Akhir-akhir ini saya sering dibuat kebingungan
dengan klaim ‘generasi gagal move one’
yang disematkan pada teman-teman saya, karena tingkah laku mereka yang setiap
hari membicarakan –meminjam istilah om Goen, Mantan dan Hal-Hal yang Belum
Selesai. Anehnya saya harus tersedot terhadap obrolan teman-teman saya itu,
entah di media sosial, di warung kopi bahkan di kelas sekalipun. Apalagi
semenjak mini drama Ada Apa Dengan Cinta
(AADC) besutan LINE muncul. Obrolan itu semakin mengakar rumput di tataran grassroots.
Tapi saya tak mau membahas AADC versi LINE,
sudah banyak yang menulisnya layaknya satu percakapan dalam filmya “Basi! Madingnya udah siap terbit!”. Mereka
yang masih dicengkram obrolan tentang mantan barangkali terlalu melankolis di
tengah zaman yang mbalelo ini. Atau
asumsi saya salah, bisa jadi mereka adalah generasi penerus bangsa yang di
idam-idamkan muncul karena tidak pernah melupakan sejarah atau membuat sejarah
mereka sendiri seperti Soeharto.
Di tempat saya numpang hidup sekarang, yang
juga difungsikan sebagai sebuah café cum perpustakaan melek literasi, banyak juga teman yang rawan gelisah dan bunuh diri
karena sejarah percintaannya. Tentang pegejaran pada mantan layaknya James
Bond, tentang usaha melupakan dengan mengalihkan perhatian pada skripsi yang
tak kunjung usai, bahkan ada juga yang bersikukuh sudah melupakan mantannya
tapi masih ada satu folder berisi foto mantan di laptop laptopnya. Apakah ini
sebuah dekadensi moral? Pertanyaan ini terlalu genit nan binal, tapi lebih
pantas ditanyakan daripada harus merubah warna rambut layaknya Ariel Noah.
Saya rasa obrolan tentang mantan ini bukanlah
dekadensi moral, karena teori ndakik-ndakik
bisa diterapkan dalam hal per-mantan-an. Jauh sebelum istilah mantan semakin booming, seorang filsuf yang
digadang-gadang sebagai filsuf paling berbahaya yaitu Zizek sudah merumuskan
pemahaman tentang The Real atau
ketidakmungkinan yang dia amini dari Jacues Lacan. The Real adalah negasi dari
semua simbol ataupun imaji yang mengelilingi rutinitas manusia, begitulah
mantan sebagai ketidakmungkinan.
Negasi ini menurut Zizek bisa berupa penolakan
atau anti tesis dari peristiwa yang bersifat menyentuh ketidakmungkinan,
sehingga dengan pasti mengguncang orang yang mengalaminya. Mantan adalah negasi
dari peristiwa putus cinta dan segala kemenye-menyeannya. Seseorang yang
merasakan putus cinta tentu akan mengalami keterguncangan pribadi, yang bisa
dibagi atau disimpan rapat-rapat sendiri. Saya contohkan seorang teman saya,
sebut saja Budi (nama samaran). Budi adalah pemuda yang mengamini jarak sebagai
sebuah hal yang sakral, karena cintanya dilahirkan dari centi demi centi jarak
Jember-Kalimantan. Terlalu naif memang menjalani hubungan jarak jauh tanpa
menaruh kecurigaan. Tapi begitulah Budi, pemuda yang (sok) kuat dengan segala
siksaan atas nama cinta.
Setelah empat tahun dia bertahan dengan cinta
jarak jauh, akhirnya dia mengalami apa yang kita sebut sebagai putus cinta.
Sebuah peristiwa yang bagi kebanyakan remaja adalah akhir dari dunia, kiamat
sugra. Tapi Budi tak remuk redam dikoyak sepi, dia memunculkan negasi lain.
Lewat media surat yang dikirim menggunakan surat elektronik dan media sosial,
dia menyentuh ketidakmungkinan yang dihasilkan oleh peristiwa putus cinta itu.
Aspek ketidakmungkinan sepenuhnya diresapi oleh Budi dengan saling berbalas
surat sembari menangis tersedu ketika membaca atau menuliskan surat yang penuh
derai-derai kenangan itu. Ini seperti konsep benda pada diri sendiri dalam
filsafat Kantian; “Kita tahu tapi kita
tidak pernah sungguh memahaminya.”
Budi seperti mengaini mantan sebagai The Real, sebagai sebuah keajaiban
sekaligus ketidakmungkinan yang tidak bisa digambarkan atau disimbolisasikan.
Mantan muncul karena peristiwa putus cinta yang mengguncang, seperti adegan
cipokan Rangga dan Cinta di bandara. Tapi Budi hanyalah alegori yang bersifat
delusional. Obrolan atau ingatan dan guncangan dari negasi berbentuk mantan
dialami oleh banyak remaja bahkan orang tua sekalipun. Apalagi kata mantan
semakin kesini semakin terkenal layaknya Nicholas Saputra yang terpaksa kembali
pada ingatan remaja tahun 90-an karena AADC besutan LINE.
Mantan layaknya Veronica dalam novel karya
Paulho Coelho yang berjudul Veronica
Decide To Die. Veronica yang setia menunggu ajalnya karena bentuk kebosanan
atas ritme kehidupannya di rumah sakit jiwa. Veronica memandang bahwa tak ada
yang gila dalam rumah sakit itu, abnormalitas dianggapnya semu. Seperti mantan
yang selalu dianggap sebagai bayang-bayang, padahal mereka adalah setapak jalan
yang harus dilalui agar kita tidak tersesat. Maka Foucault muncul dengan relasi
kuasanya di sini.
Seperti yang pernah Foucault tuliskan tentang penjara
Panopticon bahwa kegilaan ingin
menunjukkan normalisasi dan regulasi yang memenangkan rasio. Seseorang yang
masih membicarakan mantan mereka di ruang publik hanya ingin menunjukkan apa
yang disebut Foucault sebagai normalisasi yang memenangkan rasio, karena
seseorang itu –seperti halnya Budi ingin menunjukkan bagaimana rasionalitas
menormalisasikan sesuatu yang dianggap menyimpang sebagai upaya mendisiplinkan
diri dari kenangan masa lalu. Bukan sebagai pengikat seseorang itu dengan
mantannya yang sering disebut sebagai gagal move
one.
Upaya inilah yang dilakukan oleh teman-teman
saya dan membuat saya kebingungan kenapa stereotipe gagal move one ditempelkan pada mereka yang selalu membicarakan hal-hal
tentang mantan. Saya rasa teman-teman saya bukanlah ‘generasi gagal move on’, tapi mereka adalah generasi
yang menciptakan ruang dialektis melalui hal-hal tentang mantan.
Budi dan teman-teman saya yang lain adalah
paradoks di zaman kemerosotan jiwa khilafah ini. Mereka adalah pemuda-pemuda
yang mengamini apa yang dikatakan oleh Zizek “Revolusi itu mirip wanita, kita tidak mungkin hidup bersamanya, tetapi
lebih tidak mungkin lagi hidup tanpanya. Oh… lupakan saja.”[]
*) tulisan ini pertama kali dimuat di website siksakampus.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar