Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni, begitu kata Sapardi.
Tapi ketika saya dan beberapa teman saya hendak melakukan perjalanan,
penanggalan belum menginjak bulan juni. Tapi hujan begitu tabah dan setia
menemani perjalanan kami. Hari itu bertanggal 20-an februari 2014, saya dan 3
orang teman saya hendak melakukan perjalanan ke arah timur, tapi kami tidak
sedang mencari kitab suci karena kami bukan biksu dan beberapa muridnya. Kami
hanya empat orang pemuda yang rawan diserang kesepian.
Empat pemuda itu adalah Saya,
Bill, Mas Teguh yang acap kali dipanggil Cetar dan Joko. Tujuan perjalanan kami adalah Pulau Bali, bukan
untuk berlibur atau refresing tapi ada misi yang harus kami selesaikan, yaitu
menghadiri undangan dari kawan kawan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan
Kota Bali (PPMI DK Bali).
Perjalanan kami dimulai dari kampus tercinta yang
akhir-akhir ini sering menyiksa kami; Universitas Jember (UJ). Sekitar pukul
setengah empat saya, Mas Cetar dan Joko berangkat diantar oleh Faiz dan Yudha, tentunya ditemani hujan yang begitu tabah. Kami bertiga sampai di Stasiun Jember dan karena saya bonceng tiga ketika berangkat, tak ayal separuh celana saya basah kuyup. Di stasiun kami dipaksa menunggu
dan masih ditemani oleh hujan yang semakin lama sepertinya semakin dibenci
orang yang melakukan perjalanan. Kami harus menunggu Bill yang belum sampai ke
stasiun karena dia berangkat dari tempat yang berbeda.
Untung saja di stasiun kami masih bisa menikmati
wajah manis para calon penumpang kereta. Emosi kami bertiga terhadap bill dan
mungkin juga kepada hujan agak mereda. Jadwal keberagkatan kereta kami adalah
jam 16.00 WIB dan kurang 10 menit lagi kereta itu akan berangkat, sedangkan
kami masih sibuk menunggu Bill. Pesan singkat dan telfon
tak mendapat respon dari Bill dan tepat pukul 15.55 Bill
datang diantar oleh Toni, puji Tuhan
perjalanan kita tidak gagal karena satu orang.
Sebelum masuk ke stasiun kami pun menyerahkan
tiket ke petugas, tapi kami masih dipaksa untuk memperjelas identitas kami
dengan menunjukkan kartu tanda pengenal. Apakah ini bentuk krisis kepercayaan
pihak PT. KAI kepada para penumpang? Apakah seorang balita juga harus
menunjukkan kartu tanda pengenal ketika naik kereta? Mungkin pada akhirnya
nanti kereta bukan lagi jadi transportasi umum tapi transportasi untuk para
warga negara yang mempunyai kartu tanda pengenal saja.
Untung saja kami berempat masih menjadi warga
negara yang baik dan yang itu dilihat dari kepemilikan kartu tanda pengenal
–afu banget kan. Kami akhirnya bisa duduk di dalam kereta yang setiap hari
semakin dipoles menjadi transportasi yang nyaman bagi penumpangnya. Tapi saya
tetap tidak merasa nyaman. Perjalanan harus kami tempuh selama empat jam dan
saya bersama ketiga teman saya adalah perokok aktif. Sedangkan di dalam kereta
dilarang merokok.
Bayangkan kami harus menunggu selama 4 jam
perjalanan tanpa ada yang dikerjakan dan tanpa ada rokok. Jika berbicara
kenyamanan tentu kita berbicara hak banyak orang dan kami berempat juga
mempunyai hak yang sama dengan para penumpang lain. Penumpang yang lain –yang
bukan perokok mendapatkan fasilitas Air Conditioner (AC) dan bagi kami
–perkokok seharusnya juga mendapatkan ruangan khusus merokok dalam kereta.
Semoga saja tulisansaya ini dibaca oleh direktur atau pimpinan PT. KAI dan
semoga bapak pimpinan bukan seorang penganut aliran yang memfatwa haram rokok. Semoga.
Tiba-tiba Mas Cetar mengeluarkan sesuatu dalam tas, saya, Joko
dan Bill curiga apa yang akan dilakukan Mas Cetar. Apakah dia akan melanggar larangan merokok
atau dia akan merampok kereta yang kami tumpangi. Tapi dugaan kami salah, Mas Cetar bukan anggota FPI juga
bukan perompak. Mas Cetar ternyata mengeluarkan satu bungkus mie instan.
Akhirnya dengan metode satu untuk semua maka jadilah satu bungkus mie instan
tanpa dimasak sebagai pengganti asap rokok.
Kereta melaju melewati persawahan dan beberapa
gumuk yang sempat menjadi simbol kultural kota Jember.
Tapi sayangnya beberapa gumuk sudah digerogoti oleh para penambang hingga
hampir habis. Saya tidak seberapa faham tentang gumuk, tapi ketika melihat
simbol kultural kota jember itu sedikit demi sedikit mulai habis, saya merasa sangat miris. Bagaimana
bisa pemerintah kota Jember merasa sedang tidak terjadi apa-apa padahal
mereka akan kehilangan hal yang sangat besar dari kota mereka. Ah, manusia
memang makhluk yang tidak pernah puas.
