Rabu, 06 Juni 2012

Duli Politik Dalam Kebudayaan*

“Manikebu meninabobokan seniman, karena dia mengajak seniman-seniman jangan berpolitik” (Harian Rakjat, 2 Maret 1964)

Sejarah adalah sesuatu yang musti kita ketahui jika kita ingin menuju ke masa depan, salah satunya adalah sejarah kebudayaan indonesia pada tahun 1950-1965. Sejarah kebudayaan indonesia pada tahun itu atau bisa disebut jaman orde lama sangat erat dengan politik, karena kebudayaan pada saat itu dianggap sebagai sarana paling sangar untuk mencapai tujuan-tujuan berpolitik. Hampir semua partai mempunyai lembaga kebudayaan, sebut saja PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasianal), NU (Nahdatul Ulama) dengan Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dan Partindo (Partai Indonesia) dengan Lesbi (Lembaga Seni Budaya Indonesia). Hampir semua produk kebudayaan di masa itu berbau politik, bahkan surat kabar yang terbit juga tak lepas dari tangan-tangan politik karena surat kabar pada saat itu juga dikuasai oleh partai-partai yang ada.

PKI adalah partai yang paling dominan memegang kondisi politik saat itu dan menyebut diri mereka sebagai kaum kiri, progresif revolusioner dan pancasilais sejati. Sampai-sampai kehidupan budaya dan pers harus membuat garis batas pada pemikiran mereka jika tidak inggin dianggap sebagai kaum kontrarevolusioner, reaksioner dan anti-pancasila. Akhirnya pada saat itu berbagai kelompok kebudayaan, cendekiawan dan pers terbentuk menjadi dua kelompok yaiti kaum kanan dan kaum kiri. Kaum kiri adalah mereka yang mendukung komunisme dan revolusi, sedang kaum kanan adalah penentangnya, antara lain adalah partai dengan dasar agama.

Manifes kebudayaan yang selanjutnya disebut Manikebu oleh kaum kiri baru terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1963 setelah keluarnya Manifesto Politik (Manipol) yang dibacakan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959. Manipol didukung oleh kaum kiri yang juga didukung oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai kaum nasionalis seperti PNI dan Partindo. Para kaum kiri menyebut Manifes Kebudayaan dengan Manikebu bukan tanpa sebab, yang dimaksud Manikebu berasal dari kata Mani dan Kebo alias sperma kerbau, saling olok terjadi tapi bukan hanya itu, pertentangan antara orang-orang Manikebu dan para organ revolusioner terus berlanjut.

Orang-orang yang berada di balik pembuatan Manifes Kebudayaan antara lain adalah H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, Bur Rustanto, A. Bastari Asnin, Soe Hok Djin (Arief Budiman), Ras Siregar, D.S. Moeljanto, Sjahwil dan Djufri Tanissan. Mereka memutuskan untuk mengusung Humanisme Universal dalam Manifes Kebudayaan dan itu bertentangan dengan ideologi yang dibawa oleh Lekra yaitu Realisme Sosialis, tapi perdebatan antara Manifes Kebudayaan/Manikebu dan Lekra sebenarnya bukan hanya atas dasar ideologi mereka. Masalah politiklah yang mendasari semua perdebatan antara Lekra dan Manikebu. Lekra benar benar mengusung propaganda revolusi pada semua produk kebudayaan sedangkan Manikebu tidak se-extreme Lekra, orang-orang manikebu menganggap bahwa karya sastra harus lepas dari propaganda politik walaupun yang menjadi bahasan dalam karya sastra itu adalah kehidupan bermasyarakat.

Orang-orang Manikebu atau Manikebuis tidak menolak revolusi, para Manikebuis tetap mendukung revolusi dengan ideologi Humanisme Universal mereka. Universal yang dimaksud para Manikebuis adalah perjuangan manusia sebagai manusia sebagai totalitas dalam usahanya mengakhiri pertentangan antara manusia dan kemanusiaan. Tapi itu tidak diterima oleh orang-orang Lekra, Humanisme Universal dianggap tidak relevan dengan Manipol dan tujuan revolusi dan yang lebih cocok adalah Humanisme Sosialis. Perdebatan demi perdebatan mengenai kebudayaan pun semakin deras terjadi sejak kemunculan Manikebu dan diadakannya KKPI (Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia) yang didalamnya berkumpul para Manikebuis. Lekra semakin geram dengan gerakan kaum Manikebuis, akhirnya cemoohan-cemoohan pun dilontarkan untuk KKPI.

Selain ribut lewat guntingan Pers, surat-surat kepercayaan dan kegiatan. Perdebatan antara Lekra dan Manikebu juga terlihat dari karya-karya kebudayaan yang ada, contohnya saja roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka yang dituduh hasil plagiat dari karya Alphonse Kaar. Walaupun memang mirip dengan novel karya Kaar tapi aroma politik sangat tercium dari skandal sastra itu, karena hamka adalah salahsatu anggota partai Masyumi yang dilarang oelh Presiden soekarno. Bukan Cuma Hamka, masih banyak pengarang-pengarang yang diserang oleh Lekra karena alasan politik.

Manifes Kebudayaan pun akhirnya dilarang oelh Presiden Soekarno karena alasan bersebrangan dengan Manipol, juga atas intervensi yang dalam dari Lekra kepada Presiden Soekarno. Tapi walaupun Manifes Kebudayaan sudah dilarang perdebatan budaya masih berlanjut antara para kaum kiri atau Lekra bersama lembaga kebudayaan revolusioner lainnya dan kaum kanan yaitu mantan anggota Manifes Kebudayaan. Perdebatan-perdebatan mengenai kebudayaan yang di dasari politik itupun berakhir ketika terjadi Gerakan 30 September PKI.

*Tor diskusi kebudayaan di LPMS IDEAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar