Rabu, 25 Juni 2014

#3

Wanitaku,

Entah kenapa aku merasa ini adalah cinta yang sangat berharga. Banyak sekali tembok yang harus kulewati dan kuhancurkan tanpa sisa. Tembok yang sangat kokoh. Tapi aku tak pernah menyerah untuk mencintaimu. Itulah yang membuatku yakin bahwa ini bukan sekedar cinta monyet dua remaja. Mungkin setelah ini kau juga akan merasakannya.

Kamu sudah khatamkan buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu kan? Puthut begitu pintar bercerita tentang kesakitan juga cinta dalam bukunya itu. Dia meracik pengalamannya mempertahankan cinta, menjadikannya cerita yang nyaman kita baca. Mungkin aku pun seperti itu, tapi sayangnya aku bukan seorang sastrawan atau penulis handal. Aku hanya lelaki yang dididik oleh kesakitan dan belum menemukan penghujung yang entah. Tapi dari situ aku belajar mencintai. Mencintai secara tulus. Ditinggalkan dengan tulus. Juga menerima semua dengan tulus.

Kadang aku berpikir, kenapa dari dulu aku tak bisa menjadi lelaki yang tegas. Apalagi dalam hal mencintai. Aku begitu menghargai cinta. Dan aku juga pernah merasakan nyeri akibat cinta. Tapi sekarang aku mencintaimu sebagai yang ‘ada’. Sebagai puisi yang tidak akan pernah aku tuntaskan. Sebagai lembar-lembar halaman yang padanyalah hidupku akan menggoreskan nasib. Juga sebagai wanita yang semoga saja menjadi wanitaku yang sesungguhnya; istriku. Semoga Tuhan menjawab doaku ini. Doa hamba yang tak jarang menyepelekannya.

Aku menulis surat ini pada dini hari yang dingin, suasana ruangan yang dingin dan wajahku yang mungkin dalam pengelihatanmu juga dingin. Aku sedang tidak mempermasalahkan apapun tentang kita. Walaupun aku tahu ada yang sedang tidak baik-baik saja. Tapi aku mencintaimu dan aku percaya bahwa kau juga mencintaiku. Aku hanya sedang rindu bada Ibu. Perempuan yang tak pernah terluka karena tingkah anaknya. Perempuan dengan kasih yang sangat tulus.

Aku rindu pada Ibuku. Jadi ketika kau menatapku tak usahlah berfikir bahwa aku sedang marah atau bersedih. Aku hanya terjebak rindu. Mungkin aku juga akan seperti ini jika rindu kepadamu. Pada wanita yang padanyalah cinta ini aku curahkan.

Suara Cristabel Annora yang menyanyikan Desember milik Efek Rumah Kaca sedikit membawa ketenangan padaku. Juga ditambah bayangan gurat senyummu yang masih aku simpan dalam ingatan. Aku tak ingin mengutip puisi atau lagu lagi dalam surat ini. Aku hanya ngin membiarkan semua yang ada dalam pikiranku sekarang tumpah pada baris-baris surat ini. Aku hanya ingin membaginya dengan wanita yang memutuskan menjalin hubungan denganku. Menjadi wanitaku dan mencintaiku.

Sebelumnya sempat terpikirkan olehku untuk menyerah. Menyerah pada nasib yang begitu kejam. Menyerah pada tembok-tembok yang begitu kokoh. Menyerah pada waktu yang serupa belati, juga masa lalu yang selalu kau nanti itu. Tapi aku tak bisa lepas mencintaimu. Sakit menyingkir karena keyakinan diri bahwa mencintai itu menyenangkan. Lalu semua kembali seperti biasa walaupun kau masih menyimpan beberapa hal lain. Aku tahu itu.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada yang kita sebut cinta. Aku hanya ingin mencintaimu tanpa memikirkan masa lalumu. Juga ketakutanmu mencintai kembali masa lalumu yang tanpa sadar aku begitu mengagumi hal itu. Aku tak hanya mencintaimu. Aku mengagumi beberapa hal yang kau miliki. Keluguanmu. Keceriaanmu. Matamu yang padanyalah aku menemukan penerjemah luka. Keseharianmu. Juga keteguhanmu, walaupun kadang kala kau tak bisa menyembunyikan kekalutan dan mendung pada wajahmu itu.

Aku tetap seorang lelaki yang sial. Tapi aku terus belajar. Belajar mencintai seorang wanita yang kuat dengan menjadi laki yang kuat juga tentunya. Dan aku selalu berharap ada keterbukaan antara kita. Karena ketika kita saling terbuka, mungkin kekuatan yang lain akan muncul. Kita tak perlu bersembunyi. Kita diciptakan sebagai makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan makhluk lainnya. Tapi aku tak mau memaksamu. Aku tak akan memaksamu lagi walaupun hanya agar kau sudi memakai jaket demi kesehatanmu. Mungkin aku hanya menyuruhmu sekali saja, entah kau akan lakukan atau tidak.

Mengapa pagi ini aku teringat momen dimana aku menghampirimu ke depan Indomaret ketika hujan dulu. Ketika itu aku merasa kita sedang berada pada posisi yang sangat renggang. Walaupun kita hanya terpaut jarak beberapa sentimeter saja. Kita berbicara tentang cinta saat itu. Juga bercerita tentang masa lalumu. Ketika itu aku bercerita tentang masa lalumu yang tidak lain adalah temanku.

Aku bercerita tentang temanku yang pernah membawa wanita lain ke kamarnya. Wanita yang bukan kekasihnya, karena yang ku tahu kaulah kekasihnya saat itu. Kau hanya tersenyum dengan tatapan kosong.  Tapi aku heran, rasa cintaku saat itu semakin bertambah. Kau bukan seorang perempuan pendendam, itulah yang membuatku semakin mencintaimu, juga mengagumimu.

Wanitaku, aku mencintaimu. Tanpa tedeng aling-aling apapun.

Aku menghabiskan pagi dengan menulis surat ini. Membuka-buka lagi surat balasanmu. Surat-surat yang mengendapkan cerita kita. Surat yang mungkin berbeda dengan kenyataannya.

Aku menjanjikan banyak hal padamu. Tapi semuanya belum bisa kupenuhi dan pada ulang tahunmu yang ke-19, yang tepat jatuh pada tanggal 19 Januari kemarin, aku tak bisa memberimu apa-apa. Bahkan sekedar ucapan pun aku tak memberikannya padamu. Mungkin kau tak pernah merasakan itu ketika kau mempunyai pacar dulu. Maafkan aku jika tak memberimu momen yang spesial di hari ulang tahunmu. Maafkan aku.

Tapi aku akan berusaha menepati semua janji yang terlontar dari mulut besarku ini. Ah sepertinya sudah waktunya tidur untukku. Karena adzan subuh sudah berkumandang dan aku tidak sadar menuliskan surat ini di hari valentine. Aku tak pernah merayakannya, tapi apa salahnya menghormati perayaannya? Maka di hari yang kata orang kebanyakan adalah hari kasih sayang ini aku ingin mengatakan padamu. Kalimat yang mungkin sudah terlalu sering kau dengarkan dan kau baca; Aku Cinta Padamu. Dan sekali lagi maafkan aku tak bisa memberikanmu apapun di hari kematian pendeta Valentino ini.

Dengan segenap rasa cinta,

Lelaki tengik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar