Rabu, 27 Februari 2013

27.02.2013



 “Yang fana adalah waktu.  Kita abadi: 
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga 
sampai pada suatu hari 
kita lupa untuk apa.”
(Yang Fana Adalah Waktu -  Sapardi Djoko Damono) 


Dingin mewaktu pada malam ini, juga rasa gundah yang datang tanpa permisi seperti anak kecil yang belum mengetahui adat mengetuk pintu. Entah mengapa malam ini saya ingin menulis tentang ketidak-jelas-an hidup. Seperti kutipan puisi Sapardi di atas, kita memungut detik demi detik lantas menyimpannya, tapi pada akhirnya kita lupa mau menggunakannya untuk apa. Begitu pula hidup, kita selalu berusaha mengumpulkan semua yang ada di sekitar kita juga yang bisa kita raih, tapi kita tak tahu apakah nantinya semua yang kita kumpulkan itu berguna atau tidak, atau bahkan kita hanya mengumpulkan sesuatu yang kosong, yang tak pernah berisi apa-apa.

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang tak pernah puas. Kepuasan tentu juga tak pernah berujung. Ada yang kosong. Yang tidak berguna. Manusia mungkin tidak punya titik kepuasan karena tak ada yang sempat diselesaikannya pada hidup yang hampa ini, hidup yang juga kita tak tau kapan akan berakhir dengan kematian yang sunyi . Wiji Thukul mungkin menjadi seorang penyair yang mengalami itu, pada kesunyian dia menghilang, dia tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada kedua anaknya; Fajar Merah dan Fitri Nganti Wani. Wiji juga mungkin belum sempat menyelesaikan beberapa puisinya.

Dan apapun tentang surga dan neraka yang selalu dibayangkan oleh kebanyakan manusia, itu juga sebuah bentuk ketidak-selesaian dalam hidup. Ketidak-sempatan. Mungkin juga ketidak-puasan. Phytagoras belum menyelesaikan khotbah pada murid-murid hewannya, dia juga mungkin belum sempat menyampaikan khotbahnya pada para manusia yang benar-benar apatis pada saat itu. Dan pada akhirnya dia dipaksa mengakhiri hidupnya dengan ketidak-puasan. Dia diberi dua pilihan yang sama-sama akan mengentas nyawanya; digantung atau meminum racun. Phytagoras lebih memilih meminum racun sebagai bukti ada yang belum selesai sebelum dia merentas ke dunia yang lain –mungkin surga, mungkin juga neraka.

Tapi di jaman yang serba instan ini, hidup tak lagi menjadi sebuah kegigihan mencapai kebahagiaan tapi bagaimana mencari kesempatan dan menjadi yang pertama menggandeng kesempatan itu. Hidup menjadi semakin fana kata Sapardi dan kitalah yang menjadi abadi tanpa kealphaan pada keserakahan yang semakin hari semakin membenahi dirinya. Dan semakin kedepan hidup tidak lagi menjadi kesunyian masing-masing seperti kata Chairil, tapi hidup menjadi ketidak-selesaian yang abadi.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar