Kamis, 19 Maret 2015

Mantan dan Hal-Hal yang [Sengaja] Belum Selesai

Akhir-akhir ini saya sering dibuat kebingungan dengan klaim ‘generasi gagal move one’ yang disematkan pada teman-teman saya, karena tingkah laku mereka yang setiap hari membicarakan –meminjam istilah om Goen, Mantan dan Hal-Hal yang Belum Selesai. Anehnya saya harus tersedot terhadap obrolan teman-teman saya itu, entah di media sosial, di warung kopi bahkan di kelas sekalipun. Apalagi semenjak mini drama Ada Apa Dengan Cinta (AADC) besutan LINE muncul. Obrolan itu semakin mengakar rumput di tataran grassroots.

Tapi saya tak mau membahas AADC versi LINE, sudah banyak yang menulisnya layaknya satu percakapan dalam filmya “Basi! Madingnya udah siap terbit!”. Mereka yang masih dicengkram obrolan tentang mantan barangkali terlalu melankolis di tengah zaman yang mbalelo ini. Atau asumsi saya salah, bisa jadi mereka adalah generasi penerus bangsa yang di idam-idamkan muncul karena tidak pernah melupakan sejarah atau membuat sejarah mereka sendiri seperti Soeharto.

Di tempat saya numpang hidup sekarang, yang juga difungsikan sebagai sebuah café cum perpustakaan melek literasi, banyak juga teman yang rawan gelisah dan bunuh diri karena sejarah percintaannya. Tentang pegejaran pada mantan layaknya James Bond, tentang usaha melupakan dengan mengalihkan perhatian pada skripsi yang tak kunjung usai, bahkan ada juga yang bersikukuh sudah melupakan mantannya tapi masih ada satu folder berisi foto mantan di laptop laptopnya. Apakah ini sebuah dekadensi moral? Pertanyaan ini terlalu genit nan binal, tapi lebih pantas ditanyakan daripada harus merubah warna rambut layaknya Ariel Noah.

Saya rasa obrolan tentang mantan ini bukanlah dekadensi moral, karena teori ndakik-ndakik bisa diterapkan dalam hal per-mantan-an. Jauh sebelum istilah mantan semakin booming, seorang filsuf yang digadang-gadang sebagai filsuf paling berbahaya yaitu Zizek sudah merumuskan pemahaman tentang The Real atau ketidakmungkinan yang dia amini dari Jacues Lacan. The Real adalah negasi dari semua simbol ataupun imaji yang mengelilingi rutinitas manusia, begitulah mantan sebagai ketidakmungkinan.

Negasi ini menurut Zizek bisa berupa penolakan atau anti tesis dari peristiwa yang bersifat menyentuh ketidakmungkinan, sehingga dengan pasti mengguncang orang yang mengalaminya. Mantan adalah negasi dari peristiwa putus cinta dan segala kemenye-menyeannya. Seseorang yang merasakan putus cinta tentu akan mengalami keterguncangan pribadi, yang bisa dibagi atau disimpan rapat-rapat sendiri. Saya contohkan seorang teman saya, sebut saja Budi (nama samaran). Budi adalah pemuda yang mengamini jarak sebagai sebuah hal yang sakral, karena cintanya dilahirkan dari centi demi centi jarak Jember-Kalimantan. Terlalu naif memang menjalani hubungan jarak jauh tanpa menaruh kecurigaan. Tapi begitulah Budi, pemuda yang (sok) kuat dengan segala siksaan atas nama cinta.

Setelah empat tahun dia bertahan dengan cinta jarak jauh, akhirnya dia mengalami apa yang kita sebut sebagai putus cinta. Sebuah peristiwa yang bagi kebanyakan remaja adalah akhir dari dunia, kiamat sugra. Tapi Budi tak remuk redam dikoyak sepi, dia memunculkan negasi lain. Lewat media surat yang dikirim menggunakan surat elektronik dan media sosial, dia menyentuh ketidakmungkinan yang dihasilkan oleh peristiwa putus cinta itu. Aspek ketidakmungkinan sepenuhnya diresapi oleh Budi dengan saling berbalas surat sembari menangis tersedu ketika membaca atau menuliskan surat yang penuh derai-derai kenangan itu. Ini seperti konsep benda pada diri sendiri dalam filsafat Kantian; “Kita tahu tapi kita tidak pernah sungguh memahaminya.”

Budi seperti mengaini mantan sebagai The Real, sebagai sebuah keajaiban sekaligus ketidakmungkinan yang tidak bisa digambarkan atau disimbolisasikan. Mantan muncul karena peristiwa putus cinta yang mengguncang, seperti adegan cipokan Rangga dan Cinta di bandara. Tapi Budi hanyalah alegori yang bersifat delusional. Obrolan atau ingatan dan guncangan dari negasi berbentuk mantan dialami oleh banyak remaja bahkan orang tua sekalipun. Apalagi kata mantan semakin kesini semakin terkenal layaknya Nicholas Saputra yang terpaksa kembali pada ingatan remaja tahun 90-an karena AADC besutan LINE.

Mantan layaknya Veronica dalam novel karya Paulho Coelho yang berjudul Veronica Decide To Die. Veronica yang setia menunggu ajalnya karena bentuk kebosanan atas ritme kehidupannya di rumah sakit jiwa. Veronica memandang bahwa tak ada yang gila dalam rumah sakit itu, abnormalitas dianggapnya semu. Seperti mantan yang selalu dianggap sebagai bayang-bayang, padahal mereka adalah setapak jalan yang harus dilalui agar kita tidak tersesat. Maka Foucault muncul dengan relasi kuasanya di sini.

Seperti yang pernah Foucault tuliskan tentang penjara Panopticon bahwa kegilaan ingin menunjukkan normalisasi dan regulasi yang memenangkan rasio. Seseorang yang masih membicarakan mantan mereka di ruang publik hanya ingin menunjukkan apa yang disebut Foucault sebagai normalisasi yang memenangkan rasio, karena seseorang itu –seperti halnya Budi ingin menunjukkan bagaimana rasionalitas menormalisasikan sesuatu yang dianggap menyimpang sebagai upaya mendisiplinkan diri dari kenangan masa lalu. Bukan sebagai pengikat seseorang itu dengan mantannya yang sering disebut sebagai gagal move one.

Upaya inilah yang dilakukan oleh teman-teman saya dan membuat saya kebingungan kenapa stereotipe gagal move one ditempelkan pada mereka yang selalu membicarakan hal-hal tentang mantan. Saya rasa teman-teman saya bukanlah ‘generasi gagal move on’, tapi mereka adalah generasi yang menciptakan ruang dialektis melalui hal-hal tentang mantan.

Budi dan teman-teman saya yang lain adalah paradoks di zaman kemerosotan jiwa khilafah ini. Mereka adalah pemuda-pemuda yang mengamini apa yang dikatakan oleh Zizek “Revolusi itu mirip wanita, kita tidak mungkin hidup bersamanya, tetapi lebih tidak mungkin lagi hidup tanpanya. Oh… lupakan saja.”[]

*) tulisan ini pertama kali dimuat di website siksakampus.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar