Senin, 02 Mei 2011

Nama; Sebagai Identitas atau Pembunuh Identitas

Nama adalah salah satu identitas bagi seseorang. Nama juga dapat membunuh identitas seseorang, lalu bagaimana nama sanggup membunuh identitas seseorang? Mungkin itu yang akan saya bahas di sini. Jarang sekali orang-orang menganggap nama sebagai status terpenting dalam bersosialisasi, nama di sini merujuk kedalam tingkatan strata sosial, sebut saja saya sebagai mahasiswa sastra yang belum dikenal banyak orang dibandingkan dengan dengan mahasiswa lain yang sudah mempunyai 'nama' di kalangan mahasiswa, tingkatan antara saya dan mahasiswa yang mempunyai 'nama' itu pun berbeda. Tapi sepertinya orang-orang menganggap itu sebagai hal yang lumrah, seandainya mereka tahu bahwa nama juga bisa membuat kita 'mati' tentu mereka akan berubah pikiran.
Seperti halnya saat W.S. Rendra membacakan puisi dengan gaya khasnya, duduk sambil memainkan tangan dan mukanya, itu sudah dianggap bagus oleh kebanyakan orang, tentu karena Rendra sudah mempunyai 'nama', tapi bila saya yang melakukannya -membaca puisi seperti rendra- rasanya tak ada yang terpikat bahkan kadang cemoohan yang keluar dari mulut mereka -orang-orang-. Saya sempat juga mengumpat "Apa bedanya ketika saya melakukan hal yang sama dengan orang yang sudah terkenal?" Setelah berkata seperti itu saya mulai berpikir bahwa 'nama' dapat membunuh atau mematikan karakter seseorang.
Tak seperti 'mati' yang cecep syamsul hadi deskripsikan dalam cerpennya yang berjudul saya tahu saya akan mati di laut, di situ cecep mencoba menjadikan kata 'mati' sebagai sesuatu yang lumrah dan menyenangkan, bahkan sang tokoh dengan santainya menjawab "semua orang akan mati kan" Ketika ada seseorang perempuan dengan mata bolong menyampaikan pesan bahwa dia akan mati tak wajar, tapi pada akhirnya sang tokoh tidak mati dan sadar dia sedang melakukan perjalanan di kapal dengan wanita cantik yang baru dia kenal di kapal itu. Saya merasa terpinggirkan oleh nama-nama yang dianggap kebanyakan orang tenar, kepercayaan diri hilang ketika menghadapi orang-orang bernama itu, tapi lebih lagi ketika saya termakan oleh omongan saya sendiri yang selalu dianggap salah dan mereka sepertinya lebih percaya kepada orang yang punya 'nama', tanpa sadar saya runtuh dan menangis tanpa airmata sambil mengais rasa malu yang tercecer dimana-mana, mungkIn rasa malu saya mengalahkan rasa malu Presiden Negara kita yang dipermalukan karena mengeluh dengan gajinya.
Di masa kecil kita pernah melewati tingkatan perkembangan yang dinamakan imitasi, tahapan itu dimulai saat anak-anak mengubah tingkah lakunya dengan meniru pergaulan di sekitarnnya bahkan tokoh idolanya, tapi proses ini tidak akan ikut berkembang ketika kita menirukan orang yang terkenal dalam masyarakat. Masyarakat akan mengatai kita dengan julukan plagiat ataupun epigon, karena yang mereka kenal adalah orang yang sudah terkenal dan mempunyai 'nama', bukan kita sebagai peniru, contohnya saja ketika grup musik d'massive meniru musik grup band asal luar negeri muse, fans mereka tidak mempermasalahkan itu, tapi seandainya kita atau saya yang meniru pasti banyak sekali gunjingan, karena saya belum punya 'nama' seperti grup band d'massive, seperti halnya Chairil Anwar yang menerjemahkan "The Young Dead Soldiers" Menjadi "Karawang Bekasi" Dan "a Song of the Sea" Menjadi "Datang Dara Hilang Dara"., Tentu ada beberapa masalah yang muncul tapi Chairil tak dapat julukan penyair plagiat, karena Chairil didukung oleh H.B. Jasin.dan akhirnya chairil menjadi pelopor sastra angkatan 45 di indonesia tentunya.
Ijinkan saya mengutip sedikit puisi terjemahan Chairil. Ini adalah satu bait puisi "a Song of the Sea" :
A SONG OF THE SEA
I
“Girl, girl alone,
Why do you wander
The twilight shore?
Girl, go home, girl!”
“No, I won’t go!
Let the evening wind blow
On the sands, in the glow.
My hair is combed bay the winds,
As I wander to and fro.”

Dan diterjemahkan Chairil menjadi "Datang Dara Hilang Dara" :
DATANG DARA, HILANG DARA
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
Chairil Anwar dan karyanya pun selalu diingat sampai sekarang bahkan karya terjemahannya.
Nama sebagai pembunuh rasa bisa disebut seperti itu, ketika kita kalah dengan orang-orang yang mempunyai nama besar di suatu tempat. Dan sekali lagi saya mengutip salah stu puisi dari buku "Kisah-Kisah Dari Tanah di Bawah Pelangi", yang berjudul "Sengketa Mayapada" karya indrian koto "Betapa berat mengangkat nasib yang sudah diketahui keburukannya." Mungkin seperti itu ketika kita sudah merasakan bagaimana 'nama' menjadi momok yang bisa mematikan rasa  dan semangat kita
Tentunya kita sebagai orang yang mempunyai nama tak mau menjadi sasaran dari nama orang lain, lalu bagaimana kita melakukannya? Mungkin dengan menciptakan karakter atau percaya pada diri sendiri adalah kunci untuk menghindari 'nama' sebagai pembunuh identitas, rasa dan semangat kita.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar