Membicarakan
Tuhan tentu tidak akan ada akhirnya, Dia bukan sesuatu untuk dibicarakan tapi
sesuatu untuk dimasukkan kedalam diri kita sendiri-sendiri.
Beberapa
hari yang lalu, salah satu teman mengajak saya mengobrol tentang Roh Illah yang
kita sebut sebagai Tuhan. Teman saya itu adalah seorang perempuan yang
mempunyai darah Arab atau lebih mengerucut lagi; Yaman. Dia mengajak ngobrol
saya setelah dia membaca tulisan saya yang berjudul ‘Minum’. Tulisan saya itu
menjelaskan kegiatan minum minuman keras yang selalu dianggap jelek oleh
kebanyakan orang. Tapi tentunya tulisan saya itu adalah tulisan yang
benar-benar subjektif, saya hanya ingin membagi apa yang ada di pikiran saya
tentang ‘minum’ bahwa kegiatan itu mempunyai segi positif bagi orang-orang yang
melakukannya. Sisi positif dari kegiatan ‘minum’ itu saya tuliskan sebagai berikut
“Minum, saya menganggapnya sebagai ritual yang sangat sakral, ritual yang akan
memunculkan suasana kekeluargaan pada setiap botol dan setiap gelasnya.”
Teman
saya yang notabene dari keluarga beragama islam tentunya langsung men-judge saya sebagai seorang yang tidak
bermoral atas dasar hukum islam. Karena dalam hukum islam meminum minuman keras
hukumnya adalah haram. Obrolan saya dan teman saya pun semakin melebar
kemana-mana, tak hanya membahas tentang ‘minum’ tapi sampai membahas tentang
agama apa yang saya anut dan apakah saya percaya bahwa Tuhan ada.
Tentunya
saya menghargai semua pertanyaan juga penyataan yang dia ucapkan, karena background agama saya adalah agama islam
yang diturunkan oleh orang tua saya. Tapi saya tidak melihat bahwa teman saya
itu mau membuka pikirannya untuk menerima pendapat orang lain, dia mementahkan
semua pendapat saya dengan alasan yang menurut saya absurd. Salah satunya
ketika saya bertanya kepadanya tentang kata ‘Jancuk’. Dia menganggap kata ‘Jancuk’
adalah kata-kata yang tidak patut diucapkan, itu adalah umpatan, dan kata yang
seharusnya dihilangkan. Saya tanya kembali kepada dia, mengapa menganggap kata ‘Jancuk’
itu jelek, dengan gugup dia menjawab “kan kata itu dari kata dasar ehmm.. itu
mas yang dari surabaya.” Saya tau dia mau mengucapkan kata apa, tapi dia tidak
mau mengucapkan kata-kata itu. Saya langsung menyahut “dari kata ‘Encuk’ kan?”
nah saya merasa bahwa alasan itu benar-benar absurd. Apa yang salah dengan kata
‘Encuk’ atau dalam bahasa indonesia adalah bersenggama, apa yang tidak patut
diucapkan, sedang itu adalah bahasa daerah dari Surabaya.
Begitu
juga obrolan yang merujuk pada Tuhan, dia selalu mengurucutkan semua pada agama
islam. Saya memang seseorang yang beragama islam tapi saya masih mau membuka
pikiran saya untuk menerima ilmu yang tidak mungkin saya terima ketika saya
terjebak dalam lingkaran yang diciptakan oleh sebuah agama. Bukan saya seorang
yang kafir atau tidak beragama. Saya punya iman. Agama saya islam. Tapi saya hanya
tak mau terbelenggu oleh agama ketika agama itu menghalangi kita untuk
mempelajari sesuatu.
Saya
tahu bahwa obrolan tentang Tuhan dan agama tentunya tidak akan ada habisnya,
apalagi mengobrol dengan seseorang yang belum bisa keluar dari hegemoni dan dogma
yang diciptakan oleh lingkungan juga keluarganya. Saya selalu menyimpangkan
obrolan atau bisa saya sebut debat kusir karena lawan bicara saya yang tidak
mau menerima pendapat orang lain itu dengan menelikungkan obrolan tentang Tuhan
dan agama pada bahasan yang lain. Dan itu tidak berpengaruh, semua yang kita
obrolkan selalu mengerucut pada agama islam.
Saya
yang merasa perdebatan itu tidak sehat akhirnya menyerah dan mengakhiri obrolan
yang selalu dikerucutkan itu. Saya tidak pernah memaksakan pendapat saya
diterima oleh orang lain, tapi seperti hukum 3 Newton bahwa ada aksi tentunya
ada reaksi. Ketika pendapat saya tidak diterima tentunya saya akan menelusuri
dan mencari kebenaran pendapat lawan bicara saya.[]
NB:
untuk teman saya, mari kita belajar bersama bukan memaksakan kehendak kita
sendiri :)
Sadam, kalau aku sih lebih terrtarik sama "ceramah"-mu tentang tatakrama berjimak. Apalagi waktu kamu membacakan beberapa ayat dalam buku tatakrama berjimak tsb.
BalasHapus#ngakak
uasyuuu! iki nulise sembarangan broo cuma dari hasil obrolan tanpa referensi. hahaha
BalasHapussetip org punya pertanyaan'', khyalan dan pikiran yg cukup liar, bahkan meloncat''. batok ora cukup menampungnya. tidak hanya tentang tuhan sj yg selalu menjadi pertanyaan yg tidak pernah selesai, melainkan tentang agama, bahkan sampai pd tentang hidup. dulu, ketika aku bersemayam (lebih tepatnya sekadar bersemedi) di penjara, aku pernah disodori sebuah buku oleh seorg teman. pengarangnya adalah GM (Gunawan Mohamad). aku baru tahu, ternyata GM itu seoarang sastrawan indonesia terkemuka yg sering dibicarakan oleh kebanyakan org, mungkin termasuk oleh kamu. dalam bukunya, entah halaman berapa, aku lupa, dia menulis sebuah kalimat yg bisa dikatakan mengarah pd artikelmu ini. begini tulisnya: "selalu ada pertanyaan'' yg tak selesai tentang tuhan, tentang agama, tentang hidup..."
BalasHapussekali lg, masalah agama tdk jauh berbeda dg masalah hidup. temanmu yg langsung men-judge itu perlu didudukkan lagi. berdiskusi tidak menggunakn otak kiri, tp dengan otak kanan. ada sebuah kutipan begini: "memahami agama perlu menggunakan otak kanan."
salam sejahtera.
lanjutkan!