah disodori sebuah buku oleh seorg teman. pengarangnya adalah GM (Gunawan Mohamad). aku baru tahu, ternyata GM itu seoarang sastrawan indonesia terkemuka yg sering dibicarakan oleh kebanyakan org, mungkin termasuk oleh kamu. dalam bukunya, entah halaman berapa, aku lupa, dia menulis sebuah kalimat yg bisa dikatakan mengarah pd artikelmu ini. begini tulisnya: "selalu ada pertanyaan'' yg tak selesai tentang tuhan, tentang agama, tentang hidup..."

    sekali lg, masalah agama tdk jauh berbeda dg masalah hidup. temanmu yg langsung men-judge itu perlu didudukkan lagi. berdiskusi tidak menggunakn otak kiri, tp dengan otak kanan. ada sebuah kutipan begini: "memahami agama perlu menggunakan otak kanan."

    salam sejahtera.


    lanjutkan!

    BalasHapus