Selasa, 01 April 2014

Suka Cita Perjalanan Pra Kongres PPMI di Bali #1

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni, begitu kata Sapardi. Tapi ketika saya dan beberapa teman saya hendak melakukan perjalanan, penanggalan belum menginjak bulan juni. Tapi hujan begitu tabah dan setia menemani perjalanan kami. Hari itu bertanggal 20-an februari 2014, saya dan 3 orang teman saya hendak melakukan perjalanan ke arah timur, tapi kami tidak sedang mencari kitab suci karena kami bukan biksu dan beberapa muridnya. Kami hanya empat orang pemuda yang rawan diserang kesepian.
Empat pemuda itu adalah Saya, Bill, Mas Teguh yang acap kali dipanggil Cetar dan Joko. Tujuan perjalanan kami adalah Pulau Bali, bukan untuk berlibur atau refresing tapi ada misi yang harus kami selesaikan, yaitu menghadiri undangan dari kawan kawan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Bali (PPMI DK Bali).
Perjalanan kami dimulai dari kampus tercinta yang akhir-akhir ini sering menyiksa kami; Universitas Jember (UJ). Sekitar pukul setengah empat saya, Mas Cetar dan Joko berangkat diantar oleh Faiz dan Yudha, tentunya ditemani hujan yang begitu tabah. Kami bertiga sampai di Stasiun Jember dan karena saya bonceng tiga ketika berangkat, tak ayal separuh celana saya basah kuyup. Di stasiun kami dipaksa menunggu dan masih ditemani oleh hujan yang semakin lama sepertinya semakin dibenci orang yang melakukan perjalanan. Kami harus menunggu Bill yang belum sampai ke stasiun karena dia berangkat dari tempat yang berbeda.
Untung saja di stasiun kami masih bisa menikmati wajah manis para calon penumpang kereta. Emosi kami bertiga terhadap bill dan mungkin juga kepada hujan agak mereda. Jadwal keberagkatan kereta kami adalah jam 16.00 WIB dan kurang 10 menit lagi kereta itu akan berangkat, sedangkan kami masih sibuk menunggu Bill. Pesan singkat dan telfon tak mendapat respon dari Bill dan tepat pukul 15.55 Bill datang diantar oleh Toni, puji Tuhan perjalanan kita tidak gagal karena satu orang.
Sebelum masuk ke stasiun kami pun menyerahkan tiket ke petugas, tapi kami masih dipaksa untuk memperjelas identitas kami dengan menunjukkan kartu tanda pengenal. Apakah ini bentuk krisis kepercayaan pihak PT. KAI kepada para penumpang? Apakah seorang balita juga harus menunjukkan kartu tanda pengenal ketika naik kereta? Mungkin pada akhirnya nanti kereta bukan lagi jadi transportasi umum tapi transportasi untuk para warga negara yang mempunyai kartu tanda pengenal saja.
Untung saja kami berempat masih menjadi warga negara yang baik dan yang itu dilihat dari kepemilikan kartu tanda pengenal –afu banget kan. Kami akhirnya bisa duduk di dalam kereta yang setiap hari semakin dipoles menjadi transportasi yang nyaman bagi penumpangnya. Tapi saya tetap tidak merasa nyaman. Perjalanan harus kami tempuh selama empat jam dan saya bersama ketiga teman saya adalah perokok aktif. Sedangkan di dalam kereta dilarang merokok.
Bayangkan kami harus menunggu selama 4 jam perjalanan tanpa ada yang dikerjakan dan tanpa ada rokok. Jika berbicara kenyamanan tentu kita berbicara hak banyak orang dan kami berempat juga mempunyai hak yang sama dengan para penumpang lain. Penumpang yang lain –yang bukan perokok mendapatkan fasilitas Air Conditioner (AC) dan bagi kami –perkokok seharusnya juga mendapatkan ruangan khusus merokok dalam kereta. Semoga saja tulisansaya ini dibaca oleh direktur atau pimpinan PT. KAI dan semoga bapak pimpinan bukan seorang penganut aliran yang memfatwa haram rokok. Semoga.
Tiba-tiba Mas Cetar mengeluarkan sesuatu dalam tas, saya, Joko dan Bill curiga apa yang akan dilakukan Mas Cetar. Apakah dia akan melanggar larangan merokok atau dia akan merampok kereta yang kami tumpangi. Tapi dugaan kami salah, Mas Cetar bukan anggota FPI juga bukan perompak. Mas Cetar ternyata mengeluarkan satu bungkus mie instan. Akhirnya dengan metode satu untuk semua maka jadilah satu bungkus mie instan tanpa dimasak sebagai pengganti asap rokok.
Kereta melaju melewati persawahan dan beberapa gumuk yang sempat menjadi simbol kultural kota Jember. Tapi sayangnya beberapa gumuk sudah digerogoti oleh para penambang hingga hampir habis. Saya tidak seberapa faham tentang gumuk, tapi ketika melihat simbol kultural kota jember itu sedikit demi sedikit mulai habis, saya merasa sangat miris. Bagaimana bisa pemerintah kota Jember merasa sedang tidak terjadi apa-apa padahal mereka akan kehilangan hal yang sangat besar dari kota mereka. Ah, manusia memang makhluk yang tidak pernah puas.
