“Cukup” itu menurut saya ketika saya membaca tulisan saya sendiri, tapi beberapa orang mengganggap tulisan saya masih belum bisa diterima dalam konteks jenis-jenis tulisan ketika saya memasuki ranah yang lebih yaitu: ke dalam perkuliahan dan dunia jurnalistik kampus. Entah itu puisi, cerpen atau beberapa tulisan yang menurut saya sendiri belum bisa saya mengerti. Seorang teman atau yang biasanya saya panggil “mas”(kakak) karena memang dia lebih tua daripada saya pernah berkomentar dengan tawa bengisnya “awakmu nulis kanggo arek SD, SMA opo TK?”(kamu menulis buat anak SD, SMA, atau TK?) ketika saya menyodorkan satu puisi yang baru saja saya buat malam itu. Saya tak tahu apa puisi itu mengarahkan dia ke alam anak-anak atau apa? Saya hanya menulis semampu saya dan dari apa yang saya pelajari setiap saya mendengar orang-orang (para jurnalis yang saya kenal di Jember) berbicara dan beberapa buku yang sempat saya nikmati sebelum singgah di Jember . Tapi apa tanggapan mereka? Nyleneh(menyimpang) menurut mereka tentang tulisan saya. Apa seseorang harus bisa menulis dengan bagus agar mereka diterima? Apa harus bisa menceritakan beberapa isi buku saat ngopi? Atau seseorang harus selalu terpaku pada tulisan orang-orang yang sudah berpengalaman dan terkenal?, sebut saja Puthut .T.A dan masih banyak sederetan yang lain. Ah, tak tahulah. Saya hanya anak kecil yang masih belajar beberapa keinginan yang ada dalam benak seorang anak ingusan. Saya memang kenal dengan beberapa orang di sini; Fakultas Sastra Universitas Jember khususnya dan beberapa mahasiswa Fakultas lain di Universitas Jember umumnya. Tapi saya merasa seperti asing di sini.
Saya adalah seorang mahasiswa baru yang seaakan baru masuk “penjara”, tapi sebaiknya jangan disebut penjara mungkin kata ikatan lebih bagus. Yang saya bingung apakah saya harus lepas dari ikatan itu atau saya harus selalu terikat? Saya tidak mau didikte, saya punya karakter sandiri walaupun itu mereka sebut nyeleneh atau apa, saya hanya berusaha jadi “saya yang benar-benar saya” tanpa ada embel-embel apapun, tenpa ada aturan yang mengikat dan tanpa ada yang menyetir saya, tapi andai saya melepaskan ikatan itu saya akan retak karena tak ada lagi teman yang menyambut di luar ikatan itu, tapi saat saya harus berada dalam ikatan itu saya merasa selalu tidak diterima, mungkin mereka selalu menyuguhkan senyuman untuk saya, tapi di samping itu saya jelas melihat penolakan di balik senyum kecut mereka . Saya hanya bisa bertanya saat ini, apakah seseorang tidak boleh memiliki karakter dalam tulisannya atau seseorang harus menurut untuk disetir para seniornya? Memang seseorang harus banyak membaca dan mencari berbagai sumber referensi, tapi semua orang berbeda, ada orang yang hanya bisa menerima referensi dari buku dan fakta-fakta yang mereka lihat tanpa percaya sumber dari dunia maya yang belum jelas faktanya, ada juga orang yang membandingkan fakta dari beberapa sumber yang mereka dapat. Apakah saya harus sama dengan yang kalian inginkan? Sebuah judul cerpen saya saja mereka anggap tabu, padahal mereka belum membaca isinya, bahkan mengulang kata pun salah menurut mereka. “Pengulanganmu tak penting,” kata seorang “mas” yang lain dengan wajah agak mengejek. Padahal tidak sembarang orang yang memakai pengulangan kata atau repetisi. Orang sholat saja menyebut 6 kali kata “Allahuakbar”disetiap rokaat dan Djenar Mahesa Ayu pun memakai banyak repetisi dikumpulan cerpen miliknya yang berjudul “jangan main-main (dengan kelaminmu)” . Banyak sekali tanya yang saya simpan, seandainya saya bisa mencari beberapa sumber lagi saya akan menjawab semua pertanyaan itu. Tapi sumber yang mungkin bisa menjawabnya malah pergi entah kemana?
Den sekarang saya merasa benar benar terasingkan di sini, di jember tepatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar