Selasa, 24 April 2012

Mengapa Filsafat ?*


Mungkin sulit sekali rasanya mengantarkan kita kepada filsafat jika kita sebagai orang yang mempelajarninya tidak mau membaca dan selalu mencari.. Filsafat berasal dari Griek berasal dari kata Pilos (cinta), Sophos (kebijaksanaan),tahu dengan mendalam, hikmah. Sedangkan Filsafat dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “pengetahuan dan penyelidikan dng akal budi mengenai hakikat segala yg ada, sebab, asal, dan hukumnya”.

Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat. Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni tradisi: (1) Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), (2) Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini), dan (3) Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).

Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain) sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda. Bisa disebut kita harus berfikir secara radikal atau berpikir mendasar untuk meruntut dan mengetahui apa yang ada Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina tanpa memihak. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Fuad Hassan guru besar psikologi universitas Indonesia bahwa filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berfikir radikal dalam arti mulai dari radix suatu gejala dari akar suatu hal yang hendak dimasalahkan, dan dengan jalan penjajagan yang radikal filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan kesimpulan yang universal

Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché, sedangkan Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat “udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Akh mungkin saya terlalu jauh menjelaskan ini, saya tidak mau terlalu jauh memulai.

Berfikir universal itulah salah satu hal penting yang menjadi pegangan kita, seperti Thales dan Anaximenes yang mempunyai pemikiran yang berbeda mengenai unsur induk atau yang membentuk alam semesta. Berpikir universal di sini adalah berpikir secara luas dan umum, dan sifat skeptis sangat berpengaruh dalam berfikir universal, karena kita tidak boleh langsung percaya terhadap sesuatu, kita harus selalu mencari dan mencari karena kebenaran bukanlah sesuatu yang kekal. Mencari dan mencari akan membuat kita semakin luas untuk berpikir dan pemikiran kita yang luas akan menghasilkan suatu hasil yang luas atau universal.

Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat berbeda dengan Thales dan Anaximenes. Pythagoras mengatakan bahwa segala sesuatu itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang menyebut atau memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia atau mencinta untuk menggapai kebenaran melalui berpikir atau bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus. Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu (arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk mencari sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Hubungan sebab akibat yang digunakan oleh Pythagoras menjadi sebuah pemikiran yang sistematis, karena pemikiran Pythagoras selalu beraturan dan urut dan bertanggung jawab, dimulai dari sebab dan berakhir di akibat. Dalam mempelajari filsafat tentunya kita juga harus berpikir sistematis agar apa yang kita pelajari tidak amburadul melainkan teratur dan urut. Dalam merogoh kenyataan dibalik sebuah hakikat, maka dibiutuhkan keteletian berdasarkan urutan yang teliti dan beraturan. Pada akhirnya tak ada satupun ranting yang terputus dan sengaja dihilangkan.


*TOR diskusi LPMS IDEAS

1 komentar:

  1. It is peгfесt time tο make a few plans for
    the longer tеrm and it is timе to be happy.
    I have learn thiѕ post аnԁ іf
    ӏ сοuld I desire to counsel уοu ѕome intereѕting things or ѕuggeѕtions.

    Mаybe уou could wrіte subѕequent articles referring to this aгtіcle.
    I wish to гead more thіngs аbout іt!


    Feel free to surf to mу web ρage ... http://www.sfgate.com/business/prweb/article/V2-Cigs-Review-Authentic-Smoking-Experience-or-4075176.php

    BalasHapus