Kereta akhirnya membawa kami melewati kota jember dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya sampai akhirnya kami sampai di Stasiun Banyuwangi Baru. Tanpa dikomando perut kami berempat merasakah satu hal yang sama; lapar. Akhirnya kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu sebelum meyebrang dari Banyuwangi ke Pulau Bali. Jarak antara stasiun dan Pelabuhan Ketapang tidak seberapa jauh, kami pun memutuskan untuk jalan kaki sembari melirik kanan kiri mencari warung untuk mengisi perut. Sepanjang peralanan musik khas Banyuwangi selalu mengisi pendengaran. Musik dengan bahasa khas Banyuwangi yaitu bahasa osing juga menemani suasana warung dimana kami makan. Tanpa sadar mulut dan kaki kami ikut berdendang mengikuti alunan lagu Banyuwangian yang sudah tidak begitu asing dengan telinga kami.
Obrolan tentang lagu Banyuwangi dan salah seorang teman yang sangat tidak menyukai lagu yang bergenre dangdut pun menjadi peneman makan kami. Setelah makan kami melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan ketapang, tapi bukan kapal penumpang yang kami pilih melainkan kapal barang karena permasalahan harga. Pelabuhan Gilimanuk pun menyambut kami dengan keremangan lampu setelah sekitar satu jam kami menyebrang dari Banyuwangi menuju Bali.
Kami berempat memang berangkat dengan modal keberanian karena diantara kami tidak ada yang membawa uang dengan jumlah banyak. Bahkan bisa dibilang kami tidak punya cukup biaya untuk melakukan perjalanan pulang dan pergi Jember-Bali. Pada akhirnya, kami harus berjalan kaki kurang lebih sekitar enam sampai tujuh kilometer dari Pelabuhan Gilimanuk sampai kami menemukan pertigaan setelah jembatan timbang. Kaki kami berempat sudah mulai lemas dan kami memutuskan mengacungkan jempol kami dipinggir jalan sebagai tanda kami sedang mencari tebengan.
Setelah sekitar satu jam lebih dan satu botol kopi hampir tandas, kami baru mendapatkan tebengan yaitu truk tronton dengan plat nomor Mataram. Kami menyatakan tujuan ke Denpasar dan si supir menawarkan tumpangan sampai ke Terminal Ubud. Kami mengiyakan kemudian masuk ke kepala truk itu. Kami harus berdesak-desakan dan mungkin karena faktor capek kami berempat pun tertidur.
Tiba-tiba truk berhenti, ternyata si supir ingin menyempatkan menyeruput kopi dan menyapa kawan-kawan satu daerahnya di warung makan pinggir jalan. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, tapi kami berempat dibagi dalam dua truk dengan tujuan yang sama agar kami tidak berdesak-desakan. Saya dan Bill di truk pertama sedangkan Mas Cetar dan Joko di truk ke dua. Pagi mulai menjelang dan saya mulai tertidur kembali.
Perjalanan kami sekali lagi harus tertunda karena truk yang saya dan Bill naiki mengalami sedikit insiden; rodanya bocor. Saya masih ingat kami berhenti di Warung Banyuwangi daerah Tabanan. Setelah roda truk diganti salah seorang kondektur truk menghampiri kami dan meminta biaya perjalanan. Kami kaget, sedikit tercengang karena kami niat nebeng bukan mencari transportasi berbayar. Akhirnya kami pun memberikan uang sejumlah 40 ribu dan konsekwensi yang harus kami terima adalah; kami harus turun di daerah itu juga.
Saya sebenarnya curiga ada sebuah konsensus antara supir truk yang pertama kali kami tumpangi dan supir truk kedua yang kami temui di warung makan. Seperti ada yang diperdebatkan dengan bahasa sasak ketika mereka sedang mengganti roda. Mungkin kehidupan supir truk memang keras, panas dan rawan konflik. Maka kami pun memutuskan segera meninggalkan tempat penggantian roda truk itu dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Sekali lagi kami berempat harus menempuh berkilometer lagi dengan jalan kaki sampai akhirnya kami mendapatkan tumpangan lagi, yaitu mobil pick-up. Dua kali kami berganti mobil pick-up sampai akhirnya ada seorang yang rela menawari kami tumpangan. Dia adalah orang Jember yang merantau ke Bali. Cak Celeng begitu dia mengenalkan namanya. Dia menebak kami dari jember karena Joko memakai kaos #Save Gumuk yang notabene adalah kaos yang dijual ketika ada acara local movement tentang gumuk di Jember.
Kami berempat diboyong ke kantor istri Cak Celeng, di kantor itu kami berbincang banyak tentang gumuk sampai akhirnya Cak Celeng dan istrinya rela mengantar kami ke Universitas Udayana. Sampailah kami ke tempat tujuan, yaitu di Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
(Persiapan ruangan untuk acara Pra Kongres PPMI XII. Foto diambil dari twitter PPMI DK Bali)
(Suasana Pra Kongres hari pertama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar