Hari
ini saya bangun pagi, jika tidak salah sekitar pukul 08.40 WIB itu masih pagi betul menurut saya. Di samping saya ada Dani yang masih memejamkan mata dan raut mukanya seperti
kurang sehat. Entah tubuh atau psikologinya yang sedang kurang sehat. Setelah
beberapa menit mencoba mengumpulkan kesadaran yang tadi malam saya lepas untuk
sementara, akhirnya saya memutuskan untuk duduk di depan pintu sekretariat. Ya,
sekretariat Ideas. Tadi malam saya tidur di sekretariat Ideas, sebuah ruangan
yang mengajarkan saya tentang kehidupan yang banal. Lalu mencuci muka tanpa
sikat gigi juga di kran depan sekretariat.
Tiba-tiba
saja perut saya mulai manja, memaksa saya untuk segera mengisinya. Saya melihat Dani masih terkapar tidur, masih dengan muka yang kurang sehat. Tapi pada
akhirnya saya pun membangunkan dani dan mengajaknya makan. Setelah kenyang kami
memutuskan untuk bersantai sembari menghisap beberapa kretek di sekretariat.
Setelah
dzuhur Dani pun meninggalkan sekret untuk mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Ah
entah kenapa seorang pemuda revolusioner seperti Dani masih mau mengikuti UAS. Tapi
entahlah, mungkin dia masih berpikiran bahwa kuliah ini bukan media belajar tapi
media mencari ijasah dan pencitraan sebagai sarjana. Karena beberapa kali saya
ngobrol dengan Dani tentang kuliah dan dia menurut saya berpikiran praksis.
Dani berpikiran bahwa dia masuk kelas dan mengikuti kuliah serta ujian itu
hanya untuk formalitas saja. Dia lebih suka dan lebih nyaman belajar di luar
tanpa sekat-sekat yang ditentukan oleh pihak akademik kampus.
Saya
pun sempat berpikiran sama seperti Dani, tapi hidup tak melulu tentang
membedakan dan menyamakan sesuatu bukan. Tapi sampai sekarang saya masih tetap
memegang teguh bahwa apa yang diberikan di perkuliahan tidak lebih baik
daripada obrolan di warung kopi atau diskusi-diskusi kecil di emperan jalan.
Saya selama ini masih merasa bahwa dosen yang mengajar itu hanya bersifat
memberi, bukan bersifat komunikatif karena saya beberapa kali diusir dari kelas
karena mempunyai pemikiran yang berbeda dengan dosen itu.
Seperti
sistem di Brazil yang dikritik oleh Paulo Freire. Anak didik diibaratkan
sebagai sebuah gelas yang digunakan untuk menampung segala rumusan atau dalil
pengetahuan. Para anak didik tidak dianggap sebagai individu yang dinamis dan
punya pemikiran yang bebas dan dalam posisi seperti ini pengajar lah yang
diuntungkan. Karena semakin banyak isi yang dimasukkan kedalam gelas oleh
pengajar, maka semakin terlihat pintarlah si pengajar dan semakin patuh anak
didik maka semakin dijunjunglah dia.
Apa
yang terjadi dan coba dikritik oleh Freire itu malah menurut saya semakin
masiv di sekitar saya. Bagaimana para mahasiswa mencoba mendekati dosen dan
menuruti apa saja yang dosen perintahkan, tanpa memikirkan itu rasional atau
tidak. Seperti yang pernah saya alami, salah satu dosen memberikan tugas
membuat cerpen 50.000 kata. Saya tercengang dan secara logika menolak untuk
mengerjakan tugas yang tidak khayal itu. Sayangnya teman-teman saya hanya
mengeluh dan masih mau saja mengerjakan tugas itu. Aneh kan?
Pada
posisi seperti itu saya ingat apa yang disebut Freire sebagai kesadaran
manusia, salah satunya adalah kesadaran naif. Menurut Freire kesadaran naif ini
muncul ketika sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas,
tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif. Jika dilarikan ke
kondisi di sekitar saya maka kesadaran naif ini muncul ketika mahasiswa
menjilat dosen agar mendapatkan nilai yang bagus atau demi kepentingan personal
mahasiswa itu sendiri. Selain itu mahasiswa yang ada di sekitar saya juga lebih
suka menerima yang instan tanpa memunculkan dialektika. Dan yang lainnya
seperti berdebat tentang permasalahan kuliah dibelakang pengajar, itu
juga bisa diidentifikasi sebagai kesadaran naif.
Lantas
esensi pendidikan sebenarnya apa? Apakah sebagai sarana penyadaran atau sarana
pembebasan berpikir? Saya kira pertanyaan ini sulit dijawab ketika kebanyakan
mahasiswa hanya mampu menerima atau yang disebut Freire sebagai kesadaran
kritis transitif belum muncul.
Ah
entahlah, padahal saya sekarang sedang cuti kuliah tapi kenapa saya masih
memikirkan kehidupan kampus. Malang sekali nasib saya. ketika menulis ini saya
sedang rapat redaksi bulletin, Winda sedang memimpin rapat, Dani sedang bermain
korek, Fyruz sedang jadi notulensi dan entah apa yang sedang dilakukan Nurul
dengan tisu dan bolpoint yang ada di tangannya. Semoga beberapa mahasiswa yang
sedang bersama saya sore ini segera sampai pada kesadaran kritis transitif agar
kegelisahan yang dibawa oleh Freire tidak mengganggunya di akhirat sana.[]
akhirnya :)
BalasHapus:)
Hapus