Kereta akhirnya membawa kami melewati kota jember
dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya sampai akhirnya kami sampai di Stasiun Banyuwangi Baru. Tanpa dikomando perut
kami berempat merasakah satu hal yang sama; lapar. Akhirnya kami memutuskan
untuk makan terlebih dahulu sebelum meyebrang dari Banyuwangi
ke Pulau Bali. Jarak antara stasiun dan
Pelabuhan Ketapang tidak seberapa jauh,
kami pun memutuskan untuk jalan kaki sembari melirik kanan kiri mencari warung
untuk mengisi perut. Sepanjang peralanan musik khas Banyuwangi
selalu mengisi pendengaran. Musik dengan bahasa khas Banyuwangi
yaitu bahasa osing juga menemani
suasana warung dimana kami makan. Tanpa sadar mulut dan kaki kami ikut berdendang
mengikuti alunan lagu Banyuwangian yang sudah tidak begitu asing dengan
telinga kami.
Obrolan tentang lagu Banyuwangi
dan salah seorang teman yang sangat tidak menyukai lagu yang bergenre dangdut
pun menjadi peneman makan kami. Setelah makan
kami melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan ketapang, tapi bukan kapal penumpang yang kami pilih
melainkan kapal barang karena permasalahan harga. Pelabuhan Gilimanuk pun
menyambut kami dengan keremangan lampu setelah sekitar satu jam kami menyebrang
dari Banyuwangi menuju Bali.
Kami berempat memang berangkat
dengan modal keberanian karena diantara kami tidak ada yang membawa uang dengan
jumlah banyak. Bahkan bisa dibilang kami tidak punya cukup biaya untuk
melakukan perjalanan pulang dan pergi Jember-Bali. Pada akhirnya, kami harus
berjalan kaki kurang lebih sekitar enam sampai tujuh kilometer dari Pelabuhan Gilimanuk
sampai kami menemukan pertigaan setelah jembatan timbang. Kaki kami berempat
sudah mulai lemas dan kami memutuskan mengacungkan jempol kami dipinggir jalan
sebagai tanda kami sedang mencari tebengan.
Setelah sekitar satu jam lebih dan
satu botol kopi hampir tandas, kami baru mendapatkan tebengan yaitu truk
tronton dengan plat nomor Mataram. Kami menyatakan tujuan ke Denpasar dan si supir
menawarkan tumpangan sampai ke Terminal Ubud. Kami mengiyakan kemudian masuk ke
kepala truk itu. Kami harus berdesak-desakan dan mungkin karena faktor capek
kami berempat pun tertidur.
Tiba-tiba truk berhenti, ternyata si
supir ingin menyempatkan menyeruput kopi dan menyapa kawan-kawan satu daerahnya
di warung makan pinggir jalan. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, tapi
kami berempat dibagi dalam dua truk dengan tujuan yang sama agar kami tidak
berdesak-desakan. Saya dan Bill di truk pertama sedangkan Mas Cetar dan Joko di
truk ke dua. Pagi mulai menjelang dan saya mulai tertidur kembali.
Perjalanan kami sekali lagi harus
tertunda karena truk yang saya dan Bill naiki mengalami sedikit insiden;
rodanya bocor. Saya masih ingat kami berhenti di Warung Banyuwangi daerah Tabanan.
Setelah roda truk diganti salah seorang kondektur truk menghampiri kami dan
meminta biaya perjalanan. Kami kaget, sedikit tercengang karena kami niat
nebeng bukan mencari transportasi berbayar. Akhirnya kami pun memberikan uang
sejumlah 40 ribu dan konsekwensi yang harus kami terima adalah; kami harus
turun di daerah itu juga.
Saya sebenarnya curiga ada sebuah
konsensus antara supir truk yang pertama kali kami tumpangi dan supir truk
kedua yang kami temui di warung makan. Seperti ada yang diperdebatkan dengan
bahasa sasak ketika mereka sedang mengganti roda. Mungkin kehidupan supir truk
memang keras, panas dan rawan konflik. Maka kami pun memutuskan segera
meninggalkan tempat penggantian roda truk itu dan melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki.
Sekali lagi kami berempat harus
menempuh berkilometer lagi dengan jalan kaki sampai akhirnya kami mendapatkan
tumpangan lagi, yaitu mobil pick-up.
Dua kali kami berganti mobil pick-up
sampai akhirnya ada seorang yang rela menawari kami tumpangan. Dia adalah orang
Jember yang merantau ke Bali. Cak Celeng begitu dia mengenalkan namanya. Dia
menebak kami dari jember karena Joko memakai kaos #Save Gumuk yang notabene
adalah kaos yang dijual ketika ada acara local
movement tentang gumuk di Jember.
Kami berempat diboyong ke kantor istri Cak Celeng, di kantor itu kami berbincang banyak tentang gumuk sampai akhirnya Cak Celeng dan istrinya rela mengantar kami ke Universitas Udayana. Sampailah kami ke tempat tujuan, yaitu di Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Kami berempat diboyong ke kantor istri Cak Celeng, di kantor itu kami berbincang banyak tentang gumuk sampai akhirnya Cak Celeng dan istrinya rela mengantar kami ke Universitas Udayana. Sampailah kami ke tempat tujuan, yaitu di Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar