Tino si ulat senang sekali berkeliling. Ia berteduh di bawah pohon dekat danau. Ia melihat ibu angsa dan anak-anaknya yang sedang bermain dengan riang gembira.
Di atas pohon, tampak juga ibu merpati sedang bernyanyi ceria bersama anak-anaknya. Beberapa ikan juga sedang berenang kesana-kemari mengikuti induknya.
“Kenapa semua punya ibu dan saudara? Kenapa aku cuma sendirian? Dimana Ibu dan saudara-saudaraku? Pasti senang kalau punya Ibu dan saudara-saudara,” pikir Tino dalam hati.
Tino lalu mendekati Bu Kiki Kijang. “Apakah kau ibuku?” tanya Tino.
Bu Kiki Kijang menggeleng. “Tentu saja bukan,” katanya. Tino lalu mendekati Bu Cati Kucing. “Apa kau ibuku?” Bu Cati Kucing juga menggeleng.
Tino berkeliling dan bertanya pada beberapa induk hewan yang ditemuinya. Namun mereka semua menggeleng.
Tino akhirnya lelah dan beristirahat di sehelai daun pohon jambu yang gugur di tanah. Disitulah ia lahir beberapa hari lalu.
Tak lama kemudian, datanglah Bu Cici Kelinci mencari jambu-jambu yang berguguran untuk makan siang. Tino pun bertanya.
“Apakah kau ibuku?” Bu Cici Kelinci kaget melihat Tino yang tiba-tiba muncul dari balik daun.
“Oh, bukan, aku bukan ibumu. Bentuk kita berbeda, kan?”
“Oh, bukan, aku bukan ibumu. Bentuk kita berbeda, kan?”
Maaf ya, kami bukan keluargamu. Kami adalah keluarga ular.
Tino sedih sekali mendengarnya. Bu Cici Kelinci berkata lagi, “Eeh, tapi sepertinya aku pernah melihat binatang sepertimu di dalam lubang di sebelah selatan sana.”
“Benarkah?” wajah Tino berubah cerah.
“Mari kuantar kau kesana. Siapa tahu keluargamu ada disana.”
“Mari kuantar kau kesana. Siapa tahu keluargamu ada disana.”
Tino lalu merayap naik ke punggung Bu Cici Kelinci. Beberapa saat kemudian mereka tiba di lubang itu. Tino mengucapkan terima kasih. Lalu merayap masuk ke dalam lubang yang ditunjuk Bu Cici Kelinci.
Di dalam lubang itu, ia bertemu dengan sepuluh hewan yang bentuknya sama dengannya. Cuma mereka jauh lebih panjang dan besar.
“Siapa kamu?” tanya seekor hewan yang terpanjang sambil menjulurkan lidahnya.
“Aku Tino. Apa kau ibuku?” tanya Tino.
“Aku Tino. Apa kau ibuku?” tanya Tino.
“Tidak mungkin! Aku cuma menetaskan 9 telur di sarangku ini. Lagipula kami tidak berbulu sepertimu. Kami bersisik. Kami keluarga ular.”
Tino sedih sekali. Ia merayap keluar dari lubang itu sambil meneteskan airmata. Tino kembali ke tempat Bu Cici Kelinci.
Bu Cici Kelinci yang selalu berusaha membantu Tino si ulat.
“Tenanglah Tino, mungkin ibumu sedang mencari makanan untukmu. Sabarlah dan tinggallah di rumahku. Aku akan berkeliling dan bertanya pada semua binatang di hutan ini, apakah mereka melihat ibumu,” bujuk Bu Cici.
Akhirnya Tino tinggal bersama Bu Cici Kelinci. Dengan gembira ia bermain bersama anak-anak Bu Cici. Tapi suatu hari Tino menghilang.
Anak-anak kelinci mencari ke sana ke mari tapi tak menemukannya. Bu Cici pun ikut sedih. Ia bertanya pada semua binatang yang ditemuinya. Tapi tidak ada yang tahu dimana Tino berada.
Beberapa hari kemudian, ketika Bu Cici Kelinci sedang mencari jambu untuk makan siang, tiba-tiba ada yang menyapanya.
“Halo Bu Cici!” Bu Cici kaget. Ia menengok ke kanan kiri, tapi tak ada seekor hewanpun. Tapi kemudian ia melihat seekor kupu-kupu warna kuning terbang mengelilinginya.
“Siapa kamu? Apa kau tadi yang memanggilku?”
“Ya, aku yang memanggilmu Bu Cici. Ini aku, Tino.”
“Ya, aku yang memanggilmu Bu Cici. Ini aku, Tino.”
“Tino?” Bu Cici bingung. Tino hinggap di telinga Bu Cici dan bercerita. “Bu, maafkan aku kemarin pergi tanpa pamit. Aku harus berpuasa dan menjadi kepompong.
Aku baru tahu kalau aku bisa berubah menjadi kupu-kupu. Aku juga baru tahu kalau ibuku adalah seekor kupu-kupu.”
“Oh, syukurlah Tino, akhirnya kau menemukan ibumu. Tak disangka. Kau berubah menjadi kupu-kupu yang tampan.”
“Saya ingin berterima kasih karena Bu Cici sudah merawat saya beberapa hari ini. Sekarang saya harus bergabung dengan kupu-kupu yang lain. Selamat tinggal.”
“Ya Tino, pergilah. Salam buat ibumu. Selamat jalan, ya!” Akhirnya Tino bergabung dengan gerombolan kupu-kupu.
Ia sangat bahagia karena kini bisa berkumpul bersama Ibu dan saudara-saudaranya.
Oleh: Mohammad Sadam Husaen
Bobo No. XXXV
Bobo No. XXXV
Waduh, jadi ingat masa lalu. ini tulisan pertama saya yang dimuat di media ketika saya masih kelas tiga SMP (iseng-iseng ngesearch dengan keyword namaku di Google)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar