Jumat, 06 Juni 2014

Sadar

Hari ini saya bangun pagi, jika tidak salah sekitar pukul 08.40 WIB itu masih pagi betul menurut saya. Di samping saya ada Dani yang masih memejamkan mata dan raut mukanya seperti kurang sehat. Entah tubuh atau psikologinya yang sedang kurang sehat. Setelah beberapa menit mencoba mengumpulkan kesadaran yang tadi malam saya lepas untuk sementara, akhirnya saya memutuskan untuk duduk di depan pintu sekretariat. Ya, sekretariat Ideas. Tadi malam saya tidur di sekretariat Ideas, sebuah ruangan yang mengajarkan saya tentang kehidupan yang banal. Lalu mencuci muka tanpa sikat gigi juga di kran depan sekretariat.
Tiba-tiba saja perut saya mulai manja, memaksa saya untuk segera mengisinya. Saya melihat Dani masih terkapar tidur, masih dengan muka yang kurang sehat. Tapi pada akhirnya saya pun membangunkan dani dan mengajaknya makan. Setelah kenyang kami memutuskan untuk bersantai sembari menghisap beberapa kretek di sekretariat.
Setelah dzuhur Dani pun meninggalkan sekret untuk mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Ah entah kenapa seorang pemuda revolusioner seperti Dani masih mau mengikuti UAS. Tapi entahlah, mungkin dia masih berpikiran bahwa kuliah ini bukan media belajar tapi media mencari ijasah dan pencitraan sebagai sarjana. Karena beberapa kali saya ngobrol dengan Dani tentang kuliah dan dia menurut saya berpikiran praksis. Dani berpikiran bahwa dia masuk kelas dan mengikuti kuliah serta ujian itu hanya untuk formalitas saja. Dia lebih suka dan lebih nyaman belajar di luar tanpa sekat-sekat yang ditentukan oleh pihak akademik kampus.
Saya pun sempat berpikiran sama seperti Dani, tapi hidup tak melulu tentang membedakan dan menyamakan sesuatu bukan. Tapi sampai sekarang saya masih tetap memegang teguh bahwa apa yang diberikan di perkuliahan tidak lebih baik daripada obrolan di warung kopi atau diskusi-diskusi kecil di emperan jalan. Saya selama ini masih merasa bahwa dosen yang mengajar itu hanya bersifat memberi, bukan bersifat komunikatif karena saya beberapa kali diusir dari kelas karena mempunyai pemikiran yang berbeda dengan dosen itu.
Seperti sistem di Brazil yang dikritik oleh Paulo Freire. Anak didik diibaratkan sebagai sebuah gelas yang digunakan untuk menampung segala rumusan atau dalil pengetahuan. Para anak didik tidak dianggap sebagai individu yang dinamis dan punya pemikiran yang bebas dan dalam posisi seperti ini pengajar lah yang diuntungkan. Karena semakin banyak isi yang dimasukkan kedalam gelas oleh pengajar, maka semakin terlihat pintarlah si pengajar dan semakin patuh anak didik maka semakin dijunjunglah dia.
Apa yang terjadi dan coba dikritik oleh Freire itu malah menurut saya semakin masiv di sekitar saya. Bagaimana para mahasiswa mencoba mendekati dosen dan menuruti apa saja yang dosen perintahkan, tanpa memikirkan itu rasional atau tidak. Seperti yang pernah saya alami, salah satu dosen memberikan tugas membuat cerpen 50.000 kata. Saya tercengang dan secara logika menolak untuk mengerjakan tugas yang tidak khayal itu. Sayangnya teman-teman saya hanya mengeluh dan masih mau saja mengerjakan tugas itu. Aneh kan?
Pada posisi seperti itu saya ingat apa yang disebut Freire sebagai kesadaran manusia, salah satunya adalah kesadaran naif. Menurut Freire kesadaran naif ini muncul ketika sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif. Jika dilarikan ke kondisi di sekitar saya maka kesadaran naif ini muncul ketika mahasiswa menjilat dosen agar mendapatkan nilai yang bagus atau demi kepentingan personal mahasiswa itu sendiri. Selain itu mahasiswa yang ada di sekitar saya juga lebih suka menerima yang instan tanpa memunculkan dialektika. Dan yang lainnya seperti berdebat tentang permasalahan kuliah dibelakang pengajar, itu juga bisa diidentifikasi sebagai kesadaran naif.
Lantas esensi pendidikan sebenarnya apa? Apakah sebagai sarana penyadaran atau sarana pembebasan berpikir? Saya kira pertanyaan ini sulit dijawab ketika kebanyakan mahasiswa hanya mampu menerima atau yang disebut Freire sebagai kesadaran kritis transitif belum muncul.
Ah entahlah, padahal saya sekarang sedang cuti kuliah tapi kenapa saya masih memikirkan kehidupan kampus. Malang sekali nasib saya. ketika menulis ini saya sedang rapat redaksi bulletin, Winda sedang memimpin rapat, Dani sedang bermain korek, Fyruz sedang jadi notulensi dan entah apa yang sedang dilakukan Nurul dengan tisu dan bolpoint yang ada di tangannya. Semoga beberapa mahasiswa yang sedang bersama saya sore ini segera sampai pada kesadaran kritis transitif agar kegelisahan yang dibawa oleh Freire tidak mengganggunya di akhirat sana.[]

2 komentar: